Lereng Gunung Kelud memiliki potensi dari kekayaan alam yang sangat luar biasa. Kekayaan itu bersumber dari alam: peternakan, pertanian, perkebunan dan wisata alam. Salah satunya adalah sektor perkebunan. Lahan di lereng Kelud sangatlah subur dan sangat cocok untuk perkebunan dan pertanian. Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan berkunjung di lereng Gunung Kelud. Tepatnya selepas longgarnya aktivitas lockdown dari kawasan masing-masing karena dampak pandemi Covid-19.
Kunjungan tersebut saya tidak sendirian. Saya bersama 6 teman silaturahim di salah satu rumah teman di lereng Gunung Kelud, Desa Sugihwaras. Saat dalam perjalanan, kami sangat mengagumi keindahan dan suburnya alam yang berada di lereng Gunung Kelud. Beberapa saat setelah sampai di tempat tujuan, kami kagum dengan pohon yang cukup rindang dan subur di usia yang cukup tua.
Kendaraan kami parkir di bawah pohon tersebut. Pohon itu adalah pohon cengkih. Saya dan teman-teman mengira pohon cengkih tersebut berusia lebih dari 50 tahun. Saat turun dari kendaraan, saya memasang wajah takjub di bawah pohon tersebut. Pohon itu tidak hanya satu, di kanan kiri juga ada banyak. Pohon tersebut berada di depan rumah. Selain di depan rumah, pohon cengkih juga tumbuh di kanan kiri rumah dengan luas bidang yang tak terlalu luas, yang usia dan tingginya relatif sama.
Jika dilihat dari tingginya pohon memang berusia cukup tua. Batang pohonnya besar dan kokoh. Jika anak kecil merentangkan kedua tangan dan melingkari batang pohon, tidak akan cakap atau tersambung kedua tangannya tersebut. Daunnya cukup rimbun dan bijinya lebat. Saya menduga pohon cengkih ini adalah varietas cengkih ditanam pertama oleh warga sekitar.
Saat berkunjung ke Desa Sugihwaras, cengkih sedang musimnya panen. Bau khas bunga cengkih semerbak tidak jauh dari pohon tersebut. Namun pada musim kali ini harga cengkih anjlok. Mungkin saja dampak dari pandemi Covid-19. Dari situ, saya jadi teringat pohon cengkih yang tumbuh di samping rumah dahulu dan saat panen cengkih saya langsung memanjat lewat batang pohonnya langsung. Mungkin saja, apabila di daerah saya tidak ditebangi, besarnya sama.
Barangkali saja, waktu awal penanaman di daerah Kelud dan di wilayah Trenggalek bersamaan. Bedanya jika di lereng Kelud masih subur, di beberapa wilayah di Trenggalek pohonnya banyak yang tidak produktif dan sudah tua dan banyak yang ditebangi. Saya berbincang dengan teman bahwa salah satu pohon cengkih ini apabila bijinya di-unduh atau dipanen sendirian dalam satu bulan tak bakal habis? Namun ada perbedaan soal alat yang digunakan untuk memanjat. Apabila di daerah saya, tangga atau ondo tersebut menggunakan bambu satu lonjor memanjang. Di lereng Gunung Kelud ini menggunakan 2 lonjor bambu horisontal dan pasang kayu vertikal masuk di lubang kecil-kecil di badan bambu dengan bantuan 3 tali di tiga penjuru pula. Persis tangga yang biasa digunakan orang-orang untuk memperbaiki genteng rumah.
Cengkih merupakan komoditas yang memberi kontribusi ekonomi masyarakat dan meningkatkan pendapatan nasional. Siapa sangka, menurut penuturan tuan rumah, pohon cengkih yang berada di Desa Sugihwaras ini pertama diperkenalkan oleh orang Trenggalek, tepatnya orang dari Kecamatan Kampak. Ia adalah seorang pensiunan TNI. Di tahun 1970-an, ia menjabat sebagai Kepala Desa di Desa Sugihwaras.
“Saya tak tahu persis kapan pastinya pohon cengkih menyebar di kawasan lerang Kelud. Yang saya ingat, pohon cengkih dibawanya dari Kecamatan Kampak, Trenggalek. Rumah Pak Kastam, kalau tidak salah berada belakang kantor camat Kampak,” tuturnya si empunya rumah.
