Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo
Si rama menyang kutha
Oleh-olehe payung mutha
Tak jenthit lolo lobang
Wong mati ora obah
Yen obah ngedeni bocah
Yen urip nggoleko dhuwit
Sepenggal lirik tembang dolanan berbahasa Jawa di atas adalah lagu anak-anak yang sering saya tembangkan pada masa kecil saya dulu, selain tembang dolanan “Bung Bung Ardhi”, “Gajah Gajah” dan “Kidang Talun” (ketiganya juga berbahasa Jawa). Ini belum termasuk sederet lagu anak-anak lain yang liriknya berbahasa Indonesia dan Inggris, Happy Birthday to You misalnya. Kesemuanya biasa saya dengar dan nyanyikan dengan penuh sukacita mulai akhir 90-an hingga awal 2000-an. Kenapa kok di akhir 90-an dan bukan 80-an? Ya karena mamak-bapak saya tercinta baru melahirkan saya pada tahun 1991 itu, lagian jabang bayi secantik saya ini belum jua berhasil diproduksi pada tahun-tahun sebelumnya.
Begini, tak kasih tahu, yak, meski ada banyak orang kecelik terhadap saya dan menyangka bahwa saya ini sudah menyandang status emak-emak beranak dua. Sebenarnya usia biologis saya belumlah se-kawak itu. Saya adalah satu dari segelintir muda-mudi yang terang-terangan dibuat sengsara berkepanjangan oleh teman sebaya yang dengan jahatnya terus-terusan menggojloki kami ini tua dan lapuk. Padahal, sejatinya kami adalah makhluk imagodei yang tansah legowo narima ing pandum. Sungguh pun tiada kuasa menepis suratan ilahi yang sudah dari sononya menghendaki tampilan kami yang semestinya masih tampak belia ini, (uniknya) justru terkesan muram durja di mata orang lain akibat prejengan yang tiwas kebrangas ganas terlampau dini.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, dua puluh tahun yang lalu umumnya anak-anak Indonesia gemar menyanyikan lagu-lagu Susan dan Kak Ria, Trio Kwek-kwek, Tasya Kamila, Sherina Munaf, Joshua Suherman dan banyak penyanyi cilik lainnya. Lagu anak-anak adalah bagian dari budaya wajib yang ramah anak, sarat etika dan seni, bersahaja dan penuh keceriaan. Melalui media lagulah anak-anak Indonesia didoktrin juga disugesti dengan cara yang menyenangkan agar kelak menjadi generasi bahagia, pintar, berbudi luhur, bermoral, cinta dan bangga akan bangsa dan negara serta berwawasan intelektual dan ensiklopedis. Setidaknya, visi-misi mulia ini jelas kentara dalam setiap muatan lirik lagunya. Contoh faktualnya, saya dulu pertama kali mengenal Bali melalui sebuah lagu yang dibawakan oleh girlband unyu asal Bali. Kurang lebih liriknya seperti ini:
Bali terkenal di mana-mana
Banyak turis mancanegara
Bali sebelahnya Banyuwangi
Pulau kebanggaan Indonesia
Kalau kamu asli orang Bali
Harus bisa menjaga tradisi
Orang Bali terkenal senyumnya
Orang bule terkenal turisnya
Pura Besakih, Tanah Lot dan Kintamani
Pantai Sanur, Pantai Kutha ada di Bali
Tari kecak, tari… (lupa) dan tari pendet, tari legong, tari barong semua di Bali
Di Pantai Sanur lihat matahari terbit
Di Pantai Kutha mataharipun terbenam
Di pasir putih ombak berkejar-kejaran
Para nelayan pun riang menjala ikan
Si Gede, Si Nyoman, Si Putu, Si Wayan
semua pandai menari. Tariannya tari Bali.
Tari Bali tari Bali tari Bali li li li li….
Saya mengerti apa itu korupsi jauh lebih awal dari teman-teman sekelas berkat sebuah lagu berjudul Susah Susah Mudah. Saya lupa nama penyanyinya. Kalau bukan Stephanie, ya Tiffany. Lirik yang saya ingat kurang lebih;
Susah susah mudah jadi anak tak punya
Ke mana-mana naik bis kota
Lebih baik hidup sederhana saja
Mama tak bisa korupsi
Papa tak sanggup korupsi
Korupsi membuat marah pak hakim dan pak jaksa
Karena bikin bangkrut negara!
