Ada beberapa kendaraan transportasi non-bahan bakar yang masih bisa kita jumpai di jalanan, meski tak lagi digunakan secara massal. Salah satunya adalah kendaraan yang akan saya ulas ini. Di Trenggalek, orang lazim menyebut kendaraan transportasi berwujud kereta yang ditarik kuda tersebut dengan dokar.
Kereta bermesin kuda ini mempunyai beberapa versi penamaan , sesuai dengan daerah dan variasi bentuknya. Di Padang orang menyebut bendi (beroda 2 ditarik 1 atau 2 ekor kuda); di Jogjakarta disebut andong (beroda 4 dengan 1 ekor kuda sebagai penarik); dan di Jawa Barat biasa disebut dengan sado (beroda 2 dengan 1 ekor kuda). Selain tentu masih ada sebutan lagi seperti kahar, keretek, dan nayor.
Dokar —tak jauh beda dengan warisan kebudayaan lain— kini tak mudah dijumpai. Seiring zaman, fungsi dokar sebagai alat transportasi (tambangan) tergeser oleh kendaraan bermotor. Jasa ojek, taksi, atau semacamnya ,yang lebih disukai karena dianggap lebih efektif dan efisien.
Selain itu, seperti yang diberitakan di beberapa daerah, keberadaan dokar makin menjauh dari pusat kota, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah setempat. Kotoran kuda yang dianggap sebagai ancaman bagi kebersihan dan keindahan (serta kesehatan masyarakat) kota, juga kekhawatiran akan keselamatan pengguna jalan (lain), menyebabkan dokar dilarang melintasi pusat kota dan ruas jalan tertentu. Walhasil, di satu sisi masyarakat semakin tidak akrab dokar sebagai alat transportasi, di sisi lain pemerintah setempat ikut andil dalam menjauhkan dokar dari pusat perkotaan. Seakan dokar sudah tidak layak lagi mengambil satu tempat di dalam hingar-bingar situasi modern.
Di Trenggalek —yang nota bene adalah sebuah kota kecil dan pinggiran, keberadaan dokar juga sudah sulit ditemui, kecuali di beberapa titik di wilayah kecamatan kota. Itu pun yang ajeg, jumlahnya hanya dalam hitungan jari. Sedang untuk titik “mangkal”, ada setidaknya 2 lokasi yang cukup ajeg. Yang satu, yang hampir tiap hari, di sebelah selatan pasar kota (Pasar Pon). Dan satunya, hanya ada di hari Minggu, di area Green Park, Sumbergedong, Trenggalek.
Secara keseluruhan, tak diketahui secara pasti berapa jumlah dokar di Kabupaten Trenggalek. Sependek penelusuran penulis, jumlah dokar hanya terdapat dalam dokumen statistik Kabupaten Trenggalek Tahun 2010 dan 2011, yakni sebanyak 200 unit. Itu pun sudah akumulasi dokar dan cikar. Artinya, berapa jumlah dokar saja (atau cikar saja) tidak diketahui. Sementara, dalam dokumen statistik untuk tahun 2015, angka tersebut sudah tidak ditemukan.
Tidak dicantumkannya jumlah dokar di dokumen daerah yang paling baru —setelah di tahun-tahun sebelumnya cukup diakumulasikan dengan cikar—dapat diartikan bahwa keberadaan dokar tidak lagi diperhatikan (tak terlalu penting). Bisa jadi, bagi Pemerintah Trenggalek, merupakan hal yang wajar dan biasa-biasa saja jika kemudian dokar benar-benar tidak ada karena “kalah bersaing” dengan alat transportasi lain yang lebih modern. Atau mungkin juga, dokar tidak lagi mempunyai nilai positif bagi program pembangunan yang telah diagendakan.
Dengan nada apologetik, sah-sah saja sebenarnya jika Pemerintah Trenggalek memilih membiarkan dokar untuk bersaing dengan alat transportasi lain yang lebih modern, dan bergelut sendirian melawan zaman. Namun demikian, yang patut dipertimbangkan adalah bahwa menjaga keberlangsungan dokar sama artinya dengan merawat warisan kebudayaan manusia. Sementara itu kita juga tahu bahwa—dengan menyitir idiom masyhur—bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan budayanya.
Kemarin siang (16/5), penulis, dalam rangka mengajak naik dokar anak, untuk pertama kalinya, berkesempatan untuk ngobrol dengan kusir dokar yang tiap hari “mangkal” di sebelah selatan Pasar Pon. Dari “wawancara ala kadarnya” sepanjang perjalanan kurang lebih 30 menit, penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya Pemerintah Trenggalek mempunyai alasan yang kuat untuk lebih memerhatikan dan menjaga keberadaan dokar di Trenggalek. Pertama, jelas, bahwa menjaga keberadaan dokar berarti menjaga warisan kebudayaan.
Kedua, dokar bermetamorfosis menjadi sarana rekreasi alternatif. Seperti dituturkan kusir, dari 4 hingga 6 pengguna jasanya setiap hari, sebanyak 3 sampai 5 di antaranya menyewa untuk “jalan-jalan” mengelilingi kota bersama keluarga. Angka tersebut naik 2 hingga 3 kali lipat pada hari libur. Jadi, menjaga keberadaan dokar, bukan hanya mewujudkan sarana rekreasi melainkan juga menyediakan peluang usaha bagi masyarakat Trenggalek. Terlebih, jika Pemerintah Trenggalek sungguh-sungguh berkeinginan untuk menjadikan Trenggalek sebagai kota wisata,upaya menjaga dan memberdayakan keberadaan dokar sangat layak untuk dipertimbangkan.