Warga Watulimo Shock Akibat Harga Cengkih Anjlok

Watulimo merupakan salah satu kecamatan yang cukup terkenal di Kabupaten Trenggalek. Watulimo terkenal dengan keelokan alam juga kekayaan hasil alamnya. Saat sekarang Watulimo sedang berada pada puncak panen cengkih di sebagian besar wilayahnya.

Tahun ini hasil panen para petani cengkih tidak semelimpah tahun lalu. Meski begitu, tetap saja masih terbilang banyak di mata masyarakat. Jadi jangan salah, jika di sepanjang jalan mata memandang cengkih, dan menjadi objek utama. Begitu pula bau wangi bunga cengkih yang menyeruak masuk pada indra pembau masyarakat, termasuk kalian yang mungkin berkunjung ke Watulimo.

Bagi kalian yang mungkin sedang berada di Watulimo, akan banyak menemui fenomena khusus di musim cengkih. Seperti banyaknya manusia yang nangkring di pohon cengkih, alias sedang menuai buah cengkih. Kemudian fenomena pithel cengkih, yang juga sampai diperkerjakan. Ada lagi fenomena aspal cengkih. Ini maksudnya adalah orang-orang yang menjemur cengkihnya, dengan cara menggelar terpal atau tikar di jalan-jalan raya untuk menjemur cengkih.

Namun, tahukah apabila saat ini  harga cengkih anjlok drastis dipasaran?  Ya, kabar terakhir yang terdengar Jumat (22 Juni 2019) lalu, harga cengkih basah yang belum mengalami proses penjemuran, hanya kisaran Rp 20 ribuan saja per kilonya. Sempat naik sedikit mencapai Rp 22 ribu sampai Rp 23 ribu per kilo. Bahkan 2 minggu yang lalu, sekitar tanggal 7 sampai 9 Juni, harga cengkih turun hingga 19 ribu perkilo, karena memang cuaca mendung.

Kalau dulu, tepatnya tahun 2018 lalu, harga cengkih basah kisaran Rp 45 sampai 50 ribu per kilo gramnya. Turun drastis bukan! Sementara untuk cengkih kering di pasaran beberapa hari terakhir ini harganya sekitar Rp 60 ribuan perkilo, ini dari hasil pengamatan pasar 2 hari yang lalu (Rabu, 26 Juni 2019). Nah, tahun lalu harga cengkih kering ini kisaran Rp 110 ribu bahkan sampai 150 ribu per kilo.

Lalu sekarang apa? Harga cengkih benar-benar tidak sesuai dengan biaya juga tenaga yang masyarakat keluarkan. Bagaimana masyarakat tidak shock? Bayangkan saja, perjuangan mereka dari proses penanaman, perawatan hingga pada akhirnya musim panen. Dari pemberian nutrisi rutin pada pohon yang tak pernah absen.

Belum lagi saat panen seperti ini. Semangat juang mereka yang ada di atas pohon yang terombang-ambing oleh angin di puncak pohon sana, begitu pun udara yang relatif rendah yang pastinya menusuk-nusuk tulang mereka (karena saat ini Watulimo musim bediding), bahkan juga tak gentar nyawa pun mereka pertaruhkan, hanya demi menuai hasil cengkih.

Selain tenaga, mereka juga banyak mengeluarkan ongkos untuk mempekerjakan para buruh yang menuai cengkih maupun yang pithel cengkih. Jika tidak mau mengeluarkan banyak ongkos, tenaga mereka pun tersumbangkan kepada hal itu yang pasti sangat melelahkan. Belum lagi nanti proses penjemuran dan pendistribusiannya yang perlu waktu dan tenaga yang ekstra. Sepanjang dan seriweh itu, bukan? Prosesnya panjang, namun hanya dihargai semurah itu bahkan di bawah rata-rata harga yang biasa ada dipasaran.

Masyarakat Watulimo pun mulai meresah dan merasa tidak adil dengan kondisi seperti ini. Tak terelakkan jika banyak asumsi dari mereka yang mencuat. Mulai dari asumsi bahwa hal ini hanyalah permainan harga oleh para pedagang atau tengkulak cengkih atau bahkan para penimbun, yang ingin mengeruk banyak keuntungan. Kemudian asumsi lainnya bahwa harga cengkih kali ini benar-benar turun, karena pabrik-pabrik besar yang biasa memproduksi barang dengan bahan baku cengkih, semisal pabrik rokok atau industri lainnya, dan kemudian banyak yang bangkrut atau mungkin saja kegiatan produksinya hanya membutuhkan sedikit bahan baku cengkih.

Seperti yang kita ketahui, bahwa tanaman cengkih ini dianggap sangat menjanjikan hasilnya dan menjadi andalan bagi para petani cengkih di Watulimo. Di situ, para petani banyak menaruh harapan pada hasil panen cengkih ini untuk menjadikan kehidupan mereka makmur sejahtera. Namun saat ini kondisi konkritnya lain dari ekspetasi mereka, harga cengkih turun jauh dari yang diharapan, sehingga malah kekecewaan yang acap timbul dalam benak mereka. Namun mereka tetap berharap ada perubahan, baik dari kondisi ini dengan adanya peningkatan harga cengkih. Syukur-syukur harga kembali normal seperti tahun lalu atau bahkan menjadi primadona dengan meningginya harga kembali.

Esai di atas adalah tulisan dari salah satu peserta workshop literasi berbasis pesantren yang diselenggarakan pada 23-24 Juni 2019 oleh nggalek.co bekerja sama dengan LP2M UIN Maliki, Malang.

Artikel Baru

Artikel Terkait