“Sungai itu ibarat kekasihmu, maka perlakukanlah ia dengan baik seperti dirimu memperlakukan kekasihmu” -Emha Ainun Nadjib-
Kedekatan saya dengan sungai tidaklah sedekat seperti mereka yang tinggal di pinggiran sungai. Namun pengalaman dan kesan yang saya dapatkan tentang sungai bukan sekadar pengetahuan bahwa sungai adalah tempat mengalirnya air dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di masa kecil, sering sekali selepas sekolah—setelah pulang terlebih dahulu tentunya—saya dan kawan-kawan bermain di sekitar sungai. Apakah itu sekadar koceh atau bahkan hingga klacen (mandi di sungai). Mata merah dan rambut kusut menjadi ciri kami ketika selesai klacen. Itu juga yang menjadi tanda bagi orangtua untuk memarahi kami, karena klacen. Bagi orangtua, klacen adalah kegiatan berbahaya. Salah satu alasannya, karena kami bisa dibawa setan kali. Mungkin tujuan orangtua melarang klacen sebenarnya adalah: “Jangan berenang tanpa pengawasan orang dewasa!”
Belum lagi ketika akhir pekan, tiap Sabtu siang sepulang sekolah, saya izin ke orangtua untuk menjenguk nenek yang berada di kabupaten sebelah. Dengan menumpang angkutan umum yang saat itu berada pada masa jayanya. Setengah jam saja saya bisa sampai di rumah nenek. Tujuan tambahannya adalah ketika keesokan harinya, dengan sepupu-sepupu dan keponakan yang lain, saya bisa bermain di sungai. Menjelang siang hingga hampir petang, adalah waktu yang kami habiskan untuk bermain di sungai tersebut. Tak hanya bermain, di antara kami pun ada yang menggembala ternak. Juga ada yang mencari ikan dengan cara memancing dan menebar jala. Pendeknya, sungai benar-benar tak hanya tempat air mengalir, tapi juga wahana yang mengasyikkan.
Bukan sekadar saat bermain, ketika di sekolah dasar, pada jam sekolah, kami pun sering ke sungai. Biasanya setelah pekan ujian selesai. Kami ke sekolah bisa dikatakan hanya mengisi daftar hadir, karena sudah tak ada lagi mata pelajaran yang harus diberikan guru kepada kami. Saat itulah kami sering disuruh guru untuk mengambil air ke sungai dekat sekolah guna mengisi bak air di kamar mandi, menyiram bunga-bunga di depan kelas, mengepel lantai kelas juga menyirami lapangan berdebu yang saat itu belum dipasangi ubin.
Terus terang, jika membandingkan situasi zaman dulu dan sekarang, saya akan berkata bahwa sebagian besar sungai di sekitar sini sekarang tak bisa digunakan lagi untuk berbagai aktivitas seperti yang dulu pernah saya lakukan. Bukannya saya ingin rutin klacen lagi seperti dulu, cuma berharap bahwa anak-anak saya juga bisa merasakan asyiknya klacen. Setidaknya koceh di pinggir sungai tanpa khawatir gatal-gatal, karena sungainya bersih, masih minim sampah.
Banjir
Bencana yang terjadi sebulan terakhir, sedikit banyak membuka mata masyarakat Trenggalek bahwa ada sebab mengapa ini semua terjadi. Yang saya heran, justru kita banyak menyalahkan alam yang kini tak bersahabat. Air mengalir dengan deras yang kita sebut banjir, tanah longsor yang seenaknya merobohkan pepohonan dan rumah-rumah, pemerintah yang tak becus mencegah dan menanggulangi berbagai bencana. Tapi kenapa jarang sekali dari kita yang mengucap bahwa kita adalah penyebab semuanya?
Seorang budayawan, bahkan saya sebut sebagai guru bangsa, Emha Ainun Nadjib, pernah mengatakan: “Sungai itu ibarat kekasihmu, maka perlakukanlah ia dengan baik seperti dirimu memperlakukan kekasihmu.”
Ketika bencana banjir melanda, apakah itu salah air? Menurut saya tidak. Karena sudah menjadi sifat alamiahnya bahwa air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Itu sudah sunatulah. Lalu kenapa ketika air tidak mengalir di sungai dan beralih melewati jalanan dan perumahan, kita tidak pernah bertanya, kenapa air lewat sini, tidak melalui sungai?
