Di Surodakan Prasasti itu Ditemukan

Koresponden sebuah surat kabar 83 tahun silam melaporkan penemuan benda purbakala berupa 13 lempengan tembaga dengan inskripsi bertahun 1400 M. Benda arkeologi beraksara Jawa Kuno tersebut ditemukan di Desa Soerodakan oleh seorang petani—warga masyarakat setempat—ketika tengah menggali tanah di halaman rumah.

Menurut keterangan Boedihardjo, seorang patih Tulungagung, prasasti tersebut memuat informasi tentang pembentukan daerah bebas (pajak) di Desa Ringinpitoe. Muncul pula keterangan mengenai “beberapa nama kerajaan” yang belum sempat diketahui (belum teridentifikasi) para arkeolog hingga saat prasasti dibaca. Plat lempengan ini, menurut berita, diperkirakan tertimbun di bawah tanah selama sekitar 100-an tahun.

Berita di atas saya cuplik dan sarikan dari laporan singkat surat kabar berbahasa Belanda, De Indische courant, bertarikh 3 Maret 1936 melalui situs www.delpher.nl atas informasi lelaki gempal mirip Arman Dhani, alumnus sejarah UGM. Tentu saya memahami isinya sesudah minta bantuan Mbah Gugel. Bersama lelaki tersebut dulu kami kerap ngubek-ubek arsip kolonial dari berbagai situs. Selain tulisan, kami sering pula mendapati, kadang-kadang juga memunguti, arsip peta dan lembaran-lembaran foto Kabupaten Trenggalek zaman Belanda.

Saya yakin pemberitaan De Indische courant itu, berkait dengan penemuan salah satu prasasti di Trenggalek, yang kelak oleh dunia purbakala dinamai Prasasti Surodakan/Prasasti Waringin Pitu.

Prasasti ini beberapa tahun lalu membuat saya penasaran, sesudah pertama kali mengetahui informasinya dari lembar buku monumental Denys Lombard, Nusa Jawa, Silang Budaya: Warisan-warisan Kerajaan Konsentris, saat ia mengulas babakan hierarki masyarakat, lebih khusus di sub-bab “peran wanita”. Di buku ini, sejarawan Perancis itu menulis bahwa Prasasti Surodakan ditemukan di Trenggalek. Ia juga membubuhkan catatan yang merujuk kepada buku M. Yamin berjudul Tatanegara Modjopahit: Sapta Parwa,yang bikin saya kian penasaran.

Dari informasi buku Nusa Jawa inilah saya tambah rajin menggali informasi lebih jauh ihwal keberadaan dan isi Prasasti Surodakan, karena Lombard tidak mengulasnya secara detail, alih-alih memuaskan. Ada sebersit tanya mengendap, benarkah prasasti ini ditemukan di Trenggalek? Beruntung di kemudian hari, lelaki alumnus sejarah itu mendapatkan 5 buah buku M. Yamin, dari sebuah lapak loakan buku di Yogyakarta, dengan jilid berurutan.

Meski tak genap 7 buah (sapta parwa), saya sudah seperti disuguhi es dawet Jabung saat buka puasa, karena transkrip Prasasti Surodakan ada di jilid 2. Berkat pemberitaan De Indische courant yang telah diarsipkan situs delpher.nl ini, mantab sudah bahwa lempengan Prasasti Surodakan memang sungguh-sungguh pernah ditemukan di Trenggalek.

Prasasti Surodakan

Prasasti Surodakan sebetulnya bertahun 1369 Saka/ 1447 M (abad ke-15). Berbentuk piagam panjang, terdiri dari 14 lempeng (154 baris), dan pernah ditranskripsikan oleh J.G de Casparis. Prasasti ini lantas diikut-terbitkan dalam buku Yamin (Sapta Parwa) ketika sedang menelaah dasar dan bentuk tata-negara Nusantara melalui, beberapa di antaranya, prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit.

Keberadaan prasasti ini mungkin tidak dilirik oleh Tim Sejarah Kabupaten Trenggalek sebagai rujukan tambahan untuk buku Sejarah Kabupaten Trenggalek, karena tidak ada kaitan secara langsung dengan silsilah Kabupaten Trenggalek: subtansinya jauh berbeda dengan Prasasti Kampak maupun Prasasti Kamulan. Atau, jangan-jangan memang tim sejarah tidak mengetahui keberadaannya (?).

