Sekilas, tak ada yang menonjol dari Kabupaten Trenggalek, selain dikepung oleh pegunungan yang menjulang tinggi. Kota yang berada di Barat Tulungagung itu memang tersohor dengan landscape-nya yang memukau, termasuk Munjungan district atau orang biasa menjulukinya dengan istilah blok M.
Namun siapa sangka di balik kota kecil ini tersimpan potensi yang luar biasa. Selain potensi alam (pantai) yang eksotis, Trenggalek juga menyimpan potensi intelektual yang sungguh tak bisa dianggap remeh. Di kota Minaksopal itu, banyak melahirkan para kaum intelektual yang sudah diakui kapasitasnya. Taruhlah Mas Bonari Nabonenar, Misbahus Surur, Nurani Soyomukti, penulis muda produktif, M. Choirur Rochim, Trigus Dodik Susilo dan para punggawa nggalek.co lainnya—media online alternatif yang bakal saya ulas setelah ini.
Sejak pertama kali mengudara sampai sekarang, portal nggalek.co tetap konsisten dengan gaya khasnya: menyeret imaji kearifan-kearifan lokal (masa lampau) dan menjadikannya (kembali) sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kalimat saya barangkali terdengar hiperbolis. Tapi saya berani menjamin bahwa tesis saya itu tak meleset sedikit pun. Silakan Anda cek semua catatan-catatan yang sudah pernah dimuat nggalek.co. Saya pastikan semua tulisannya berkisah seputar Trenggalek. Hebatnya lagi, 99,9% penulisnya adalah orang Trenggalek semua. Itu sungguh gila, bukan? Ada dua alasan kenapa saya menyebutnya gila.
Pertama, mengambil segmen atau meneropong tema lokal adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tak banyak penulis yang kuat konsisten berada pada jalur ini. Meski belakangan, tema-tema tentang lokalitas kembali marak. Teranyar, Majalah Basis bekerja sama dengan Bilik Literasi Solo yang dipendegani Bandung Mawardi juga menggelar hal serupa: mengundang semua penulis untuk urun rembuk memulungi kata-kata dengan tema Srawung Kampung-Kota.
Belum lagi, daya tarik pembaca tentang tema lokalitas juga masih relatif minim. Wacana lokalitas, diakui atau tidak, seolah kehilangan kemolekannya seiring dengan gencarnya arus modernitas dengan segala gemerlapnya. Pun kampanye kembali pada local wisdom juga tak kalah riuh disuarakan. Maka, keputusan dan konsistensi nggalek.co memilih segmen ini patut diapresiasi.
Kedua, selain masalah bidikan tema, perkara yang tak kalah sulit adalah stok penulis. Apalagi dengan regulasi memprioritaskan penulis dari Trenggalek. Ini tambah gila lagi. Anda bisa membayangkan, di kota kecil macam Trenggalek dan Tulungagung, mencari orang yang sama-sama demen menulis saja susahnya minta ampun, apalagi menyuruhnya konsisten memproduksi tulisan hanya seputar kotanya. Adakah sebutan lain yang pantas kalau bukan gila?
Pun Anda bisa saja bersikukuh menyangkal pendapat saya ini dengan mengatakan bahwa menulis tema lokalitas itu malah lebih mudah karena itu dekat dengan keseharian, lingkungan dan memori masa lampau. Tapi, kalau Anda belum pernah mencobanya, maka saya sarankan untuk diam saja. Sebab, itu sama saja dengan menyuruh orang lain segera menikah tapi Anda sendiri masih enjoy dengan status jomblo kaffah.
Dan saya kira, sungguh tak elok jika saya sampai tak menyebut nama Misbahus Surur sebagai salah satu manusia berkepala batu yang sampai detik ini masih on the track pada laku “sufi” itu. Salah satu buktinya adalah buku kumpulan esainya, Trenggalek pada Suatu Pagi (2017). Buku yang berisi 32 catatan esai, feature, dan opini, yang sebagian besar sudah pernah dimuat di situs ini tersebut, adalah bukti konkret betapa keras kepalanya ia selama ini.
Buku itu menurut saya spesial. Bukan karena kebetulan saya yang diminta menerbitkannya atau lantaran dijadikan sebagai souvenir pernikahannya. Bukan! Buku itu spesial sebab memuat seluk-beluk Trenggalek yang selama ini belum pernah ditulis, bahkan oleh “pemerintah daerah” sendiri. Ditulis dengan gaya narasi dan reportase santai, penulisnya menyuguhkan mulai dari sejarah Trenggalek, jalan-jalan ekstrem, sungai, gunung, desa, sampai dengan konsep strategi penataan kota.
Di buku itu, penulis juga menyuguhkan catatan refleksi satu tahun nggalek.co; tentang jatuh bangun menjadi editor, mengajari menulis esai dan reportase pada anak-anak muda sampai dengan membagi waktu antara pekerjaan dan tanggung jawab intelektual sebagai “satpam”-nya nggalek.co. Dan tentu saja tanggung jawabnya sebagai suami. Dus, saya kira tak berlebihan jika saya menyebut Misbahus Surur—dosen muda yang sepanjang saya mengenalnya tak pernah meninggalkan salat lima waktu, sama seperti saya itu—sebagai penulis langka.
Sebagai pamungkas, izinkan saya menyuplik apa yang pernah dikatakan oleh Benedict Anderson: “Orang harus punya rasa ingin tahu yang tak ada habisnya tentang segala sesuatu, mempertajam mata dan telinga dan mencatat hampir apa saja.” Semoga segera menetas nggalek.co lainnya.