Yang Tak Tergantikan dari Kampak

“Satu-satunya kebaikan adalah pengetahuan dan satu-satunya kejahatan adalah ketidaktahuan.”  Socrates

Secara epigrafis wilayah Kampak tersambung hingga zaman kuno. Dibuktikan dengan penemuan Prasasti Kampak yang pernah dibaca oleh Brandes, seorang epigraf Belanda. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan di Trenggalek. Sebagaimana banyak tempat di Trenggalek, wilayah Kampak juga dihidupi dongeng-dongeng dan cerita rakyat (folklore), seperti kisah Putri Ngerit dan Ki Ronggo Pesu. Pegunungan dan perbukitan di Kampak pun bahan bakunya emas dan, terutama, karst. Yang disebut terakhir adalah spon air raksasa yang terbentuk sejak jutaan tahun silam dari apitan tektonik lempeng bumi Eurasia dan Indo-Australia.

Itulah di antara anugerah bumi Kampak yang tak bisa digantikan oleh, atau ditukar dengan apa pun. Sayangnya, bila korporasi rakus ingin mengambil emasnya, yang berada jauh di bawah permukaan tanah, dipastikan hanya dengan cara merusak semua yang berada di permukaan: sedikitnya hutan dan pohonannya, ladang dan tanamannya, air bersih, tanah itu sendiri, dan, terutama, karst. Bahkan mereka bisa saja intervensi melalui regulasi dan kekuasaan.

Sebetulnya bagi lingkungan yang masih natural dan belum “dilirik” keserakahan global, topografi wilayah bisa menjadi museum alami bagi sejarah, kebudayaan, geologi juga genealogi manusia. Namun, ketika sebuah wilayah dirusak oleh aktivitas ekstraktif, cepat atau lambat manusianya tak akan betah hidup menetap. Kalau kerusakan sangat parah kemungkinan eksodus ke lokasi lain bisa menjadi kenyataan. Kalau sudah begitu, hal-hal yang menandai kebudayaan manusia di suatu tempat pelan-pelan ikut tergerus musnah.

Itulah pentingnya kenapa suatu daerah mesti selalu dijaga dari lirikan global dan ancaman segala bentuk pengrusakan. Sebab, ketika daerah menjadi sumber kerakusan dan penghancuran, seperti oleh penambangan ekstraktif, maka berkah daerah tersebut pelan dan pasti segera tercabut dan lenyap, berganti kutukan sengsara.

***

Tapak pertama rencana pertambangan emas di Trenggalek adalah Kecamatan Kampak. Wilayah bersejarah yang menjadi hulu bagi historiografi lokal Trenggalek. Desa Karangrejo adalah salah satu pusat persebaran benda-benda cagar budaya dan situs purbakala di Trenggalek. Di lembah-perbukitan Karangrejo ini banyak ditemukan peninggalan purbakala seperti umpak, arca, hingga prasasti dan seterusnya. Terutama yang paling monumental, menjadi lokasi ditemukannya Prasasti Kampak, yang menyumbang informasi penting bagi sejarah kuno Indonesia.

Prasasti Kampak ditemukan di Dusun Sumber Ngudalan, Desa Karangrejo. Tersebutlah dalam prasasti era Mpu Sindok itu, bahwa di area Kampak pernah ada semacam lokasi peribadatan/pemujaan. Lokasi tersebut—sebagaimana tercatat dalam Prasasti Kampak—bernama prasada kabhaktyan i pangurumbigyan. Pangurumbigyan adalah nama lokasi pemujaannya, sementara prasada kabhaktyan adalah nama ritual-tradisinya.

Dalam salah satu sumber tak resmi dikatakan, bahwa pangurumbigyan ini diduga nama lain dari Hyang Manikoro, yang di zaman kuno pernah menjadi pusat danyangan utama di Kampak. Kita tahu nama itu kiwari berasosiasi pada nama salah satu gunung kapur (karst) paling menjulang di Kampak, yakni Gunung Manikoro.

