Pemimpin, di antara Kebijakan dan Kebajikan

Minggu terakhir bulan Maret 2019, banyak kejadian yang menarik untuk disimak di Kabupaten Trenggalek. Kejadian yang berhubungan dengan kepala daerah dan pelayanan publik. Kejadian-kejadian tersebut bisa menyita perhatian para pengguna media sosial. Kejadian terakhir yang cukup kontroversial adalah saat Wakil Bupati Bupati Trenggalek meninggalkan apel yang menyebabkan ratusan ASN gagal terima SK kenaikan pangkat.

Kejadian ini menjadi viral saat dipubikasikan pada salah satu media online Trenggalek, Bioz TV.

Hal yang menyangkut pemimpin dan caranya memimpin selalu menarik bagi saya. Maka saya pun berselancar di media sosial untuk melihat reaksi banyak orang. Sudah bisa diduga reaksinya beragam: ada yang setuju, ada yang menyikapi dengan santai, ada pula yang menganggap tindakan Wakil Bupati ini salah. Tapi apapun komentar netizen, membuat saya teringat pada seorang mentor, yang menurut saya, ia adalah pemimpin yang baik. Saya bertanya saat ia menjadi Kepala Bappeda di kabupaten tempat saya tinggal dulu. Saat ini ia menjadi Direktur Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik, LKPP.

Saya bertanya tentang kepemimpinan padanya. Sebelum mentor ini menjawab pertanyaan saya, ia bercerita tentang kisah Lukmanul Hakim dan anaknya saat pergi ke pasar. Berikut ceritanya:

Lukmanul Hakim mengajak anaknya berjalan ke pasar. Ia mengendarai seekor keledai sementara anaknya berjalan kaki menuntun keledai tersebut. Ketika melewati suatu tempat, ia mendengar pembicaraan orang: “Lihat orang tua itu, benar-benar tidak memiliki rasa kasih sayang, anaknya yang kecil dibiarkan berjalan kaki, sedang dia bersenang-senang menunggang keledai.”

“Wahai anakku, dengar-kah engkau apa yang mereka katakan itu?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya.

“Dengar ayah,” jawab anaknya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sekarang engkau naik-lah ke atas keledai ini, biar ayah yang menuntunnya,” katanya sambil mengangkat anaknya ke atas keledai, lalu mereka meneruskan perjalanan.

Tidak berapa lama kemudian ketika melewati sekelompok orang, “Lihatlah betapa anak yang tidak pandai mengenang budi ayahnya yang sudah tua, disuruhnya sang ayah menuntun keledai sedangkan dia yang masih muda menungganginya, sungguh tidak patut,” kata orang-orang tersebut.

“Dengarkah engkau apa yang mereka katakan?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya. Anaknya mengiyakan pertanyaannya itu. “Sekarang engkau turun dari keledai ini dan kita sama-sama berjalan kaki,” kata Lukmanul Hakim.

Anaknya segera turun dari keledai lalu berjalan bersama beriringan dengan ayahnya menuntun keledai. Sejurus kemudian mereka bertemu pula dengan sekelompok orang lain. “Alangkah bodohnya orang yang menarik keledai itu. Keledai untuk dikendarai dan dibebani dengan barang-barang, bukan untuk dituntun seperti lembu dan kambing,” kata mereka.

“Dengarkah engkau apa kata mereka?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya lagi. “Dengar, ayah,” jawab anaknya. Lukmanul Hakim berkata: “Kalau begitu marilah kita berdua naik ke atas punggung keledai ini.”

Tidak berapa lama setelah itu mereka mendengar sekelompok orang yang lain yang mereka lewati “Sungguh tidak ada perasaan mereka ini, keledai yang kecil ditunggangi berdua!” kata mereka.

Lukmanul Hakim lalu bertanya kepada anaknya, “Apakah engkau dengar apa yang mereka katakan?” Jawab anaknya: “Ya ayah, saya dengar.” Kata sang anak “Kalau begitu marilah kita pikul keledai ini,” kata Lukmanul Hakim.

