Secarik kertas tergeletak malas di atas meja di antara tumpukan kertas berserakan hasil kerja kemarin yang tak sempat aku bereskan. Seseorang telah menaruhnya kemarin. Segera kusambar kertas tersebut. Terlihat jelas disposisi bos bahwa pagi ini aku harus mendampingi perwakilan kampus meninjau proyek di utara kota.
Besoknya, seperti biasa, aku harus membuat laporan perjalanan dinas tersebut. Namun, kisah pilu yang terselip di sela-sela kunjungan kami, membuatku tidak bisa tidur semalam. Kira-kira begini ceritanya.
***
Malam itu, Oktober 1918. Van Rijk dikejutkan oleh bunyi gaduh di pabrik kopi. Tempat tinggalnya selama ini, hanya berjarak 100 meteran dan dipisahkan oleh sungai di tengah-tengahnya. Beberapa jam sebelumnya, menjelang maghrib, kejadian aneh terjadi. Kelelawar dari puncak bukit, berhamburan keluar sarang tidak pada waktunya. Berputar-putar diatas langit yang mulai kelam.
Beberapa pribumi bertelanjang dada berkerumun di depan pintu samping pabrik. Terlihat juga beberapa perempuan berkamben dengan mimik wajah ketakutan. Seorang pribumi menghampiri Van Rijk yang mulai mendatangi pusat kegaduhan.
“Ada apa ribut-ribut…….?”
“Ampun Tuan.. Noni muda…”
Kerumunan pribumi segera memberi jalan. Dengan sigap Van Rijk masuk ke dalam pabrik. Perempuan muda itu melenggak-lenggok tanpa irama. Gerakannya lincah diselingi gerakan gemulai yang patah-patah. Menyiratkan kegundahan hati perempuan akibat masalah yang mendera. Bau anyir memenuhi ruangan. Lolong anjing di kejauhan samar-samar terdengar.
Noni muda itu bernama Bellerine. Anak angkat pemilik perusahaan kopi Belanda Roos Tangler & Co yang sudah beroperasi di daerah itu sejak 1887. Tuan Van Dillem, pemilik perusahaan tersebut, sejak 2 tahun terakhir mempercayakan pengelolaan kebunnya kepada Van Rijk yang sebelumnya bekerja untuknya di Kadiri.
Kebiasaan Bellerine yang menari di dalam pabrik kopi minimal sebulan sekali tiap kamis pon terus dilakukannya sampai ia meninggal. Sangat muda. Belum genap 30 tahun. Kebaya putih membalut tubuh langsingnya. Pakaian khas gundik seorang Belanda. Yang entah sejak kapan menjadi pakaian identitas bagi seorang nyai-nyai. Menggantung diri di salah satu sudut mesin penggilingan kopi. Maut memang tak ada yang tahu kapan dan dalam keadaan apa datang menjemput. Tapi tidak bagi Bellerine. Ia tahu dan berkuasa penuh atas kematian dirinya.
Van Rijk bukannya tinggal diam, banyak dokter sudah didatangkan. Termasuk dokter jiwa dari Batavia yang ternyata tetap tak membawa perubahan.
Sejak kematian anak angkatnya, Van Dillem sudah tidak pernah datang ke pabrik lagi. Paling dekat, ia minta Van Rijk menjumpainya di pendopo kabupaten tatkala menghadiri undangan rutin jamuan bupati setempat. Selain meminta laporan keuangan perusahaan kopinya, Van Dillem juga meminta Van Rijk untuk menyelidiki sebab-musabab kematian anak angkatnya.
***
Sampailah kami di depan bekas pabrik kopi. Dosen wanita muda dari kampus itu sedikit-sedikit menghentikan langkah. Memberi tahu dan menceritakan padaku apa yang tak bisa aku lihat. Masa lalu tempat ini tergambar dengan jelas dalam benaknya. Tak tahan aku tuk bertanya: “Jadi kemunculan noni yang kau lihat tadi adalah Bellerine?” tanyaku penasaran.
“Aku tidak yakin, dia keliatan meminta tolong. Bukan berniat menunjukkan diri.”
Tiba-tiba perutku mulas. Bau anyir menguar. Aku muntah di tempat.
“Aku akan coba mendekat……” Katanya tak mempedulikanku.
***
Kekayaan alam daerah Bendungan tak ubahnya kekayaan alam Nusantara pada umumnya. Segala yang tumbuh, hampir semuanya bisa dimakan. Maka akan sangat konyol jika penduduk sini ada yang mati kelaparan. Hawa sejuk khas pegunungan juga menjadi magnit Belanda untuk datang ke tempat ini sebagaimana tempat-tempat dingin lain, seperti Malang.
