Jamak kita ketahui bahwa pohon cengkih adalah salah satu tanaman yang menggiurkan secara ekonomi, karena harganya tinggi. Cengkih menjadi bahan baku vital bagi pabrik-pabrik rokok kretek. Selain pala dan wija—dalam keluarga rempah-rempah—cengkih juga dapat digunakan untuk ramuan penghangat tubuh, pengawet, wewangian, rempah makanan, dan obat.
Hadirnya cengkih sarat dengan sejarah. Pada abad ke-16, yang ditandai oleh kolonialisme dan imprealisme bangsa-bangsa Eropa, yang melakukan perjalanan di negara antah berantah. Tidak lain tujuannya adalah di negeri-negeri Asia Selatan, Timur dan Tenggara, termasuk negeri Nuswantara, Indonesia. Bangsa berambut pirang tersebut—terutama Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda—melakukan penjelajahan dunia, yang kemudian terdampar di Kepulauan Maluku.
Dengan meminjam istilah Roem Topatimasang, cengkih adalah warisan alam Nusantara. Pamrih bangsa Eropa berlayar ke nusantara hanya ingin menguasai cengkih dan pala. Karena motif yang sama, peperangan antarbangsa kulit putih pun tidak bisa dipisahkan. Dari peperangan tersebut, nasib baik berpihak pada negeri Kincir Angin, Belanda. “Praktis, sejak akhir abad 16, Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku dengan jumlah produksi rata-rata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun.” (lihat uraian Pires, 1512-1515, yang dikutip oleh Roem Topatimasang, dalam Ekspedisi Cengkih suntingan Puthut EA, Ininnawa & Layar Nusa, 2013: 3)
Kisah lain mengapa orang Eropa berkunjung ke Indonesia, adalah cerita dari Haji Agus Salim yang masyhur itu. Kita tahu Haji Agus Salim adalah diplomat ulung nan cerdas serta punya kritik yang tajam. Pada saat menghadiri jamuan di London, dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris, Haji Agus Salim menyalakan kretek, yang di dalamnya terdapat racikan cengkih (clove cigarette). Aroma yang semerbak membuat orang-orang Eropa bertanya. Dengan tegas, Haji Agus Salim menjawab bahwa apa yang dihisapnya adalah alasan bangsa Eropa menjelajahi dunia dan kemudian menjajah Nusantara.
Berkisah tentang cengkih, sangat tidak elok tanpa menyebut bahwa warisan alam nusantara itu, berasal dari telatah Maluku: khususnya empat tempat di Kepulauan Maluku: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Meski ada yang berpendapat asal-usul cengkih dari Cina, Irian, Philipina, tetapi anggapan itu masih kabur. Dalam perkembangannya, tanaman cengkih sudah banyak tumbuh di daerah-daerah besar di Indonesia. Pun, di kota-kota besar sudah banyak yang membudidayakan tanaman endemik ini, dan kemudian menjadi sentra perkebunan cengkih. Di antaranya Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, NTT, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Jawa timur, khususnya di Trenggalek, tanaman cengkih baru diperkenalkan pada tahun 1968-1974, di masa kepemimpinan Bupati Soetran. Bapak Pembangunan Trenggalek ini memperkenalkan cengkih kepada rakyat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Dalam salahsatu artikelnya, Misbahus Surur menulis, “Ia, (Sutran), termasuk bapak pembangunan di Trenggalek dengan banyak program: turinisasi, tembokisasi, serta pengenalan cengkih ke Trenggalek. Dan tentunya juga membuka jalur-jalur sulit antarkecamatan.”
Jika merujuk data tersebut, saya mengamini cerita ibu, yang mengatakan bahwa tumbuhnya pohon cengkih di wilayah Trenggalek, khususnya di daerah Watulimo di medio 70-an. Pada periode itu, di wilayah pegunungan, sudah banyak tanaman bernama latin Syzgium aromaticum tersebut. Gerakan reboisasi, menghijaukan lahan dengan menanam pohon cengkih pun berhasil. Banyak petani menanam pohon di lingkungan dataran tinggi. Sisi lain, cengkih memiliki daun rimbun. Memiliki bunga (buahnya) harum dan pedas, dan miliki warna merah—jenis zanzibar—dan rasanya segar.
Pada tanggal 28 Desember 1990, melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan membentuk BPPC. Awalnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih ini menjaga keseimbangan harga dan persediaan cengkih. Namun kenyataannya, lembaga yang diketuai oleh Hutomo Mandala Putra—atau dikenal dengan Tommy Soeharto—banyak unsur monopoli.
Para petani cengkih harus menjual cengkih ke koperasi/ Koperasi Unit Desa (KUD) yang kemudian diteruskan ke BPPC. Petani menjual ke KUD dengan harga murah, tetapi BPPC menjual ke korporasi-korporasi dengan harga mahal. Jelas ini sangat merugikan petani gurem, petani kecil, di desa. Muncul celetukan populer di kalangan masyarakat, dengan memplesetkan ungkapan KUD dengan Kukut karo wong gedhe, cerita Bapak sambil pithil cengkih.
Saking muramnya petani kecil terhadap permainan monopoli KUD, yang dimotori oleh Tommy Soeharto melalui lembaga BPPC tersebut, di kawasan Panggul, sempat terjadi pembakaran gudang cengkih milik KUD. Begitu pun di Watulimo, gudang cengkih milik KUD, tepatnya di Sebo, Desa Slawe, dijarah dengan dilempari kotoran manusia, tambahan dari Bapak.
