Kadang saya kasihan pada babi yang sering digunakan sebagai alegori untuk menggambarkan sifat manusia, begitu pula saya kasihan pada kadal, bedes, anjing, coro, dan yang lainnya.
Bukankah mereka mempunyai sifat demikian itu karena tawadu. Maksudnya, mereka tidak menyalahi kodrat yang sudah digariskan oleh alam, tidak sombong dan tidak melebih-lebihkan apa yang mereka miliki. Jika monyet serakah itu memang sifatnya monyet; jika babi pemalas itu memang sifatnya babi; jika anjing suka buang tai sembarangan itu memang sifatnya anjing; dan jika coro suka sembunyi di lubang pispot, bukankah begitu yang sudah digariskan oleh alam bagi kehidupan coro?
Akan jadi gempar jika ada binatang yang menyalahi kodrat alamnya. Misalnya, ada babi yang berjalan menggunakan dua kaki dan berbicara mengenai politik. Itu bakal menggemparkan dunia dan bisa dikecam kafir. Sebab telah menyalahi kodrat babi yang berjalan merangkak, berbunyi menguik-nguik dan babi seharusnya tidak berbicara mengenai politik. Apalagi jika ada babi yang berkhotbah.
Sungguhpun demikan, saya tak selalu berpihak pada binatang, ada kalanya saya juga menertawai binatang dan bahkan membenci, misalnya, ketika melihat unta kawin atau ada kecebong yang tidak bisa berenang.
Kadang saya juga misuh-misuh dan sungguh ingin menyatakan perang pada cicak. Perilakunya itu lho sungguh biadab. Masak ketika sedang asyik-asyiknya ngopi ada cicak berak di atas kepala. Cicak ini tidak produktif dan merugikan anggaran rumah tangga. Logikanya cicak ini adalah tamu. Masak ada tamu makan dan berkembang biak di rumah orang. Dan kadang berani berak di atas kepala tuan rumah. Maka, perilaku mana lagi yang lebih sesat dari cicak biadab ini?
Jika Anies Baswedan akhir-akhir ini dihujat karena pidatonya menyinggung-nyingung soal kaum pribumi, saya ingin protes pada orang-orang yang menghujat Anies Baswedan. Soalnya, saya merasa nasib saya disuarakan oleh Anies Baswedan. Betapa tidak, di rumah sendiri saya dijajah oleh cicak. Dijajah. Dijajah, tuan-tuan…
Sayangnya Anies Baswedan tidak sungguh-sungguh menyuarakan nasib saya. Apa dari pidato Anies Baswedan ada menyebut cicak tuan-tuan? Tidak. Tidak ada. Jadi, sebaiknya saya tidak perlu membela Anies Baswedan.
Maka, biarkan urusan politik sebagaimana mestinya. Di sini tugas saya adalah melanjutkan cerita soal babi-babi. Oh iya, soal babi yang berjalan dengan dua kaki, ini pernah terjadi di dunia dan mungkin hanya terjadi satu kali. Riwayatnya bisa dibaca di dalam kitab ‘Animal Farm’ karya Goerge Orwell atau ‘Binatangisme’ yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi.
Saya kasih bocoran sedikit; menjelang akhir Januari, tak bisa dielakan lagi bahwa memang sudah amat perlu mengusahakan gandum dari mana saja. Di hari-hari itu, babi Napoleon amat jarang muncul di muka umum. Ia banyak menghabiskan waktu di dalam gedung peternakan, yang pintu-pintunya dijaga oleh anjing-anjing yang bermuka ganas. Kalau saja ia muncul keluar, pastilah dalam gaya upacara. Dikawal oleh 6 ekor anjing yang ketat mengelilinginya… (Binatangisme, hal 88). Sedikit cuplikan riwayat babi-babi kafir. Sengaja bagian yang paling seru tidak saya kutip. Jika Anda penasaran sebaiknya Anda baca sendiri kitab ini.
Jika Anda sudah membaca kitab ini, saran saya, silahkan Anda membandingkan tokoh-tokoh George Orwell dengan tokoh politik kita. Adakah tokoh politik kita yang mirip dengan tokoh-tokoh George Orwell? Aku yakin Anda akan mendapatkan sebuah kebahagian jika berhasil menemukankannya, seperti ketika tanpa sengaja menemukan kalung yang hilang bertahun-tahun lalu, “Oh… ternyata ini!”
Itulah kenikmatan membaca karya sastra. Selain menghibur juga menambah asupan gizi, sehingga tidak mudah diombang-ambing oleh isu-isu politik picisan. Begitulah seharusnya karya sastra dibaca.
Sekali lagi, untuk mengakhiri tulisan ini, biarkan bedes tetap menjadi bedes, dan biarkan celeng tetap menjadi celeng. Sebab, sesungguhnya musuh kita adalah cicak-cicak yang menjajah rumah kita, yang makan dan tidur dan kawin dan beranak dan berak di atas kepala tuan rumah, yang tak pernah sepeserpun kita terima pajak darinya, itulah musuh yang harus kita perangi.
Maka jika Anda mencari pesan moral dari tulisan ini, mohon maaf, tulisan ini tidak menyediakan pesan moral, jika Anda bersikeras mencari ingin mencari pesan moral, saya sarankan Anda membeli buku memasak, sebab selain mendapat pesan moral, buku memasak juga bisa membikin Anda disayang suami (ini jika Anda seorang perempuan).