Hari Anak dalam Perubahan Iklim: Potensi Lahirnya Generasi Difabel

Momentum berbagai peringatan kerap jadi selebrasi tanpa substansi. Menjadi perayaan satu hari setelah itu misbar alias gerimis bubar. Berbagai twibbon sudah menghiasi status medsos dengan pilihan foto paling epic pemilik akun medsos. Tak terkecuali dalam Peringatan Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli.

Tahun ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tentu tema ini menjadi harapan, agar generasi bangsa menjadi generasi “maju”. Namun data dari website Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini menunjukkan angka stunting masih berada di atas standar yang ditoleransi WHO yakni 24,4 persen.

Mengutip akun Rumah Sakit Sardjito “stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama”. Faktor penyebab stunting adalah: mulai dari ekonomi keluarga, penyakit atau infeksi, serta kondisi lingkungan yang tercemar. Bahkan, penyebab stunting bisa berasal dari masalah non kesehatan, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, hingga persoalan degradasi lingkungan.

Sebagaimana ditemukan daftar penyakit dalam 60 tahun terakhir oleh World Wild Fund for Nature (WWF) mengklasifikasikan sebagai pendemi yang diakibatkan oleh kerusakan alam. Beberapa daftar yang sudah dikenal antara lain: HIV,SARS, MERS, ZIKA, EBOLA, dan Covid 19. WWF menyoroti konversi lahan besar-besaran menjadi penyebab munculnya pandemi. Pathogen-pathogen yang semula berada pada hewan liar dan menempati habitatnya di hutan, akhirnya meloncat dan berinteraksi dengan manusia.

Akankan harapan dalam slogan Peringatan Hari Anak Nasional 2022 menjadi kenyataan jika penyebab-penyebab di atas tampak jelas di depan mata. Dalam dua tahun terakhir dengan pandemi yang melanda, angka kematian ibu dan bayi menurut Kemenkes 2021 sebesar 62 % justru terjadi di rumah sakit (Liputan 6). Data lain mengungkapkan, pada 2021 sebanyak 536 ibu hamil di Indonesia terpapar Covid 19, sebanyak 16 orang meninggal. Diperkirakan setiap 1000 ibu hamil, 32 orang meninggal. Data ini diambil dari Perkumpulan Obstetric dan Ginekologi Indonesia (POGI) melalui media Kompas.

Perubahan Iklim Mengancam Rahim Perempuan

Tambang, Perempuan, dan Ekofeminisme
Yu Sukinah, Kartini Kendeng dari Rembang, Jawa Tengah/Foto: @purplerebel (twitter)

Perubahan iklim memberikan pengaruh berbeda bagi perempuan yang lebih rentan. Ia memiliki rahim sehingga mengalami kehamilan, melahirkan, menyusui, dan butuh akses utama kehidupan yakni air. Krisis iklim telah mengakibatkan sumber kehidupan tercemar dan hilang karena kekeringan. Bentang alam berubah dengan maraknya alih fungsi lahan yang semula berupa kawasan hijau berupa hutan maupun lahan pertanian, lalu dikapling menjadi wilayah konsesi bisa berupa tambang, hutan tanaman industri, kawasan wisata, dan industri.

Di Kalimantan Timur dalam catatan Jatam, ada 1.735 lubang bekas tambang batu bara yang dibiarkan mengaga, telah merenggut 40 korban di mana 33 kasus korbannya remaja dan anak-anak. Kota Samarinda sendiri, sejak 1999, di awal otonomi daerah, 71% wilayahnya dikonsesi menjadi wilayah tambang. Lubang tambang ini juga menimbulkan genangan air yang mengandung racun berbahaya. Hasil uji sampel air yang dilakukan Jatam pada kolam bekas tambang mengandung logam berat. Keasaman (pH) hanya 3,00 pH di bawah standar air baku mutu. Kandungan mineral dalam air lah yang mempengaruhi tinggi rendahnya pH. Ini tak layak digunakan untuk mencuci dan mandi. Dalam periode panjang bisa menyebabkan kanker dan tremor body: badan bergetar/tidak seimbang (Tribun Kaltim, 2015).

Kondisi alam yang demikian nyaris sama di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hampir keseluruhan wilayah Indonesia masuk dalam konsesi. Kehadiran tambang emas di Trenggalek mengancam hilangnya 152 mata air di 16 desa. Untuk mendapatkan 1 gram emas butuh 100 liter air, dampak buruknya juga menghasilkan 2,1 ton limbah. Bahkan untuk memisahkan bijih emas menggunakan bahan berbahaya yakni sianida atau merkuri.

Data tersebut semakin membenarkan temuan Guru Besar Biologi Perkembangan Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Win Darmanto, sebagaimana dirilis Kompas, menyebutkan, “pemicu utama banyak anak mendapati cacat bawaan sejak dilahirkan adalah akibat dari kandungan zat kimia merkuri yang terkandung dalam peralatan atau proses pemisahan emas dari pasir sungai yang diambil dan mengalir ke air konsumsi, air mencuci, atau kamar mandi mereka”. Menurutnya, melihat banyaknya mata pencaharian tambang emas manual di Indonesia, ditemukan bayi cacat sejak lahir.

Bisa berkaca pada tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi, dalam dokumen AMDAL milik PT. Indo Multi Niaga sebelum dialihkan ke PT. BSI menunjukkan, pembangunan “Tailing Dam” yang pipanya berakhir di laut kawasan pancer dilihat dari Peta Rencana Kegiatan Penambangan Emas. Meskipun menggunakan dalih teknologi Heap Leaching, penggunaan sianida dibutuhkan untuk mengekstraksi batuan menjadi emas.

Sekali lagi, harapan dalam Peringatan Hari Anak Nasional 2022 dengan jargon “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” hanya menjadi harapan kosong pemerintah, sebab kondisi lingkungan yang baik sebagai prasyarat tumbuh kembangnya anak Indonesia tidak diperoleh. Lingkungan yang buruk secara keseluruhan juga perubahan iklim, berdampak ke berbagai dimensi, perubahan musim tak menentu mengancam ketersediaan pangan, bukan tak mungkin angka stunting semakin tinggi. Air yang tercemar berbagai limbah berbahaya mengancam rahim perempuan. Kondisi ini berisiko lahirnya difabel sejak lahir.

Kondisi ini kian parah mengancam generasi anak Indonesia. Apalagi jika pemerintah masih tidak mau menghentikan laju perubahan iklim yang disebabkan oleh alih fungsi lahan berupa pertambangan, hutan tanaman industri, dan kawasan industri. Pemerintah wajib memberikan hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat kepada setiap warganya, terutama anak-anak. Jangan sampai kematian anak di lubang tambang terus berjatuhan dan potensi anak Indonesia lahir difabel bawaan semakin tinggi oleh degradasi lingkungan dan sebab-sebab lain yang saya uraikan di atas.

Artikel Baru

Artikel Terkait