Merawat Tradisi Pijat Tradisional

Rekam jejak tentang aktivitas orang melakukan pemijatan pernah diukir oleh orang dahulu. Pada awal abad 8 atau 9-an, di relief Candi Borobudur, terdapat pahatan aktivitas pijat selepas seharian bekerja. Jika itu benar, maka pijatmemang merupakan salah satu tradisi lama yang dilakukan orang, khususnya sebagai penyembuhan alternatif untuk badan.

Pijat merupakan cara sederhana lagi tradisional bagi orang untuk mengembalikan kebugaran badan setelah kelelahan. Karenanya, sebagian besar masyarakat indonesia memanfaatkan keahlian dan keterampilan tukang urut untuk mengembalikan kebugaran. Tukang urut atau tukang pijat adalah garda terdepan dalam urusan memijat dan mengembalikan metabolisme darah yang menggumpal di otot.

Selain itu, tukang pijat adalah orang yang rendah diri dalam merawat tradisi. Pijat sejak dahulu sampai kini dilakukan dengan memakai tangan di tengah gempuran teknologi pijat refleksi yang efektif nan efisien. Meski demikian, saya sendiri tidak memiliki keahlian dalam bidang pijat-memijat. Kecuali nanti keahlian mendadak barangkali saat memijat istri. Saya menulis ini lantaran, saya lebih suka dipijat daripada memijat. Lebih tepatnya, saya memiliki tukang pijat langganan yang siap setiap saat melayani saya di tengah kesibukan melayani pelanggan lain.

Kenapa saya tidak memilih atau minimal beli alat pijat refleksi yang saat efisien? Tinggal colokkan  ke listrik, lalu pakai. Ya, karena saya lebih percaya dan yakin, bahwa pijatan tukang urut memiliki filosofi tersendiri. Pijatan refleksi dan pijatan tukang urut jelas berbeda. Perkara sentuhan tukang urut dan pijat refleksi “listrik”, bagi saya lebih akurat jasa tukang pijat. Dan, pemijatan di bagian tertentu menimbulkan “gairah” yang tidak dimiliki oleh pijatan refleksi, yang memakai mesin itu. Oleh karenanya, saya tetap mengunggulkan akurasi sentuhan tukang urut ketimbang jasa teknologi pijat refleksi, yang hanya terasa geli atau kejut-kejut semut itu.

Saya memiliki tukang pijat langganan yang hampir satu bulan sekali berkunjung ke rumah. Namanya Pak Gafur (bukan nama samaran) merupakan asli orang Probolingga, namun ia sudah lama menetap di sini dan menjadi warga setempat. Saat saya panggil untuk memijat, ia datang tak sesuai giliran saya. Ia “kerap” me-nomorsatu-kan saya daripada pelanggan lain di luar. Barangkali ia menganggap saya adalah pelanggan setia yang sering menggunakan jasa servis pijatnya.

Namun untuk masyarakat urban mayoritas diburu waktu, jasa medis atau pijat refleksi lebih efektif dan efisien. Secara tidak langsung, sikap ini merepresentasikan bahwa masyarakat sangat bergantung dan menganggap pijat begitu penting untuk masyarakat kita sebagai penyembuh alternatif. Gejala ini memang agak berbeda dengan yang diterapkan masyarakat Barat. Mereka tidak menganggap pijat sebagai culture mereka, sehingga pijat tak teramat penting. Ya, kita bisa memaklumi aktivitas orang Barat sebagian besar bekerja di instansi. Tak ada waktu luang untuk merebahkan tubuh, menikmati setiap pijatan yang sensional dari tukang pijat.

Satu sisi, masyarakat kelas menengah lebih mengenal message ketimbang pijat. Jika kita berkunjung ke kota, misalnya, rumah message, mencuri pandang dengan tawaran yang begitu menggiurkan; bikin kantong merinding. Dengan ruang dan pelayanan lux, message hadir menyapa dan memberi “servis” para kaum sosialita. Anda kerap menjinjing tas berlabel mahal, sepatu high, gincu meronah. Rumah pijat melayani fasilitas tambahan pedikur, medikur lebih terlihat prestise nan bermartabat.

Lebih lagi, dikotomi pijat sering dipakai tempat portitusi. Label pijat plus-plus, kerap kita jumpai dalam rumah pijat di pinggir jalan. Meski kesannya sederhana penambahan label “plus-plus”: transaksi esek-esek, dan jual-beli portitusi tak terhindarkan. Kata “pijat” kerap diasosiasi sebagai tempat yang kerap meresahkan warga dan sebagai dalih keretakan rumah tangga.

Di Jawa, pijat merupakan cara alternatif untuk pertolongan pada kondisi kurang fit. Menarik dicermati bagaimana sikap atau sugesti yang muncul di  Jawa, orang yang baru kecelakaan, jika tak segera dibawa ke tukang pijat, maka kondisi badan bisa makin buruk. Hemat kata, badan tambah drop luka bekas kecelakaan jadi manastisi dan menjadi sakit.

Sebagai orang yang lahir di sebuah kampung di Desa Tasikmadu, Kabupaten Trenggalek, saya sangat akrab dengan tukang pijat. Sebagian besar warga desa berprofesi sebagai petani dan nelayan, tukang pijat tak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, bukan berarti di daerah saya tidak ada pelayanan kesehatan: Rumah (sehat) Sakit, Puskesmas, dokter praktik, mantri maupun bidan. Tetapi tukang pijat sangat sesuai dengan kultur orang desa yang bekerja saban hari bekerja di ladang/ hutan maupun di laut tanpa kenal hari libur. Meski, tak dipungkiri, jamu tradisional dan rumah (sehat) Sakit atau puskesmas menjadi pilihan tepat setelah pijat.

Pijat merupakan culture masyarakat Indonesia. Masyarakat kerap menganggap, pijat merupakan cara tepat untuk memulihkan kondisi tubuh yang turun: lesu, lemah, letih dan lunglai akibat kelelahan seharian bekerja. Dalih itu mensugesti seseorang untuk memanggil tukang pijat.

Satu sisi, saya tak bisa jauh dari tukang pijat adalah seringnya mengendarai motor dengan jarak agak jauh. Capek dan lesu sering menghampiri tubuh. Dalam interval waktu tiga minggu atau satu bulan, saat kondisi fisik turun, tukang pijat seakan menjadi penolong yang tepat. Salah satu penyebab kondisi badan cepat capek atau drop adalah tidak lancarnya darah mengalir ke seluruh tubuh.

Setelah mendapat pijat(an), minimal relaksasi, tubuh serasa sehat kembali. Tetapi di awal pijatan, tubuh merasa sakit akibat benjolan: darah menggumpal yang tak mengalir lancar. Benjolan pada otot tersebut disebabkan darah tak bekerja optimal, gampangnya, tak mengalir ke sekujur tubuh, yang mengakibatkan darah menggumpal di daerah benjolan tersebut. Jika benjolan pada bagian tubuh itu sudah ada lagi, maka darah sudah aktif dan badan jadi kembai bugar. Dan siap untuk beraktivitas kembali seperti sediakala.

Karena itu, tukang pijat akan selalu dicari di manapun dan kapanpun. Jasa tukang pijat amatlah tinggi atas kebugaran dan kesehatan pelanggannya. Oleh sebab itu, menggunakan tukang pijat tradisional sama saja merawat culture orang dahulu dalam merawat badan saat merasa kondisi badan tidak sedang fit.

Artikel Baru

Artikel Terkait