Sungai-sungai di kota Trenggalek mengalir dari utara dan barat ke arah selatan dan timur (lebih tepatnya, tenggara). Dua sungai besar yang melewati kota kecil ini adalah Sungai Ngasinan dan Sungai Bagong. Sungai Ngasinan merupakan sungai penting di dalam kota, di samping Sungai Bagong. Sekiranya Sungai Ngasinan meluap, tentu akan menimbulkan banjir, yang sangat jadi masuk ke dalam kota (Kelutan dan sekitarnya). Lebih-lebih Sungai Bagong.
Kota Trenggalek sendiri sejak dahulu kala kerap terkena dampak luapan Sungai Ngasinan, khususnya di kelurahan Tamanan, Sumbergedong dan juga Kelutan. Dan tentu secara umum seluruh daerah di dalam kota. Sementara Sungai Bagong—yang berhulu di kaki Gunung Wilis—kepalanya berada Kecamatan Bendungan kemudian bersatu dengan Sungai Ngasinan dan punya hilir di timur, di wilayah Tulungagung bagian selatan. Andai melalui jalur sungai lama, sebelum berbelok ke selatan, tepatnya di timur pasar Desa Bendo, aliran sungai ini diduga menjadi penyumbang bagi hulu sungai yang lebih besar lagi, yakni Sungai Brantas.
Sungai Ngasinan
Ngasinan merupakan sungai terpanjang di Trenggalek. Sepanjang tubuh (DAS) Sungai Ngasinan, merupakan aliran yang menjadi sungai tadah hujan yang cukup efektif ketika musim penghujan tiba. Setelah jalur Sungai Ngasinan di timur perempatan Bendo diubah (di masa pendudukan Jepang), alirannya kini menuju selatan (tepatnya, tenggara) dan bermuara di pantai wilayah Tulungagung.
Sungai Ngasinan di masa kini sebagian besar debit airnya barangkali menjadi penyumbang bagi arus bendungan Niyama di Tulungagung (?). Sungai tersebut mulai dibelokkan ketika zaman Jepang. Sementara aliran Ngasinan di timur pasar Bendo, Pogalan, yang menuju arah timur semakin mengecil kendati masih membentuk sungai. Aliran sungai ke timur ini-lah yang masih bisa menunjukkan bahwa Sungai Ngasinan dahulu besar dan mengarah ke timur, dan menjadi penyumbang DAS Sungai Brantas.
Sungai Ngasinan sendiri memperoleh sumbangan air dari sungai-sungai lain di Trenggalek bagian barat. Sekurangnya ada tiga buah jalur sungai yang mengisi Sungai Ngasinan: pertama adalah sungai dari perbukitan-pegunungan di Kecamatan Tugu, sungai di Nglinggis (yang berasal dari perbukitan di sekitar Desa Tumpuk, Tugu) lalu ketambahan debit Sungai Prambon dari utara. Kedua, adalah sungai yang berasal dari perbukitan-pegunungan di Kecamatan Suruh (Kali Jati). Sementara jalur sungai yang lain yang mengisinya adalah Kali Nglongah, berasal dari arah Kecamatan Karangan (Kedung Sigit, Jatiprahu dan sekitarnya).
Badan Sungai Ngasinan dengan debit yang lebih besar—karena telah menjadi sungai yang menampung berbagai aliran sungai tadi—kemudian mendapat sumbangan debit yang agak besar lagi dari Sungai Bagong (menjadi sungai bagian ketiga yang mengisinya) berasal dari lereng-lereng Gunung Wilis (dari arah Kecamatan Bendungan). Lokasi pertemuan aliran dari berbagai sungai ini berlokasi tepat di barat Jembatan Ngasinan. Sebelum kemudian mendapatkan sumbangan aliran lagi dari Sungai Munjungan (ini nama sungai, yang hulunya tidak berasal dari Kecamatan Munjungan), yang mengalir ke utara dari arah Kecamatan Kampak dan Gandusari. Pertemuan Sungai Munjungan ke badan Sungai Ngasinan ini, tepat berlokasi di barat perempatan Bendo atau di sebelah utara Jembatan Kali Munjungan.