Dengan bersusah payah mengikat keempat-empat kakinya, akhirnya mereka mampu mengangkat keledai itu. Dan dalam keadaan demikian itu mereka mulai berjalan dengan beban memikul seekor keledai. Ketika sejumlah orang melihat mereka berdua memikul seekor keledai, mereka ketawa terbahak-bahak. “Lihatlah orang gila memikul keledai!”

“Dengarkah engkau apa yang mereka katakan?” dia bertanya kepada anaknya lagi. “Dengar ayah,” jawab anaknya. Mereka lalu meletakkan keledai itu ke tanah.

Lalu mentor saya berkata “Seperti itulah apa yang akan terjadi ketika kamu menjadi Pemimpin. Kebijakan apapun yang kamu ambil akan ada banyak pertentangan, baik dari orang di sekelilingmu ataupun dari orang luar. Ketika seorang Pemimpin melakukan hal yang baik saja orang-orang akan mencurigaimu, apalagi jika kamu mengambil kebijakan yang salah.”

Saya rasa ingatan saya tentang mentor saya relevan dengan kejadian Plt. Bupati yang meninggalkan apel. Menurut yang saya baca dari apa yang ditulis dalam pemberitaan di Bioz TV tersebut. Jika dilihat dari kronologisnya mungkin tindakan Mas Ipin tersebut untuk memberikan shock therapy pada ASN yang tidak disiplin. Secara pribadi saya menganggap sikap yang diambil oleh Mas Ipin adalah sikap yang berani terlepas dari kontroversi antara benar dan salah.

Pasti pihak yang merasa senang dan memuji, ada juga pihak yang merasa dirugikan. Setiap kebijakan yang diambil pastinya tidak akan bisa membahagiakan semua orang. Pun begitu keputusan Mas Ipin yang meninggalkan apel. Kita semua bisa menilai secara berbeda tergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Saya meyakini dalam kondisi ini, hukum newton dua berlaku “ada aksi pasti ada reaksi”. Dalam kasus ini pasti terjadi hubungan sebab akibat. Baik itu yang menyebabkan Mas Ipin mengambil tindakan ataupun reaksi atas tindakan yang dilakukan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya supaya tidak saling menegasikan.

Menurut pandangan pribadi, kondisi ini adalah momentum untuk saling terbuka dan berefleksi. Seringkali kita terjebak pada anggapan orang akan memahami tindakan kita tanpa mengucapkannya. Seorang bawahan sering menuntut atasan untuk memahami kondisinya agar tidak terlalu memberikan beban pada dirinya, tapi tidak enggan menyampaikan masalahnya karena takut dianggap tidak mampu. Di sisi lain, atasan memberikan sanksi tanpa menjelaskan secara verbal apa kesalahan anak buahnya. Kondisi ini akan memicu kurangnya rasa percaya satu sama lain.

Menurut saya, kejadian ini adalah momentum yang sangat bagus untuk saling terbuka. Untuk saling memahami satu sama lain. Untuk sama-sama menilai diri masing-masing. Kedewasaan berpikir dan bersikap sangat dibutuhkan dalam meresolusi kondisi ini. Bukan dalam kerangka untuk mencari kesalahan satu sama lain, tapi untuk menemukan “alat ukur” yang sama dari berbagai sudut pandang.

Seringkali konflik terjadi karena kesalahan penggunaan “alat ukur”. Sebagai contoh kita sering membandingkan orang dengan “alat ukur” baik dan buruk. Padahal baik dan buruk itu jelas berbeda. Jika kita ingin membandingkan orang atau apa pun itu, kita harus berangkat dari indikator yang sama sebagai alat ukur. Kalau mau membandingkan kebaikan ya bandingkan juga dengan kebaikan.

Kembali ke kasus Mas Ipin meninggalkan apel. Pasti akan memunculkan berbagai macam dugaan. Maka menurut saya sangat penting untuk mencari “alat ukur” yang sama. Alat ukur ini sangat dibutuhkan untuk melakukan evaluasi. Sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak di-wongke dan merasa tidak diakui. Alat ukur ini bisa menjadi pijakan bagi semua pihak untuk menentukan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Semoga ke depan Trenggalek semakin lebih baik.

Artikel Baru

Artikel Terkait