Sore itu angin mulai menghembuskan hawa dingin, meski di siang harinya udara terasa begitu panas. Ini adalah musim ke-11 menurut perhitungan kalender Jawa. Udara semacam ini sebagai tanda bahwa musim kemarau telah berlangsung.
Puasa Ramadan sudah memasuki pertengahan. Sore itu kami (tim Bagimu Trenggalek) merencanakan untuk berbuka bersama di tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, yakni di Taman Kelinci Pasopati, yang terletak di Desa Malasan, Durenan. Kendati waktu persiapan tergolong mepet, namun tertolong berkat bantuan Paguyuban Pasopati yang siap sedia menyediakan menu berbuka, tentu dengan paket harga menu yang ditentukan.
Paguyuban Pasopati merupakan kepanjangan dari Paguyupan Sinoman Peduli Lotekol Kreatif, diikuti oleh para pemuda Desa Malasan yang memiliki semangat untuk membuat hal baru yang dapat memberikan efek positif bagi masyarakat desa. Misalnya efek ekonomi dan wisata berbasis edukasi. Alih-alih mereka bermalas-malasan. Beberapa bulan sebelum kedatangan kami, mereka telah mampu memelopori berdirinya Taman Kelinci.
Terletak di Dusun Lotekol, Malasan, Durenan, Taman Kelinci didirikan. Dengan dana dan tenaga patungan (swadaya) mereka bersepakat untuk membuat konsep wisata edukasi yang diharapkan bisa mengangkat nama desa mereka (Desa Malasan). Awalnya, lokasi ini berupa hamparan tanaman heterongen dan semak. Dengan pohon sengon sedikit lebih mendominasi ketimbang pohon lainnya. Lantas Paguyupan Pasopati mengubahnya menjadi Taman Kelinci dengan pernak-pernik yang menghiasi.
Pukul 17.15 WIB, rombongan kami hadir di tempat parkir Taman Kelinci. Beberapa kawan sudah hadir lebih dulu ketimbang kehadiran kami. Mereka belum masuk ke lokasi di mana menu berbuka telah disedikan. Tampaknya, mereka menghendaki untuk masuk bersama-sama.
Tempat parkir yang kami tempati cukup untuk menampung 50-80 sepeda motor. Dibangun berbagi ruang dengan jalan masuk menuju Taman Kelinci. Karena masih baru dan masih dalam tahap pengembangan, tempat ini belum menyediakan secara khusus parkir untuk kendaraan beroda 4.
Kami langsung merangsek menuju tempat yang telah disediakan. Untuk menuju lokasi, kami harus menapaki jalanan yang telah dipaving dengan ukuran lebar kira-kira 1.75 meter. Jalanan ini tidak dibiarkan tanpa adanya hiasan. Terbukti, di sepanjang jalan, sebelah sisi kiri kami, telah dipasang lampu hias warna-warni yang dipadukan dengan anyaman bambu berupa tempat pincuk daun.
Lampu warna-warni diletakkan dalam wadah (rodong) transparan dan ditutup dengan anyaman bambu. Selain membantu memberikan penerangan saat malam hari, kesan yang saya dapatkan adalah buah karya artistik yang sengaja diciptakan untuk menambah keelokan pada Taman Kelinci.
Kami disambut oleh beberapa anggota paguyupan Pasopati. Sesuai dengan kepanjangannya, mereka (para anggota paguyupan) terdiri dari anak-anak muda, meski ada beberapa yang sudah berumur. Setidaknya, beliau-beliau ini memiliki semangat muda yang membara. Kami berjabat tangan dan saling menyapa, sembari mengambil posisi duduk di sebelah meja yang sudah tersaji menu berbuka. Selang beberapa menit, adzan magrib berkumandang, kami berdoa dan menyegerakan mengambil gelas plastik kosong dan memenuhinya dengan kolak (es buah).
Setelah rentetan acara berpengharap pahala itu usai kami kerjakan, kami melanjutkannya untuk ngobrol bareng. Berbagi keluh kesah dan pengalaman. Setidaknya bagi saya pribadi, membuat wisata baru adalah suatu hal yang belum pernah saya lakukan.
Tempat Wisata Karya Pemuda
Sebagai warga masyarakat yang sadar akan perannya di dalam masyarakat dan bernegara, nampaknya telah dilakukan oleh Paguyuban Pasopati. Berbekal semangat kebersamaan untuk membuat karya, lantas menunjukkan pada kita bahwa sebenarnya mereka dapat berperan penuh dalam masyarakat tanpa harus diperintah oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Lagi mereka tak menunggu gelontoran dana dari pemerintah untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
Maka, dari rapat perkumpulan pemuda itu dicetuskan untuk membuat wisata baru, sebagai pembuktian bahwa, meski desa mereka tak dianugerahi garis pantai seperti di Prigi, atau diberikan bonus keindahan sungai seperti di Banyu Nget, Desa Dukuh, Watulimo, mereka tetap bisa melakukan upaya-upaya untuk memberikan “aroma harum” pada desanya.
