Ramadan merupakan bulan mulia, di mana semua umat muslim berlomba-lomba meningkatkan amal ibadahnya. Begitu mulianya bulan Ramadan oleh Allah Swt, diberi kemurahan dengan “diobralnya” atau dilipatgandakannya pahala dari setiap ibadah yang dikerjakan oleh manusia. Meski begitu, eksistensi bulan Ramadan sesungguhnya juga harus dibarengi dengan ketetapan jiwa sosial.
Sederhananya adalah bisa saling berbagi di banyak kegiatan-kegiatan sosial seperti berbagi makanan berbuka, silaturahmi dengan kawan dan sahabat, serta kegiatan baksos lain. Serta menunaikan dan membayar Zakat Fitrah di akhir bulan Ramadan tentunya. Bayar zakat sesungguhnya tanda bahwa Islam itu adalah agama sosialis, sangat peduli antarsesama, bukan pengertian sosialis sebagaimana yang dibawa oleh Mbah Karl Marx.
Selain itu, bulan Ramadan selalu memiliki tradisi yang unik dan khas. Seperti yang dilakukan oleh warga negara di berbagai penjuru dunia. Mereka memiliki cara tersendiri untuk menyambut serta mengisi bulan mulia ini. Tak terkecuali di negara Indonesia yang mayoritas Muslim.
Di berbagai daerah di Indonesia, selalu ada memiliki cara dan tradisi yang unik dan khas untuk menyambut bulan suci ini. Di Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Tranggalek dan sekitarnya, misalnya, juga memiliki tradisi yang khas. Tradisi itu adalah mengadakan ziarah bersama atau biasa kami menamainya dengan istilah geren atau nyekar. Termasuk di akhir Ramadan atau mendekati riyaya (lebaran). Orang-orang juga nyekar atau geren di makam sanak saudaranya. Tradisi ini merupakan kegiatan turun temurun dan membersihkan makam leluhur, membacakan tahlil, dan doa-doa lainnya.
Tidak hanya membersihkan area makam, tradisi ini biasa dilanjutkan dengan menabur bunga kenanga di atas gundukan atau nisan makam. Acara ini begitu sakral. Karena para peziarah itu dianjurkan melepas alas kaki ketika memasuki makam. Begitupun setelah selesai dan pulang dari makam, para peziarah juga disarankan untuk mencuci kaki bahkan ada yang mandi keramas.
Saya tidak begitu paham akan tradisi ini. Yang jelas setiap saya nyekar di kuburan Ibu dan kakek dan buyut yang mendului, saya biasa mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang itu termasuk bapak saya. Yang saya mengerti bahwa setiap bumi yang kita injak ini merupakan tempat yang suci, termasuk tanah atau bumi (kuburan).
Meski demikian, kegiatan ini sebenarnya tidak semua melakukannya. Ini merupakan sebuah tradisi yang penting untuk mengingat kematian dan makam dari sanak saudara kita, untuk berusaha di-ruwat atau dilestarikan. Jadi masyarakat Trenggalek dan sekitarnya melestarikan sebagaimana hadist nabi, “Aku (Nabi) dulu melarang kamu berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan” (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa ziarah kubur pada awalnya dilarang, setelah itu diperbolehkan oleh nabi. Meski begitu bukan tanpa sebab dari tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan tentu terdapat hikmah di baliknya.
Sebab, pada awalnya dilarang dikarenakan dahulu masyarakat Arab Jahiliyah suka mengkeramatkan benda-benda dan memujanya, tapi setelah Islam datang, masyarakat memiliki iman yang kuat. Karena itu Rasulullah memperbolehkanya. Dari ziarah kubur itu memiliki hikmah di mana kita selalu ingat akan datangnya hari itu; kematian dan kita tidak lupa untuk selalu memuji dan beribadah kepada Allah.
Lebih lanjut, kegiatan yang jadi primadona di berbagai tempat kala bulan Ramadan adalah suara mengaji atau biasa disebut darus-an. Sebenarnya kalimat darus ini diadopsi dari bahasa arab darasa-yadrusu-darsan yang artinya belajar, mengkaji, dan menghayati.
Di pondok pesantren salaf memang terdapat budaya memaknai kitab gundul. Sehingga setiap bulan puasa datang menjadikan Ramadan ini sebagai bulan ngaji pasan. Apa itu ngaji pasan? Ya, para santri di pesantren salaf biasa mengkaji kitab klasik karangan ulama-ulama salaf di bulan puasa atau poso.
Saya merasakan ngaji pasan ini saat berada di Pondok Pesantren Al Anwar, Baruharjo, Durenan, Trenggalek dan pondok pesantren sekarang. Di pondok ini di kala bulan puasa atau pasa biasanya ada kitab yang harus dikhatamkan bulan itu juga. Di tiap pondok pesantren biasanya berbeda-beda kitab yang dikhatamkan. Namun di pondok yang telah memberi saya banyak pelajaran dan ilmu itu selalu mengkaji kitab karangan seperti KH. Hasyim Asy’ari dengan judul Adabu Ta’lim wa Muta’alim, kitab Ta’lim Muta’alim karangan Syeikh az Zarnuji.
Saya juga tidak pernah absen di acara ngaji pasan kitab-kitab tersebut. Sesungguhnya ngaji pasan seperti di bulan Ramadan ini merupakan upaya menggali kearifan budi serta adab. Oleh karena itu seharusnya ngaji-ngaji seperti itu harus diikuti dan adab seperti itu harus dimiliki semua santri, pelajar, dan akademisi. Selain kitab tersebut masih banyak lagi kitab-kitab yang dikaji selama sasi poso atau selama bulan puasa sehingga disebut pasan.
Ramadan merupakan momentum untuk menggali, menanam, memberi banyak-banyak pengetahuan, amal, ilmu, serta tak menghilangkan rasa kepedulian sosial tanpa memandang status sosial. Ibarat bulan Ramadan adalah sekolah yang berjibun ujian, latihan, dan belajar maka seseorang akan lulus dan menjadi fitri manakala dapat memenuhi hak-hak di bulan Ramadan.
Sebagaimana sabda Rasulullah “man qama Ramadana imanan wahtisaban ghufirallahu lahu taqadama min dzambihi’’. Artinya, barang siapa yang mendirikan Ramadan dengan rasa keimanan serta mengharap pahala maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu kita harus jumenengake ibadah supaya kita mendapat ridho Illahi. Jumeneng merupakan bahasa Jawa, yang artinya berdiri. Berdiri di sini adalah mendirikan, menetapi, mengisi bulan Ramadan dengan amal sholeh selain berpuasa tentu amal ibadah sunah lainya. Semua ibadah harus di-jumenengake menuju ridha illahirobbi.