Dari cerita itu sontak membuat saya kaget sekaligus bangga. Di mana orang yang pertama kali memperkenalkan dan menginisiasi cengkih di Desa Sugihwaras adalah orang Trenggalek yang berasal dari Kecamatan Kampak, yakni Pak Kastam. Pak Kastam merupakan purnawirawan Tentara Republik Indonesia (TNI). Di tahun 1970-an selepas purna dari TNI, ia menjabat sebagai Kepala Desa di Desa Sugihwaras. Awal mula keberadaan Pak Kastam di Sugihwaras tak sempat saya tanyakan; apakah ia dulunya dinas di koramil Ngancar ataukah ia berjodoh dengan gadis Sugihwaras dan menetap di sana? Saya tak tahu. Yang jelas, ia adalah seorang purnawirawan TNI dan menjabat sebagai Kepala Desa di Sugihwaras.
Sementara itu, Desa Sugihwaras memiliki banyak potensi baik dari wisata alam, wisata budaya dan wisata pertanian, perkebunan. Selain cengkih, Sugihwaras memiliki tanaman tidak kalah terkenal. Yakni tanaman nanas. Ada dua jenis nanas yang terkenal yakni nanas lokal dan nanas madu. Menurut data sekunder—hasil browsing di Google—awal mula penanaman nanas sudah dimulai sejak 1990-an. Sementara luas Desa Sugihwaras sekitar 370,885 Ha, tetapi yang ditanami buah nanas hampir separuhnya mencapai kurang lebih 150 Ha.
Namun dari keterangan tersebut, saya jadi berhitung serampangan. Usia cengkih lebih tua dibanding usia nanas. Oleh karena itu, nanas merupakan varietas generasi baru dibanding pohon cengkih. Secara tidak langsung, cengkih telah lebih dari 50 tahun menopang ekonomi masyarakat di lereng Gunung Kelud.
Sementara itu di medio 70-an, di masa Pak Kastam menjabat sebagai Kepala Desa di Sugihwaras, di tahun itu pula Bupati Soetran—salah satu Bapak Pembangunan Trenggalek—sedang gencar-genjarnya menggalakkan untuk penghijauan lahan di kecamatan-kecamatan dengan memperkenalkan dan menanam pohon yang memiliki nama latin Syzygium aromaticum. Hal tersebut seperti ditulis oleh Misbahus Surur dalam artikel Tiga Tokoh Hebat yang Mampu Mengubah Kota Trenggalek, “Bupati Soetran yang menjabat bupati antara tahun 1968-1974. Ia termasuk bapak pembangunan di Trenggalek dengan banyak program: turinisasi, tembokisasi, pengenalan tanaman cengkih ke Trenggalek, selain juga membuka jalur-jalur sulit antarkecamatan—antara lain jalur Kampak-Munjungan—di seantero kabupaten.”
Dari penuturan warga Sugihwaras tersebut, saya berasumsi bahwa dampak kebijakan Bupati Soetran yang diimplementasikan oleh Pak Kastam di salah satu desa di Kediri. Saya kira lewat kebijakan Pak Kastam itu bibit cengkih dari Trenggalek juga menyebar sampai di lereng Gunung Kelud. Demi menyebarkan cengkih ke beberapa wilayah, kebijakan wajib tanam cengkih ia bawa saat ia dimutasi di Irian Jaya sebagai gubernur dengan menerapkan wajib tanam cengkih kepada setiap kepala keluarga berada di sana.
Begini isi komandonya: “Di Irian jaya, dengan lantang Gubernur Soetran mengomandokan wajib tanam cengkeh di seluruh Irian. Setiap kepala keluarga terkena wajib tanam. Di desa minimal 20 batang banyaknya, pinggir kota 5-10 batang. Harus dilakukan tiap tahun oleh setiap kepala keluarga. Kecuali di kawasan kota, boleh cuma 5 batang setiap kepala keluarga”, Tempo, edisi 11 Desember 1976.[]
Disclaimer: saya lupa nama tuan rumah. Dan foto si empunya rumah serta pohon cengkih yang berada di depan rumah telah terhapus dari ponsel.