Dicetuskanlah kesepakatan untuk menginvestasikan apa yang mereka punyai. Misalnya ada anggota yang memiliki uang, maka uang yang di investasikan; ada yang memiliki bambu, maka bambu itulah yang kemudian dihitung dalam satuan rupiah. Untuk tenaga, mereka menyepakati untuk menghibahkannya pada tujuan tersebut hingga benar-benar tercapai.
Mereka bekerja sama untuk membangun mimpi mereka, yaitu Taman Kelinci sembari berharap orang-orang yang ada di sekitar juga juga turut mendukung. Jika merujuk pada keterangan salah satu anggota Paguyupan Pasopati, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak ide kreatif ini. Pada dasarnya wujud dari tujuan ini adalah ekonomi kerakyatan. Mereka, para anggota, menyepakati jika kelak tempat ini menjadi embrio bagi tumbuh kembangnya ekonomi masyarakat.
Didatangkanlah kelinci-kelinci tersebut dari luar kota, karena belum ada pilihan lain semisal peternak kelinci lokal yang kelincinya dapat dibeli. Menurut keterangan mereka, jauh lebih baik memanfaatkan kelinci-kelinci lokal ketimbang harus membeli dari luar kota, itu pun jika ada pilihan. Kelinci yang ada saat ini belum banyak, dan itu disengaja, sebagai langkah untuk mengetes seberapa bagus adaptasi kelinci pada tempat yang mereka buat.
Tak Melulu Soal Kelinci
Mereka juga menciptakan tempat yang nyaman bagi orang-orang yang berkunjung ke sana. Memanfaatkan investasi bambu dari anggota, mereka membuat panggung setinggi setengah depa yang menyerupai jembatan membentuk huruf U. Dan di bawah atap bambu (dibentuk para-para), mereka menautkan lampu warna-warni sekaligus lampu hias yang menyerupai lampion, dengan modifikasi penuh.
Mereka memanfaatkan bambu untuk dibuat anyaman berupa kalo (semacam fiter namun terbuat dari bambu, biasanya dipakai untuk memeras santan atau meniriskan sayur yang baru direbus). Kedua kalo dipasang dengan bibir berhadapan dan di tengahnya diberi lampu. Dengan beberapa pernah-pernik, hiasan lampu ini efektif menambah semarak cahaya ketika malam hari.
Tak lupa untuk menjamin rasa nyaman para pengunjung, mereka mendirikan toilet di sebelah pojok utara, tepat di antara rimbunan bambu dan juga tempat sholat yang diposisikan di-undakan paling tinggi. Mushola ini nampak sederhana lagi nyaman, karena berada di ketinggian dan tidak ditutupi dinding, namun hanya memanfaatkan kain tipis yang berkibar pelan saat angin menerpa.
Bangunan-bangunan ini seminimal mungkin memakai semen, bangunannya lebih kental menyiratkan wajah pedesaan ketimbang aura hedon. Bahkan salah satu pelaku seni yang ikut mengarsiteki taman kelinci, mengakui bahwa ada makna filosofis dari bangunan ini, itu bisa kalian tanyakan langsung saat ke sana. Karena saya tidak akan menceritakan dalam tulisan ini.
Konsep pengembangan wisata kelinci ini tidak melulu kelinci, meski pada masa-masa ke depan mereka akan fokus pada pengembangan jumlah kelinci dan menjamin kesehatannya (mereka berencana meminta bantuan dokter hewan). Namun ada beberapa hal yang sejatinya tengah mereka perjuangkan. Yakni lahirnya produk-produk kreatif asli Desa Malasan dan sekitarnya, yang bisa difungsikan sebagai souvenir. Juga produk-produk olahan khas desa yang sedapat mungkin bisa menambah nilai ekonomi bagi masyarakat.
–0–
Selepas kami ngobrol, saya mencoba mangambil beberapa biji wortel yang telah di sediakan (satu picis harganya 2.000), lantas saya masuk ke dalam kandang kelinci. Melihat saya membawa makanan favorit mereka (sepertinya begitu), kelinci-kelinci ini satu persatu mendekati tempat saya berdiri. Mereka mengantri dan menunggu saya jongkok sambil mengulurkan wortel tersebut.
Tanpa menunggu lama saya sodorkan wortel tersebut ke arah mereka, lantas tanpa menunggu pula, mereka melahap wortel tersebut langsung dari tangan. Mereka berbagi satu sama lain, bergantian mengerat wortel dengan rukun. Masih ada lima wortel di tangan kiri saya, dan mereka tahu keberadaan makanan tersebut. Lantas mendongakkan kepala sambil berdiri mengangkat kaki depannya. Di dalam hati saya berkata, sebenarnya wisata semacam ini jauh lebih baik untuk mengajarkan anak-anak kita menghargai binatang, semisal kelinci.
Karena saat ini sudah begitu kritisnya, anak-anak kita lebih dekat dengan dengan permainan bertema hewan di smartphone ketimbang langsung menghadapi hewan-hewan sebenarnya. Maka esok ketika anak saya sudah libur, akan saya ajak mereka ke Taman Kelinci Pasopati, supaya dapat mengerti, kenapa playboy menjadikan kelinci sebagai icon kebanggaan mereka?