Sejak kedatangan Belanda, tempat ini jadi sentra perkebunan kopi selain Panggul, Gandusari dan Kampak. Kopi menjadi komoditas yang menguntungkan secara bisnis. Melalui sistem tanam paksanya, Belanda akan mencekik pribumi untuk menanam apa yang mereka inginkan dan tidak menanam apa yang tidak diinginkannya. Tentunya, penderitaan pribumi tidak hanya sampai disitu saja. Pembangunan jalan, rel kereta api bahkan pelabuhan adalah konsekuensi yang dibebankan pada pribumi sebagai budak.
Akibat bisnis kopi Van Dillem inilah jalan panjang sampai di pusat kadipaten terbangun. Van Dillem ternyata tidak menjalankan bisnis sendirian. Ada kongsi dagang kopi yang cukup disegani di Surodakan. Seorang Cina yang bernama Koh Ah Ceung. Memang, dalam menjalankan bisnisnya, Belanda sejak tahun 1846 mempersilakan warga Cina untuk menetap di daerah Trenggalek dan diberi kebebasan untuk berdagang dan sebagai pemborong pengangkutan hasil Cultur Stelsel. Tentunya semua itu bukannya tanpa syarat. Pemerintah Hindia Belanda menguasai para pedagang Cina dengan memangut pajak lelang komoditas kopi di Trenggalek.
***
Pelita terlihat di kejauhan timbul tenggelam menyisir jalan yang membelah hutan. Sebuah bendi agak berjalan tergesa. Menyiratkan sebuah peristiwa penting atau genting akan datang. Sampai di pelataran, seorang wanita setengah baya turun disambut jongos yang membawakan koper. Dilihat dari peranakannya, bukan wanita pribumi. Sepasang matanya memerah. Menyiratkan amarah.
Kabar kelakuan suaminya yang memiliki gundik sampai juga di Belanda. Wanita itu menumpang kapal pengangkut kopi ke Batavia kemudian melanjutkan perjalanan laut dan daratnya sampai di Trenggalek. Malam itu amarah yang terpendam tumpah. Gundik suaminya, Saritem, hanya bisa menahan pedih. Konsekuensi yang sebenarnya sudah ia pikirkan sejak jadi seorang nyai. Dengan kasar, wanita Belanda itu menjinjing koper Saritem hingga membantingnya ke pelataran.
Anaknya, Bellerine waktu itu umurnya masih belum genap setahun. Dipeluknya dalam gendongan. Ia menangis sejadi-jadinya seolah paham belenggu orang tuanya.
“Saarrr….”. Dengan sigap, Adelaar menghampiri gundiknya di pelataran. Istri sahnya membiarkan. “Percayalah… aku tidak mau kejadian seperti ini menimpa kita. Tapi tolong Sar.. Setiap saat, ijinkan aku menemui Bellerine. Kembalilah ke orangtuamu. Tiap pekan kuusahakan menengok kalian. Tapi jangan benci ……….” Tiba-tiba suaraku tertahan di kerongkongan enggan keluar.
“Iyaa.. tuan”. Air mata menggelincir di pipi manisnya.
“Tenang.. kakangmu kujamin aman. Dia tetap orang kepercayaanku. Tenaganya masih kubutuhkan untuk membantu mengawasi perkebunan ini. Naiklah bendi ini!. Mang… tolong antar nyai sampai ke rumah!”
“Dengan senang hati tuan….” Jawabnya.
***
Bunyi tetabuhan gamelan menggema di pelataran rumah Adelaar. Musim panen kopi telah tiba. Pesta telah disiapkan Koh Ah Ceung. Seperti biasa, kesempatan ini digunakannya bertemu dengan Adelaar untuk minta keringanan pajak lelang. Ketika itu Adelaar belum lama ditugaskan perusahaan swasta di Belanda untuk mengeruk dan mengekspor kopi yang tumbuh subur di Bendungan dengan bertugas sebagai administratur perkebunan.
Tiba-tiba Koh Ah Ceung menepuk bahu Adelaar. “Haiyaaa… sudah saatnya Tuan punya pengurus rumah tangga di Hindia Belanda. Sangat aneh jika urusan rumah tangga kau lakukan sendirian.”
“Maksudmu….?”.
“Tuan lihat wanita itu. Dia adalah tledek yang sangat terkenal. Lihat goyangannya, badannya, wajah manisnya… Ahaaiii… cocok buat Tuan.”