Oleh karena itu, “Jika saja tak pernah ada cengkih dan pala di Maluku, mungkin sejarah kepulauan Nusantara ini akan berbeda sama sekali,” tulis Roem Topatimasang dalam pengantar buku Ekspedisi Cengkih. Begitu pula di wilayah Trenggalek.
Peningkatan Ekonomi
Tanaman cengkih memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Menurut data Puslitbang Departemen Pertanian, yang saya kutip dari komunitaskretek.or.id, menyebut, bahwa cengkih menyumbang cukai sebesar Rp 55 trilyun pada 2009, dan meningkat menjadi 59 trilyun pada 2010.
Lebih dari itu, pada tataran di lingkungan petani. Saat panen cengkih menjadi berkah tersendiri bagi si empunya kebun maupun mereka yang tidak memiliki kebun, dan bahkan bagi tengkulak. Memanen cengkih adalah kegiatan massal. Ia harus dikerjakan dengan cepat sehingga tidak mungkin mengandalkan pemilik pohon semata. Karena itu, bisa tidak bisa, memetik cengkih dari pohonnya perlu mempekerjakan orang lain.
Di mana ada panen cengkih, di situlah lapangan pekerjaan terbuka lebar. Cengkih telah menggerakkan ekonomi masyarakat. Tidak hanya pemilik kebun, tetapi juga para buruh tani (baparas—istilah Maluku). Di Kecamatan Watulimo, selain dilakukan oleh pemilik kebun, memetik cengkih juga dilakukan dengan bantuan orang lain. Karena memanen cengkih berburu dengan waktu. Jika cengkih telat dipetik, maka akan jadi polong, dan kualitasnya menurun. Pemilik kebun, bisa tidak bisa, harus mendatangkan pekerja dari daerah lain. Misal dari Panggul, Dongko, Pule dan Munjungan. Bahkan dari kabupaten tetangga, Tulungagung.
“Sehari upah pengunduh (juru petik di pohon) per orang berkisar Rp. 100.000,- plus ditanggung makan, inap dan rokok, ini biasanya bagi pengunduh dari daerah lain. Jika dilakukan tetangga sendiri, upahnya berkisar Rp. 125.000,-, tentu tanpa makan dan inap. Upah pekerja yang pulang-pergi—ini adalah pekerja masih satu kecamatan—Rp. 120.000,- plus rokok,” kata Bu Suparmi. Dengan kualifikasi sederhana: pekerja memiliki pengalaman soal memanjat juga menata tangga. Ya, sekali unduh, pekerja menghasilkan 20 kg cengkih basah, yang sudah terpisah antara cengkih dan gagang.
Tidak berhenti di situ, pemilik cengkih masih mengundang tukang pithil, bahasa Maluku tukang cude (pemisah bunga [buah cengkih] dari tangkainya). Tukang pithil ini biasanya adalah tetangga teparo yang tak memiliki lahan cengkeh, dan atau memiliki pithilan pribadi sedikit. Para buruh pithil cengkih ini dihargai per kilonya Rp. 2.000,-. Tersebab itulah, perputaran uang pada saat panen cengkih luar biasa besar. Sisi lain, tradisi sanja di desa juga ikut terawat dengan sendirinya.
Produksi (dan harga) cengkih, khususnya di kawasan Watulimo, sangat fluktuatif. Per satu kilo cengkih basah dihargai Rp. 30 ribu sampai 45-50 ribu. Cengkih kering berkisar antara 115-150 ribu per kilogram-nya. Sementara, daun dan dahan cengkih juga bisa diperjual-belikan. Daun dihargai Rp 2.500,- per kilogram, sedangkan dahan Rp7.500,-. Sisi lain, daun dan ranting cengkih mengandung zat eugenol, bahan untuk minyak atsiri yang berguna sebagai bahan obat dan produk kecantikan juga berguna untuk rambut sampai jantung.
Cengkih, meminjam istilah Prima Sulistya Wardhani, adalah tanaman yang lumayan cerewet. Tak boleh kebanyakan air tapi juga tidak bagus bila sering tersengat matahari. Dampak El-Nino beberapa waktu yang lalu, sangat mempengaruhi perkembangan cengkih. Banyak pohon cengkih yang berusia tua tak mampu menahan panas. Bahkan pohon-pohon cengkih mati muda. Dari peristiwa itu, petani di lingkungan rumah penulis, meng-irigasi atau mengairi cengkih dari rumah, dengan diwadahi jurigen besar.
Pada panen tahun ini, produksi cengkih menurun, tidak sebanyak panen(an) cengkih empat-lima tahun kemarin. Namun, tidak masalah bagi petani, toh tidak uwoh (panen)-nya pohon cengkih, ia akan membentuk daun, yang tentu semakin rimbun. Yang insya Allah, pohon cengkih semakin subur. Dan, musim depan akan semakin banyak panen.
Singkat kata, memiliki panen(an) cengkih atau menimbun cengkih yang sudah kering, ibarat menimbun emas. Cengkih merupakan “emas cokelat”, karena semakin lama ditimbun semakin mahal harganya, kandungan minyak juga semakin banyak dan baik. Oleh karena itu, cengkih merupakan tanaman primadona di kawasan hutan Watulimo dan sekitarnya. Sehingga kerap mengeliminasi keberadaan tanaman-tanaman lain di hutan. Musim panen cengkih sangat ditunggu-tunggu, karena keuntungannya dapat meningkatkan perekonomian para petani desa.