Merumuskan Ide dari Kedai Kopi

Namanya Kafe Cengkeh (sebetulnya kata bakunya cengkih). Terletak di utara jalan timur pertigaan Hotel Widowati. Rupa-rupa wajah orang tiap hari mampir ke situ: berlalu-lalang atau, sambil memesan kopi dan kudapan, duduk dalam waktu lama. Kafe yang terbuka bagi pengunjung seperti terminal bus antarkota dalam provinsi.

Sawah di utaranya membentang. Sebelum pandangan kita mentok pada lipatan gunung di utara sana, diselimuti entah mendung entah halimun. Menjadikan gunung di sebelahnya lagi tak kelihatan mata. Seolah rangkaian gunung yang tak terengkuh. Pada siang hari, di situ angin berhembus bersemilir dari pucuk-pucuk daun padi. Pada suatu malam di kafe itu pernah terlantun jazz. Dan lengkingan suara perempuan diiringi lagu. Menggiring masuk orang-orang yang mungkin kita kenal atau yang tak kita kenal.

Sudah agak lama saya tak lagi mampir ke Kafe Cengkeh. Sekarang, saya lebih sering ngopi di warkop Cangkir Wening (CW), yang lebih dekat dengan kantor Pama: tempat jujugan berkumpul banyak orang ketika sedang di Trenggalek. Di situlah belakangan saya biasa memesan minuman, yang bukan kopi. CW terletak di Jalan Patimura. Mirip dengan Kafe Cengkeh, CW juga menyediakan kopi yang bukan sachetan. Tapi, di situ saya tak lagi memesan kopi. Sudah setahunan lambung saya bermasalah. Jika memesan minuman, pilihannya selalu jatuh pada wedang jahe, susu jahe atau jus buah.

Ketika mengedarkan pandangan di sana, CW menawarkan suasana warung kopi yang nyaman dan sejuk. Colokan listriknya juga mudah dijumpai. Jadi, kalau kebetulan sedang membawa laptop, kita bisa memaku diri di tempat itu, untuk mengerjakan sesuatu. Sayangnya, beberapa menu minuman yang dipasang sering kehabisan stok, wedang uwuh di antaranya. Atau barangkali memang tak tersedia, dan minuman tersebut sekadar menjadi prejengan tak berguna.

Pengunjung tetap kafe ini rupanya sebagian anak muda. Bahkan saya sering memergoki beberapa anak berseragam sekolah sedang asyik makan atau minum di CW. Baik secara beramai-ramai maupun hanya berduaan.

Rasanya, di Trenggalek warung kopi tidak akrab dengan orang yang mengerjakan sesuatu sendirian sambil menikmati kopi. Lebih banyak kafe digunakan sebagai tempat kongkow alias berkumpul banyak orang: komunitas, teman seangkatan, juga lokasi bertemu teman-teman dekat. Pendeknya, kafe menjadi tempat satu sama lain saling terhubung dalam komunitas kecil maupun besar dan saling bertukar informasi atau menggalang sesuatu. Bukan tempat individu-individu menikmati kopi sendiri sambil bekerja atau ngelamun. Meski tak menutup kemungkinan ada.

Warung/kedai kopi di Trenggalek masih menjadi lokasi favorit untuk agenda kopi darat para penjalin perkawanan, untuk membicarakan banyak hal, dari urusan rumah tangga, asmara hingga isu politik. Juga urusan merumuskan tindakan kolektif tentunya. Di Trenggalek warung kopi lebih dominan sebagai tempat kumpul orang untuk berbicara ke sana kemari (ndopok). Anak-anak muda yang berjejaring dengan organisasi dan perkumpulan-perkumpulan tertentu kerap membahas kegiatannya di warung kopi. Membahas berbagai hal kreatif serta kegiatan-kegiatan yang akan mereka bikin.

Di beberapa warung kopi/kedai yang lebih dulu ada, seperti warung kopi Mbah Kuwot, Mbah Jam, dan Yu Im, warung kopi lebih banyak digunakan sebagai tempat ngobrol yang asyik oleh orang-orang sekitar. Untuk sebagian petani, ngopi menjadi aktivitas di kala istirahat setelah kelelahan bekerja di sawah. Namun kopi dan ngopi bukan kegiatan primer, melainkan sekadar aktivitas sekaligus rutinitas sambil lalu. Beberapa kali, saya pernah ngopi di Yu Im, sekadar ingin menjajal kopi mumbul-nya, karena dipameri Gilang Tri Subekti. Saya beberapa kali ke sana dengannya, sambil memperhatikan cara membuatnya, kok bisa dibikin mumbul?

Hampir sama dengan tiga warung kopi yang barusan saya sebut, adalah warung kopi Mbah Bari. Warung ini terletak di pinggir Sungai Bagong. Sebelah selatan jembatan sebelum masuk ke arah Hutan Kota (Huko) Trenggalek. Di Mbah Bari, selain kopi, juga tersedia berbagai menu minuman dan varian nasi bungkus: dari nasi bungkus mie-telur, nasi kuning hingga nasi gegok.

Memang kini, kebutuhan orang untuk berkumpul atau sekadar bertemu, memerlukan ruangan yang pas, selain kantor dan rumah. Pertemuan untuk menggagas sesuatu, membicarakan acara, kerap berlangsung di ruang-ruang terbuka seperti warung kopi, lobi hotel, kafe, taman dan tempat-tempat lain yang representatif. Karenanya, tak heran bila kreasi ruangan kafe, sering membawa masuk instrumen-instrumen lain untuk ditempel kepadanya: misalnya kafe yang didesain dengan selingan taman dan lingkungan yang sejuk, dengan diberi beberapa gazebo. Kafe yang didesain dengan model, seperti di taman wisata dengan menyediakan fasilitas yang lengkap: ada kamar mandi, WC, ruang sholat dan instirahat yang nyaman. Pada pokoknya, kafe menarik didesain sesuai karakter lokasinya.

Kebutuhan orang akan ruang yang enak dan nyaman untuk aktivitas di luar kantor dan rumah, membuat si pemilik kedai kopi mesti pandai-pandai mendesain warkopnya. Di desa-desa, kafe-kafe bisa didesain menyesuaikan karakter dan kondisi setempat. Begitu pula kafe-kafe di wilayah-wilayah tertentu, bisa dikreasi menyesuaikan lingkungan dan situasinya, misal di pegunungan dan di pantai tentu secara desain mesti dibikin berbeda dengan kafe yang berada di pinggir jalan atau di pinggir sawah. Yang utama dari ruang-ruang terbuka itu (ruang publik) nyaman dan membuat betah pengunjung.

Ketika kebutuhan orang untuk nongkrong dan berserikat tetap ada, maka kebutuhan untuk menyeruput kopi di ruangan yang nyaman juga akan selalu ada. Karena itu, sebetulnya warung/kedai kopi, entah yang berada di pinggir jalan atau yang hanya buka malam hari dan melapak di trotoar; yang berada di gang-gang masuk dari jalan besar antarkota, bahkan warung-warung kopi yang terletak di pelosok-pelosok desa tapi selalu buka di malam hari dan dikunjungi pelanggannya, menjadi pusat-pusat keramaian yang sedikit-banyak ikut mendenyutkan jantung sebuah tempat.

Artikel Baru

Artikel Terkait