Meski begitu, sebetulnya Tim Sejarah Trenggalek, yang dibantu oleh akademisi IKIP Malang, sempat menyebut kemungkinan adanya prasasti setelah Prasasti Kamulan, dengan data pendukung pernah ditemukannya monogram bertahun 1330 Saka/1408 Masehi yang tertulis di belakang arca wanita di Desa Dompyong, Bendungan. Berdasarkan monogram itu, tim yakin bahwa wilayah Trenggalek pernah menjadi perhatian Raja Majapahit ke-5, Wikramawardhana, yang memerintah pasca Hayam Wuruk.

Nama prasasti ini lengkapnya adalah prasasti Widjaja-Parakrama-wardana (sering disebut Prasasti Surodakan/Prasasti Waringin Pitu). Kala itu Majapahit dirajai Prabu Widjajapara-kramawardana/Brawijaya I (1368-1373 Saka/1447-1451 M). Menurut sumber lain, prasasti ini dikeluarkan oleh Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya, berkenaan dengan pengukuhan perdikan dharma Rajasakusumapura. Dan perlu diketahui, Kertawijaya sendiri adalah nama lain dari Prabu Widjajapara-kramawardana. Kertawijaya adalah Raja Majapahit ke 7, berkuasa pasca pemerintahan Rani Suhita (Raja Majapahit ke-6).

Dalam Prasasti Surodakan, terdapat 14 negara-daerah yang mana 9 di antaranya dipimpin oleh para wanita. Karena itulah mengapa Lombard, sinyalir saya, di buku Nusa Jawa memasukkannya ke dalam sub bab “Peran Wanita” di zaman feodalisme kerajaan. Empat belas daerah (provinsi atau vasal)—yang dalam sumber berita De Indische courant disebut “nama-nama kerajaan”—itu adalah: Daha, Djagaraga, Kahuripan, Tandjungpura, Padjang, Kembang Djenar, Wengker, Kabalan, Tumapel (Janggala), Singapura, Matahun, Wirabumi, Keling dan Kalinggapura (Yamin, 1962: hlm. 211-212). Hasan Djafar pernah mengidentifikasi letak ke-14 daerah (vasal) tersebut dalam bukunya, Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya.

Dengan melihat tahun diresmikannya prasasti, yakni pasca meninggalnya Rani Suhita (1351-1369 Saka/1429-1445/1447), tak diragukan di masa Prabu Widjajapara-kramawardana–lah prasasti ini diresmikan. Suhita adalah Ratu Majapahit kedua sesudah Tribuwana Tunggadewi. Akrab dikenal masyarakat dengan nama Ratu Kencana Wungu. Menurut kabar, Suhita adalah cucu Bhre Wirabhumi, musuh utama Wikramawardhana (suami Kusumawardhani) dalam Perang Paregreg.

Prasasti Surodakan dikeluarkan Raja Widjajapara-kramawardana berisi perintah untuk mengukuhkan status tanah sebagai perdikan kerajaan (radja-dharma). Perintah raja ini diiringi oleh perintah 14 orang raja-daerah, dan ditadah oleh Rakrian Katrini atau tiga orang menteri penting yakni: rakrian-manteri Ino, Sirikan dan Alu. Kedudukan perdikan ini ditetapkan dengan suatu piagam kerajaan yang berisi penetapan kedudukan ”perdikan-darma (di) Waringin Pitu” menjadi ”perdikan kerajaan” dengan nama Radjasa-kusuma-pura oleh Widjajapara-kramawardana, dengan dibubuhi cap lencananya. Mengenai di mana lokasi Waringin Pitu itu sebenarnya, perlu telaah sendiri nantinya.

Penetapan ini atas permintaan nenek raja, yakni Radjasa-Duhita-Isjwari (Diah Nertadja atau Bhre Pajang), untuk menjaga peninggalan fana dari yang mulia ayahandanya yang mangkat di Sunyalaya (mungkin yang dimaksud adalah Raden Cakradhara, suami Ratu Tribhuwana). Diah Nertaja adalah nenek perempuan Prabu Widjajapara-kramawardana. Diah Nertadja tidak lain adalah adik kandung Hayam Wuruk. Bahkan, rancangan perdikan kerajaan ini dulu sudah lama disusun oleh Batara Hiang Wekas ing Suka (Hayam Wuruk). Sementara sang penulis prasasti adalah guru Isyanata yang pada saat itu menjabat sebagai Aria Nyaya-adikara dengan bubuhan cap lencana raja dan bersampul warna kuning, disaksikan oleh dua orang Darmadyaksa: baik dari ke-Syiwa-an (Dang acarya Isywara) maupun bagian Kasaugatan/Buddha (Dang acarya Sastra-Raja).     

