Trenggalek dan Literasi

“Kekerdilan” sebuah kota belum tentu mengecilkan semangatnya untuk maju. Kota bukan hanya lokasi yang panas, penuh polusi, di mana manusianya saling berdesakan dengan suara-suara lantang keresahan dan kesusahan. Persis seperti gambaran lagu Shaggy Dog feat Iwa K.

Mataku memandang dari jendela kaca saat aku
Berada dalam angkutan kota
Anak-anak kecil bermain di
jalanan menjulurkan
Tangannya untuk meminta-minta
Penuh harapan penuh tantangan
Penuh harapan penuh tantangan
Badan hitam legam terbakar matahri
sehitam warna langit kota yang penuh polusi

Sedikit cuplikan di atas cukup mewakili potret kota-kota besar yang ada di Indonesia. Keadaan seperti itu bisa kita tampik, ketika berada di Trenggalek. Trenggalek bisa dikatakan kota kecil, namun kehidupannya tentu tidak separah kota-kota besar. Sebab, di sana kita masih bisa merasakan hawa dingin, tidak terlalu ramai, dan dekat pula dengan beberapa tempat wisata.

Saya sering bertandang ke sana. Entah hanya untuk bersinggah ke rumah teman atau menjenguk adik. Selain pariwisata, kesenian, pendidikan dan ekonominya di pelbagai sektor,  ada hal yang unik bisa kita temui di Trenggalek, yakni tingkat produktivitas dalam menulis. Meski kalah jauh dengan kota Malang atau Jogjakarta, Trenggalek bisa dikatakan mengimbangi. Faktanya, memang banyak penulis-penulis produktif yang berumah di sini.

Bahkan ada beberapa buku yang sudah saya khatamkan, yang merupakan produk literasi teman-teman Trenggalek. Di sini mulai dari kawula muda sampai orang tua, masih tetap mengimani menulis sebagai spirit. Hal ini bisa dijadikan salah satu semangat para penulis seperti saya yang masih taraf belajar.

Bisa dibuktikan situs yang Anda baca saat ini adalah salah satu sarana penuangan tulisan-tulisan yang membahas tentang lokalitas. Ini yang menarik dari situs yang menitik-beratkan ke tema-tema lokal ini. Karena tidak banyak yang tertarik untuk berkonsentrasi menulis di ranah lokalitas. Misalkan, banyak akun-akun on line yang mengumpulkan beberapa tulisan dari berbagai sudut, namun nggalek.co tetap istikomah dengan tema kedaerahan. Ini tidak bisa dipisahkan dari semangat darah muda—meminjam kata Bang Haji Roma Irama—dalam memajukan literasi dan membahas isu-isu kedaerahan, khususnya di Trenggalek.

Nggalek.co adalah salah satu ruang berliterasi, sebut saja begitu, yang berkonsentrasi untuk mengkaji karakter-karakter pedesaan. Orang-orang yang berkumpul di sana juga sering melakukan ritual yang tidak jauh dari literasi dengan fokus keimanannya tentang desa.

Beberapa kelompok literasi Trennggalek sebagaian besar memproduksi buku sendiri. Hal ini pertanda bahwa peradaban hari ini butuh literasi. Dunia literasi (baca: membaca, bercakap, menulis, menyimak) bukan hanya dibatasi pembelajaran di bangku sekolah, bimbingan belajar, eksta kulikuler atau kegiatan akademik lainnya. Bermodal diskusi, jelajah, koran, majalah, buku, dan disokong media on-line, literasi diharapkan semakin segar dan makin menggeliat. Sebab, membaca merupakan ritual yang wajib dilakoni manusia. Seperti yang dikatakan Duta Baca Indonesia, Najwa Sihab, membaca bukanlah sebatas mengeja huruf, membaca juga kerja yang menaut dan mengaitkan ide. Najwa juga mengamini bahwa awal kerja literasi adalah banyak membaca. Membaca memang menjadi ritual yang tidak mungkin bisa ditinggalkan oleh para penulis atau penggiat literasi

Para tokoh bangsa juga tidak lepas dari aktivitas berliterasi. Maka tak berlebihan jika semangat Ir. Soekarno yang selalu membaca, bahkan ketika di penjara, tidak lepas dari hidup kesehariannya. Bahkan wakilnya, Bung Hatta, pernah menyatakan, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas”.

Pemaknaan kebebasan semakin meluas, bukan hanya ragawi yang bisa melakukan hal apapun. Keliaran ide di tempat yang amat sempit, juga bisa menjadikan sebuah kemerdekaan. Membebaskan otak untuk berpikir, berimajinasi merupakan kemerdekaan mutlak. Bahkan Hatta digadang-gadang sangat mencintai buku melebihi tubuhnya. Bahkan dia sempat dijuluki sebagai perpustakaan berjalan. Bukan hanya otak yang menyimpan berbagai isi buku, tapi juga semangatnya dalam membawa buku-buku ke mana pun ia pergi. Kehidupan asmara pun tidak lepas dari buku. Dengan sangat percaya diri, Bung Hatta melamar Rachmi dengan sebuah buku karyanya sendiri.

Bagi saya, ini merupakan hal paling romantis dan yang pernah dilakukan seorang pria. Bagaimana dia mampu memberikan pemikiran, memberikan ide untuk istrinya. Hatta sepertinya memang mengajarkan istrinya untuk menjadi lebih baik. Hatta seperti memiliki semangat untuk memberikan pendidikan kepada istrinya sendiri. Bagi saya, berkeluarga berarti juga membangun sebuah pendidikan kecil.

Ada anggapan semakin tinggi melek literasi sebuah negara, maka semakin maju dan makmur negara tersebut. Namun hal tersebut kurang menjadi perhatiaan masyarakat yang dipimpin oleh kedua anak muda itu. Selain itu, seharusnya kita juga ikut terlibat dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Bulan Maret kemarin perpustakaan daerah Trenggalek mengadakan acara hibah buku dari masyarakat. Pengelola perpusda juga mengakui bahwa banyak buku yang sudah lama dan mengalami kerusakan. Oleh karenanya, Trenggalek seyogyanya menghindar dari stigamtisasi hal negatif. Trenggalek harus berani keluar dari tempurungnya, menuju daerah dengan melek literasi yang lebih baik lagi. Semoga.

Artikel Baru

Artikel Terkait