Secara toponimik, nama Ngasinan samar-samar terhubung dengan nama sebuah kerajaan tua yang barangkali pernah hidup di area Kelutan (kota Trenggalek) dan sekitarnya kini. Diasumsikan kerajaan ini letaknya berada di Trenggalek. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Hasin atau Macin. Nama kerajaan ini selain tertera dalam Prasasti Baru di era Airlangga, juga pernah tertera dalam kitab Tantu Panggelaran, kira-kira ditulis pada akhir era Majapahit: bertalian dengan perjalanan Begawan Agastya ketika mampir untuk mengunjungi Beghawan Markandeya di puncak Kailaca, yang terletak di Hasin atau Macin.
Kailaca tersebut adalah sebuah mandala, tepatnya nama sebuah mandala. Di mana letak Hasin ada di sebelah barat Gunung Wilis, sebelum Kailaca dari arah timur. Lebih lanjut, dalam Tantu Panggelaran, Macin atau Hasin pernah disebut dalam deskripsi berikut (dalam Ferry Riyandika, 2011):
“…. Kari tang raray manangis makanangkanangan. Tuminghal ta Bhagawan Agasti, mawlas tumon ambeknira ring kesesinikang raray tininggalaknibhunya. Sinambutnira tang raray, nher dinus dinulangnira, iningunira ring yoga samadi. Atuha tang raray wkasan, winawanira mangulwan maring macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan Markandeya……..” (Pigeaud, 1924:126).
Dari terjemahan Poerbatjaraka:
“….. anak-anak yang ditinggalkan itu menangis berteriak. Agasti yang terhormat itu melihatnya. Dia merasa kasihan menyaksikan keadaan anak-anak yang memilukan, karena ditinggal oleh ibu mereka. Dia mengambil anak-anak itu, membasuhnya, memberinya makanan dan merawatnya dengan yoga dan semedi. Ketika anak-anak laki-laki itu akhirnya menjadi dewasa, dibawanya mereka ke barat, ke Masin, ke puncak Kailaca di Mandala Markandeya yang terhormat……” (Poerbatjaraka, 1992: 51-52).
Brandes dalam pekerjaan mengalih-aksarakan prasasti di zaman Airlangga (Prasasti Baru), bertahun 952 Saka/ 1030 M, sebagai orang yang pernah mengulas isi Prasasti Baru itu, ia antara lain menyebut sebab-sebab penyerangan Airlangga ke wilayah yang bernama Hasin—yang letaknya kira-kira berada di sekitar Kelutan dan sekitar Kecamatan Trenggalek sekarang—salah satunya, dengan mengutip de Casparis, adalah karena motif untuk menggoyang dan menggempur perlawanan musuh utamanya yang terbilang paling kuat, berada di sebelah barat Hasin, yakni Raja Wengker (Ponorogo), bernama Wijayawarma.
Jika melihat deskripsi Prasasti Baru, kerajaan Hasin ini sudah muncul sejak Masa Dharmmawangsa Teguh, di akhir kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur (ada yang menyebut sebagai Medang Jawa Timur). Dan Hasin merupakan kerajaan bawahan (kerajaan vassal dari Kerajaan Dharmmawangsa). Tentu sebelum masa Airlangga yang kemudian mendirikan Kahuripan dari reruntuhan kerajaan mertuanya itu.
Mungkin masa Dharmmawangsa, kerajaan Hasin ini merupakan daerah bawahan Mataram Jawa Timur. Namun pada saat terjadi penyerangan dari Lwaram (Blora), yakni dari Raja Wura-Wari, yang dalam catatan sejarah pernah memporandakan keraton dan menewaskan Raja Dharmmawangsa, banyak daerah atau kerajaan bawahan yang melepaskan diri. Airlangga kala itu selamat dan bersembunyi di suatu tempat.