Soradakan atau Waringin Pitu ini adalah sebuah prasasti yang memutuskan, sekitar empat belas nama tempat (pāduka bhaṭṭāra) dengan tidak kurang dari sembilan di antaranya adalah nama para perempuan keraton (peranan wanita sebagai pemimpin) di daerah-daerah yang disebut dalam prasasti. Dari situ, kita jadi tahu, ihwal peran perempuan dalam kepemimpinan masa kerajaan Hindu. Sebab dalam kisah-kisah masa Hindu, peranan tokoh-tokoh wanita dalam kedewataan Hindu-Jawa memang cukup masyhur, sebut saja Dewi Sri, Durga (Uma), Prajnaparamita, juga Srikandi.

Prasasti Surodakan merupakan prasasti penting yang merekam situasi masa akhir Majapahit. Dari prasasti ini kita mendapatkan keterangan mengenai keadaan politik dan susunan pemerintahan Kerajaan Majapahit di Masa Widjajapara-kramawardana. Kita juga mengetahui bahwa di bawah Raja Majapahit terdapat 14 orang pāduka bhaṭṭāra (sejumlah penguasa/raja daerah). Mereka masing-masing memerintah di sebuah wilayah atau negara-daerah “yang mandiri”.

Di samping itu, kita masih bisa mengetahui adanya sejumlah pejabat tinggi kerajaan yang disebut Rakryān Katrīni. Mereka terdiri dari Rakryān Mantri Hino, Rakryān Mantri Sirikan dan Rakryān Mantri Halu. Ada juga Rakryān ri Pakirakirān yang terdiri dari Rakryān Rańga, Rakryān Kanuruhan, Rakryān Dmuń, Rakryān Tuměńguń dan Rakryān Mapatih. Dan, kita juga tahu dua agama berbeda (Hindu dan Buddha) bisa rukun berdampingan di masa itu, hingga tingkat pusat.

Organisasi di tingkat desa abad ke-11, yakni desa-desa masa kerajaan Jawa Tengah dan awal Jawa Timur dikenal dengan sebutan wanua, lalu berganti nama menjadi thāni di masa Kadiri. Sejumlah thāni secara bersama-sama membentuk satuan teritorial lebih besar yang disebut dengan istilah wisaya. Prasasti Hantang (1135 M) dari masa Kadiri yang dikeluarkan oleh Raja Jayabhaya menyebut, antara lain, bahwa ”Wisaya Hantang terdiri dari 12 thāni, dengan thāni yang disebut pertama sebagai yang utama” (Supratikno Rahardjo, 2011: hlm. 97). Dan di masa Majapahit—melalui Prasasti Surodakan—muncul pāduka bhaṭṭāra yang masing-masing mempunyai daerah administratif berupa vasal. Prasasti berbahan tembaga menggunakan aksara Bali dan berbahasa Jawa Kuno itu menurut sebuah catatan, kini berada di Museum Nasional Jakarta nomor inventaris E.67.

Bagaimanapun, kendati kita belum tahu lokasi persisnya di mana, Prasasti Waringin Pitu punya substansi penting guna mengulik informasi perkembangan tata birokrasi di masa akhir (Majapahit). Di masa Singhasari perkembangan tata birokrasi di tingkat atas itu bisa kita lacak melalui Prasasti Mula Malurung (1255 M), yang dikeluarkan oleh Raja Sminingrat atau Wişnuwarddhana, dengan menyebut tujuh nama anggota keluarga yang diangkat menjadi kepala pemerintahan di sejumlah negara bawahan/vasal (Pigeaud, 1963; Schrieke, 1959; dalam Supratikno Rahardjo, 2011: hlm. 96-97). Sementara dalam Prasasti Waringin Pitu atau Surodakan, makin jelas bahwa apa yang dulu telah muncul masa Singhasari, telah berkembang pesat dalam skala yang lebih besar dan jauh lebih maju di masa akhir Majapahit.

Artikel Baru

Artikel Terkait