Di bulan April ini, setidaknya terdapat 17 hari yang diperingati di Indonesia, salah satu yang menjadi fokus adalah hari bumi, orang-orang luar menamainya earth day. Sementara orang Jawa, dan Trenggalek salah satunya, menyebut sebagai dina lemah. Apapun sebutan yang diberikan pada hari bumi, mengandung arti dan makna yang sama. Hari Bumi jatuh pada tanggal 22 April di setiap tahun, terpaut satu hari dengan hari emansipasi wanita (hari Kartini) yang diperingati setiap tanggal 21 April di tiap tahunnya.
Tidak hanya di Indonesia, hari bumi ini telah disepakati di seluruh dunia. Pada hari itu akan ada banyak NGO (Non-Goverment Organitation) yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup berteriak lantang menyuarakan parahnya penyakit yang diderita bumi. Para aktivis juga akan berteriak sepanjang hari lantaran menyaksikan berbagai kerusakan yang dialami bumi, tempat di mana kita berpijak ini.
Meski hari bumi sudah diperingati semenjak tanggal 22 April 1970 di Northern Hemisphere (belahan bumi utara) dan juga di negara-negara lain (termasuk Indonesia), sampai sekarang efek perubahan positif bagi bumi belum tampak. Alih alih bumi semakin hijau, realitasnya malah sebaliknya, bumi semakin menjadi botak; semakin kering dan semakin banyak bencananya. Bumi kita setiap hari harus menampung jutaan kubik kotoran manusia, berupa zat padat kekuningan juga zat cair beraroma amoniak. Setiap hari, rambut bumi—hutan dengan aneka pepohonannya—digunduli tanpa belas kasih. Isi otaknya—segala bahan tambang dan mineral—dihisap lalu dibakar secara massal dengan menggunakan mesin yang meraung-raung di permukaan bumi. Asapnya membuat kita mual dan ingin muntah. Kulit bumi digali setiap hari untuk diambil sum-sumnya (bahan tambang). Parahnya semua dilakukan oleh manusia kepada bumi tanpa imbalan apapun. Bumi hanya diekploitasi, diperkosa oleh manusia tanpa belas kasih.
Bumi tidak berdaya, seolah Tuhan telah menyuruhnya tunduk. Sesekali tubuh bumi menggeliat kesakitan atau ingin menyingkirkan kotoran dari pundaknya. Efeknya, tsunami datang, gunung meletus, danau menjadi kering, sungai tidak mengalir, gempa bumi melanda. Bumi hanya ingin mengetuk hati manusia lewat teguran sederhana seperti itu, namun karena yang dia peringatkan manusia, makhluk paling ndableg sedunia, rutinitas mengekploitasi tubuh bumi setiap hari terus dilakukan manusia.
Sadarilah saudara-saudara, bahwa manusia-manusia perusak dan tak tahu diri itu adalah kita, termasuk saya. Kita sering melakukan kesalahan fatal kepada bumi, namun tidak pernah peka bahwa bumi yang kita tempati, sesungguhnya adalah “makhluk” yang banyak memberi manfaat kepada umat manusia tanpa kita ganti dengan berbuat baik kepadanya dengan semestinya.
Momen 22 April nanti seharusnya bisa menjadi pengingat, lebih bagusnya menjadi penyadaran bagi kita supaya mau berbuat baik kepada bumi. Cara-cara yang bisa dilakukan tidak musti muluk-muluk, memperingati hari bumi di tepi pantai bersama kawan-kawan kita sambil menikmati makanan dan merenung misalnya. Bumi tidak membutuhkan belasungkawa kita, tapi membutuhkan aksi kita.
Andai boleh saya mewakilkan keresahan saya ini kepada salah satu musisi regae, Tony Q Rastafara. Tony melalui lagunya telah menciptakan bait-bait yang indah tentang bumi, berjudul “Bumi Menunggu Kasih Sayangmu”. Lagu ini setidaknya bisa menjadi pelipur lara sekaligus bisa menemani aksi kita sambil menanam satu biji pohon. Tidak usah jauh-jauh harus memutar lagu Ode To Joy karangan Beethoven yang telah disahkan menjadi lagu untuk hari bumi itu, bagi saya cukup lagunya Mas Tony Q Rastafara:
Lumpur hitam telah menghantui
Kesucian pasir pantai sirna
Hutan-hutan kehilangan rindang
Sampah plastik menari-nari
Sawah ladang tinggal sejengkal
Kelaparan bukan berita baru
Air hujan kirimi duka
Kering kemarau sebarkan luka
Kenapa kita tak mau belajar?
Dari berita bencana masa lalu
Akankah selalu salahkan Tuhan?
Bumi menunggu kasih sayangmu
Cinta kita…
Eling lan waspada…
Eling lan waspada…