“Kenapa air tidak mengalir di sungai?”
Terima kasih sudah bertanya. Maaf merepotkan.
Seperti yang sudah tertulis di tulisan saya sebelumnya, sejak dulu sungai bukan cuma tempat air mengalir, lebih dari itu sungai adalah sumber kehidupan. Pusat-pusat peradaban di dunia dimulai dari pinggir-pinggir sungai. Kerajaan-kerajaan di Nusantara malah menjadikan sungai sebagai gerbang dan halaman rumah mereka. Sungai harus tampil tak hanya cantik dan bersih, tapi juga sebagai representasi kerajaan dan budaya mereka. Sungai di zaman itu memiliki fungsi yang dapat dimanfaatkan guna menunjang kelangsungan kehidupan rakyat.
Bencana banjir yang terjadi di Watulimo pada pertengahan bulan September kemarin seharusnya menjadi tamparan keras bagi warga Watulimo, khususnya warga Prigi dan sekitarnya, yang menjadi korban dari bencana tersebut. Bagaimana tidak, dengan adanya bencana banjir jadi terlihat jelas bagaimana mereka memperlakukan sungai. Jika dulu sungai menjadi “halaman depan”, kini sungai dianggap dan diperlakukan sebagai “halaman belakang”. Sampah, kotoran dan limbah rumah tangga maupun perusahaan bukankah tumpek-blek kita buang semuanya di sungai (baca: halaman belakang). Jadi, tidak mengherankan ketika hujan tiba, semua barang-barang tersebut menghalangi arus air yang seharusnya mengalir di sungai. Ketika air terhalang, tentu saja sungai meluap dan, ya, banjir akan menggenang jalan dan pemukiman.
Ketika para sukarelawan dari berbagai elemen masyarakat datang dan membantu proses pemulihan akibat banjir, khususnya saat membersihkan sungai-sungai yang penuh dengan sampah, anehnya warga korban banjir justru asyik menonton. Dengan perilaku seperti itu, apakah warga korban banjir sadar dengan yang sebenarnya menjadi penyebab banjir? Saya tidak tahu.
Restorasi Sungai Trenggalek
Ketika di Trenggalek sebagian orang memiliki harapan munculnya suatu gerakan peduli lingkungan, khususnya sungai, di luar sana sudah terdapat suatu komunitas yang dengan kepedulian dan kerja yang luar biasa mampu menggerakkan masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk kembali sadar dan peduli akan peran dan fungsi sungai bagi umat manusia. Gerakan restorasi sungai yang meskipun dipelopori oleh salah seorang dosen di Universitas Gajah Mada, namun gerakan itu kini tak hanya ada di Yogyakarta. Saat ini sekurangnya sudah ada 27 komunitas gerakan restorasi sungai yang telah diresmikan, tersebar dari Aceh hingga Papua.
Di Wisma MM UGM Yogyakarta, 03 September 2016, pukul 10.00 WIB. Bersamaan dengan Short Course Restorasi Sungai dan Memanen Air Hujan, Penanggulangan Banjir Melalui Pengelolaan DAS Memanen Air Hujan, dan Drainase Ramah Lingkungan Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat. Disaksikan oleh perwakilan dari : (1) UNS Surakarta, (2) Setditjen PDASHL, (3) BPDASHL Serayu Opak Progo Jogjakarta, (4) Dit. PKPD, Ditjen PDASHL, (5) BPDASHL Solo, (6) BALITBANG Kementerian PUPR Jakarta, (7) KPS Ancar Mataram, Lombok, NTB, (8) Pegiat Komunitas Sungai, diresmikan Deklarasi Komunitas Sungai Kabupaten Trenggalek oleh : Dr. Ing., Ir. Agus Maryono, Pakar dan Pemrakarsa Restorasi Sungai, Penerima Penghargaan Restorasi Sungai dari Presiden Republik Indonesia dan Drs. Totok Pratopo, Pegiat Restorasi Sungai, Forsidas Code Yogyakarta, Peraih Penghargaan Kalpataru.
Apakah peresmian komunitas restorasi sungai Trenggalek ini sekadar seremonial? Semoga saja tidak! Kita tunggu saja.
Salam Lestari!