Kalau benar bahwa Gunung Manikoro tersebut menjadi lokasi besar pemujaan (pangurumbigyan) zaman dulu, kemungkinan cungkup Manikoro ini di masanya adalah pusat kosmiknya masyarakat Desa/Perdikan Kampak.

Gunung yang terletak di antara Desa Karangrejo dan Desa Ngadimulyo ini masih bisa kita pentelengi wujudnya hingga kini, yang paling mudah saat melintasi jalur naik menuju Kecamatan Munjungan. Manikoro tinggi menjulang serupa Gunung Lingga di Kecamatan Suruh.

Konon  sebidang tanah di Kampak dijadikan sima (daerah bebas pajak) karena keberadaan pangurumbigyan tersebut. Dengan dijadikannya Kampak sebagai desa mandiri/sima, maka semua orang yang tergolong mangilala drawiya haji (pemungut pajak, mereka yang terkena wajib pajak, serta penerima pajak) dilarang memasuki dan mengganggu apa pun yang berada di Kampak. Termasuk tanah persawahan dan hutan.

Sebab, dua sumber kemakmuran rakyat pegunungan tersebut juga sudah dipersembahkan oleh Dapungku i Manapujanma untuk Bhatara i Sang Hyang Prasada Kabhaktyan: Sang Hyang Manikoro.

Anugerah prasasti tersebut membuktikan bahwa Kampak zaman dulu pernah menjadi semacam desa otonom, yang terlarang dimasuki, baik oleh pejabat maupun penduduk biasa dari luar daerah.

Sejauh yang bisa dilacak, Kampak adalah toponim paling tua di Trenggalek. Untungnya nama Kampak masih digunakan hingga sekarang sebagai nama salah satu kecamatan. Sebagian wilayah Kampak bertopografi gunung dan perbukitan. Di kecamatan ini terdapat tujuh desa: Timahan, Sugihan, Bendoagung, Bogoran, Senden, Karangrejo, dan Ngadimulyo. Pusat kota kecamatan berada di Desa Bendoagung. Mayoritas desa-desa di Kampak bertopografi lereng, hanya Desa Bendoagung, Sugihan dan Senden saja yang bertopografi dataran.

Sungai terpanjang di Kampak, sebagaimana dicatat data statistik kecamatan, adalah Sungai Ngerit dengan panjang sekitar 3,5 km. Sungai Ngerit mendapat limpahan air dari hulu sungai yang berasal dari Watulimo dan Dongko, dua kecamatan tetangganya. Saya belum tahu nama dua sungai yang DAS-nya menjadi penyumbang debit air sungai di Kampak tersebut. Sementara Sungai Ngerit sendiri menjadi penyumbang DAS sungai lain yang lebih besar dan lebih panjang, yakni Sungai Tawing, yang mengalir melewati Kampak di arah selatan hingga Kecamatan Gandusari dan Kecamatan Pogalan di bagian utara.

Lereng tertinggi di Kampak adalah Timahan dengan ketinggian 648 Mdpl; disusul lereng-lereng di Desa Ngadimulyo. Karena berada di daratan tinggi, rumah-rumah penduduk di Desa Ngadimulyo jamak terletak di lereng-lereng perbukitan, dengan ketinggian 428 Mdpl. Sementara penduduk Kampak terbanyak menghuni Desa Karangrejo, dengan jumlah Rukun Tetangga 51 buah, berpenduduk sebanyak 7.583 Jiwa. Disusul Desa Ngadimulyo, dengan 44 Rukun Tetangga, berpenduduk sekitar 6.082 jiwa (Kecamatan Kampak dalam Angka, 2020).

Bagaimanapun akses masyarakat Kampak terhadap semua sumber daya alam yang tersedia di wilayahnya, terutama hasil hutan dan air, tak boleh (di)kalah(kan) oleh aktivitas pertambangan. Mari kita perkuat jaga lingkungan dengan pengetahun yang baik. Sebab, seperti kata Socrates pada pembuka tulisan ini, bahwa ketidaktahuan kita terhadap situasi lingkungan atau abai terhadap sesuatu yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat, dihitung juga sebagai tabungan kejahatan.

Artikel Baru

Artikel Terkait