Sejak saat itu, Adelaar dan sang tledek, memadu kasih hingga keduanya tinggal bersama di rumah Adelaar di Bendungan. Setahun kemudian lahirnya buah hati blesteran pribumi dan Belanda. Bellerine.
***
Penasaran dengan kematian Bellerine yang penuh misteri, Van Rijk akhirnya menemukan jawaban di Surodakan ketika berkunjung ke kediaman Koh Ah Ceung. Darinya, cerita yang didapat kira-kira seperti ini.
Tepat sebulan setelah Saritem diusir istri sah Adelaar. Dengan rayuan bahwa Saritem adalah pengurus rumah tangga yang mampu memasak dengan sangat lezat, akhirnya Adelaar mampu mengundang Saritem untuk memasak di rumahnya. Ketika Saritem memasak, Adelaar mengajak Bellerine keluar berkuda menyusuri perkebunan. Istri sah Adelaar bersantai di ruang depan sembari membaca majalah-majalah mode dari Paris yang ia bawa ketika meninggalkan Belanda.
Satu hal yang dilupakan Adelaar bahwa wanita pribumi yang menjadi nyai akan sangat berbahaya ketika dibuat cemburu atau tersakiti hatinya. Ia bisa membunuh lewat sajian makanan dan minuman yang mereka hidangkan. Sial tak dapat diterka Saritem. Sebelum memutuskan mengunjungi suaminya ke Hindia Belanda, istri Adelaar mempelajari sepak terjang kerajaan Lamuri di Aceh melalui Buku Si Ujud yang ditulis oleh Bantaqiah Woyla. Salah satu yang membekas di benaknya adalah hidup matinya Sultan Lamuri sangat dipengaruhi oleh makanan dan minuman yang disajikan untuknya. Untuk menjaga sterilnya hidangan dari racun, Sultan Lamuri menugaskan burung tiung yang didapatkannya dari kapten Abrolho, pelaut dari Zeeland (Belanda) untuk mencicipinya sebelum dimakan oleh Sultan.
Hal itulah yang juga dilakukan oleh istri Adelaar. Sebelum ia dan suaminya melahap masakan, Saritem harus memakannya terlebih dahulu. Lalu, hal mengerikan terjadi. Saritem tewas setelah menenggak racun yang sedianya diberikan untuk Adelaar dan istri sah-nya.
Dan yang membuat Van Rijk semakin tercengang adalah mayat Saritem tertanam di tanah yang sekarang berdiri pabrik kopi tempat anaknya, Bellerine, meregang nyawa. Tak berselang lama, Adelaar dan istrinya kembali ke Belanda dan menitipkan Bellerine pada Van Dillem. Dalam upaya memperbesar usahanya, Van Dillem melakukan ekspansi pencarian perkebunan kopi di tempat lain dan menugaskan Van Rijk untuk menggantikan Adelaar di Bendungan.
***
Setelah latar masa lalu Bellerine terkuak, Van Rijk berniat memberitahukan hasil investigasinya kepada Van Dillem. Tapi kematian misterius Van Rijk membuyarkan semuanya. Ketika perjalanan menggunakan bendi ke kadipaten, ada pohon roboh yang melintang jalan. Baru saja Van Rijk turun dari bendi, seseorang telah menubruk badannya hingga terpelanting dan terguling di tanah. Setelah Van Rijk merasa tak berdaya, hujaman belati di beberapa bagian tubuhnya sudah cukup untuk meregangkan nyawa. Konon diketahui sang pembunuh adalah kakak dari Saritem.
Mungkin si pembunuh terpengaruh oleh sebuah cerita yang muncul tiga abad sebelumnya. Sebuah cerita provokatif untuk membunuh orang-orang kulit putih. Teknik yang digunakan untuk membunuh Van Rijk, menurut cerita itu namanya Tumit Keadilan yang merupakan salah satu resep untuk membunuh Sultan Kerajaan Lamuri saat itu. Ditulis oleh Ratu Tajul Dunya sebagaimana dalam cerita Kura-Kura Berjanggut yang masyur itu.
***
Perjalanan pulang ke kota yang berkelok-kelok hampir membuatku muntah. Di jok belakang mobil, aku mendengarkan dengan seksama ceritanya. Sebelum turun, kutanyakan sekali lagi padanya. “Jadi, noni-noni yang sering kau lihat di sekitaran pabrik kopi tadi bukan Bellerine?”
“Bukan…. Tapi ibunya, Saritem yang sering menampakkan diri menyamar sebagai noni-noni Belanda. Tledek yang ditanam Adellar dan istrinya di tanah yang setelahnya berdiri pabrik kopi itu”.
Sebuah tempat paling sunyi di Trenggalek, 23/10/2018