Singkat cerita, di masa Airlangga, ia ingin mengembalikan tahta mertuanya dengan dukungan penuh dari rakyat. Salah satunya dengan menyerang (menganeksasi kembali) beberapa daerah yang dulu pernah menjadi taklukkan kerajaan mertuanya, Dharmmawangsa. Termasuk kerajaan Hasin di Trenggalek. Bukti kerajaan ini ada juga pernah disebut di masa Kertajaya/Dandang Gendis (raja akhir Kediri). Lagi pula, salah satu istri raja Kediri terakhir itu juga berasal dari kerajaan Hasin (yakni Dewi Hasin).
Ini juga dikuatkan oleh Supratikno Rahardjo yang mengatakan bahwa pada masa Airlangga yang berlangsung sekitar 1029 sampai 1037 M., terdapat peristiwa peperangan dan penaklukkan terhadap raja-raja kecil antara lain Raja Wuratan (1029), Raja Wengker (1030), anak Raja Wengker (1031), Raja Wura-wari (1032) dan sekali lagi Raja Wengker (1037). Ini diceritakan dalam Prasasti Pucangan. Adapun dalam Prasasti Baru diterangkan bahwa Airlangga pernah menyerang Raja Hasin pada tahun 1030 (Supratikno Rahardjo, 2011: hlm. 308).
Ngasinan itu dulu adalah nama kawedanan di sekitar selatan sungai. Saya sudah mencocokkannya melalui peta zaman kolonial, bertahun 1855. Nama Ngasinan memang dulunya, di masa kolonial, adalah salah satu distrik, yang awalnya adalah Kawedanan. Sementara Wuratan (Mbah hamid menyebutnya Maratapan), menurutnya adalah Tapan, di Karangan (Abdul Hamid Wilis, 2007: hlm. 7). Dengan penguasaan kembali Galuh, Hasin dan Maratapan (karena dulu daerah kekuasaan mertua Airlangga), Wengker akhirnya dapat kembali ditundukkan. Ada yang menduga bahwa Galuh itu daerah di ujung Surabaya atau nama pelabuhan di Cirebon. Suatu hal yang tak masuk akal, apabila untuk menundukkan Wengker di selatan Ponorogo, Airlangga harus membuat pertahanan di ujung Surabaya atau bahkan di daerah Cirebon. Lagi pula Wengker bukan kerajaan Maritim yang harus ditundukkan dengan angkatan laut, melainkan kerajaan agraris, Mbah Hamid mencoba berargumen.
Masa Dharmmawangsa Teguh, Hasin dulunya memang semacam kerajaan vassal (propinsi/negara bagian) dari kerajaan Mataram era Jawa Timur (Kahuripan), sebagaimana juga Wengker, Wuratan dan beberapa kerajaan vassal yang lain. Menarik pendapat Hamid, bahwa Hujung Galuh ini letaknya ada di Pogalan sekarang. Meski keterangan soal Maratapan dan Galuh sebagaimana di atas, yang menurut Hamid dari sumber Negarakrtagama perlu untuk diuji lebih lanjut. Sebab, penyerangan masa Airlangga di dalam beberapa prasasti mengarah ke Wuratan, yang namanya memang agak mirip dengan Tapan. Lagian saya juga tak menemukan nama Galuh yang berjejer dengan nama Maratapan di Negarakrtagama.
Nama Wuratan malah lebih banyak mengarah ke Wurawan, kerajaan vassal yang terletak di sekitar Madiun, bukan Tapan. Namun keterangan mengenai Ngasinan sebagai kawedanan sebelum diganti menjadi Kelutan, saya rasa cukup presisi. Bahkan, di dalam peta kolonial sekitar tahun 1850-an, Ngasinan sebagai salah satu distrik besar di Trenggalek memang terbukti tertera di peta. Nah, Ngasinan ini secara toponim memang dekat dengan nama Hasin itu.
(bersambung…)