Saya mengerti fungsi lampu lalu lintas dari lagunya Susan
Lampu merah tanda berhenti
Lampu kuning harap hati-hati
Lampu hijau silakan jalan lagi
Lampu ga nyala traffict light-nya mati
Saya beruntung sempat diberi wejangan seputar etika dalam pertemanan oleh si bolo-bolo Tina Toon melalui lagunya yang berbunyi;
Merajut kayu rotan
Shakila jualan ketan
Dibawa ke Pakistan
Dag dig dug dut endutan
Kalau kita berteman jangan sindir-sindiran
Jangan marah-marahan, jangan kata-kataan
Supaya banyak teman
Lagu ninabobo yang selalu dinyanyikan mamak untuk kami bertiga pun sarat petuah dan kasih sayang terhadap semua mahkluk. Lagu itu berjudul Si Semut.
Si semut yang kecil buat apakah kamu
Waktu musim panas menumpuk rejeki
Biarpun kamu lemah, Tuhan perlihara kamu… Sayangnya saya lupa lirik lengkapnya.
Anak-anak sekarang sebenarnya juga mengenal lagu-lagu tentang binatang, hanya saja binatang zaman sekarang sudah berbeda karakternya dengan binatang jadul. Binatang-binatang itu bisa kita temui pada lagu dangdut Keong Racun, Buaya Buntung, Lelaki Buaya Darat, Kucing Garong, Tokek Belang, Serigala Berbulu Domba, Racun Tikus (terdapat pada lagu Sambalado), Ayam Jago. Di antara lagu binatang zaman sekarang, hanya Kepompongnya Sindentosca dan Gajahnya Tulus yang liriknya tidak masalah diterima oleh anak-anak. Tetapi masalah klise-nya adalah, orangtua si anak kebanyakan lebih suka genre dangdut koplo yang lagu-lagu dan bumbu panggungnya jauh dari sopan santun dan moralitas.
Sungguh, sebagai seorang bocah gunung yang minim sarana informasi dan edukasi kreatif usia dini, saya sangat terbantu sekali akan eksistensi lagu anak-anak. Saya bersyukur memiliki sosok bapak yang selalu membelikan kami, ketiga anaknya, kaset lagu anak-anak di samping buntelan tholok (kepala ayam) goreng, biskuit regal, mainan, multivitamin botolan, dan minyak ikan setiap kali pulang dari kota. Di rumah sederhana kami, terdapat tumpukan kaset lagu anak-anak, ada radio cawang dan tape loak merek Telesonic, ada kebersamaan, ada keceriaan, ada kebahagian. Makanya, jangan ditanya deh perbendaharaan lagu anak-anak saya. Berani diadu. Singkatnya, MASA KECIL kami sahih dibilang BAHAGIA, sangat bahagia malah.
Sementara itu, realita di dunia anak-anak yang berbanding 180° dari apa yang saya alami di masa kecil dulu, justru dibudayakan oleh bangsa kita hari ini secara biadab dan gila-gilaan, dan intensitasnya setiap dan sepanjang hari. Hari ini anak-anak kita dicekoki, disumpali, dijejali lagu-lagu dan tontonan sampah, ngawur dan ngelantur yang jelas-jelas nihil peranannya dalam hal menambah gizi dan nutrisi bagi otak anak-anak.
Ketika kita masih kecil dulu, theme song yang senantiasa berdengung merdu dari Sabang sampai Merauke adalah lagu Diobok-oboknya Joshua dan lagu Bangun Tidur. Tetapi lain ceritanya dengan bocah-bocah yang baru mlethek lima belas hingga sepuluh tahunan yang lalu. Mereka jauh lebih fasih bernyanyi “Kau bidadari jatuh dari surga di hadapanku. Eeeaaaa…”
Ada lagi anak-anak yang asyik menyanyikan lagu Jupe yang berjudul Aku Rapopo dan Belah Duren. Anak kecil mungkin tidak paham akan konotasi belah duren di sini, tetapi lagu ini secara eksplisit mengajari anak-anak menjadi pelit. “Jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tahu. Dibelah bang, dibelah. Enak bang, silakan dibelah”. Duh Gusti nyuwun ngapura… Wong cuma mau makan durian saja loh kok pakai kunci pintu segala. Padahal anak-anak seyogyanya diajari berbagi dengan sesamanya. Di sini konteksnya berbagi durian ya, bukan “duren”. Parahnya lagi, bocah-bocah piyik di lingkungan saya bisa bernyanyi lagunya Tuti Wibowo yang “Kuhamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran tidurnya berduaan.”
Modyyyyaaaaaar tenan…!!!
Di sinilah bimbingan orangtua terhadap anak sangat dibutuhkan. Membebaskan anak menyukai dan memilih sendiri sesuatu, termasuk lagu dan tontonan, tidak selamanya bijak dan demokratis lagi, sejauh kita tidak menyaring dan mengontrol terlebih dahulu mana yang layak untuk anak, dan mana yang tidak layak. Jangan sampai demokrasi yang kita terapkan selama ini terhadap buah hati kita adalah demokrasi tanpa isi, lagi melahirkan boomerang di kemudian hari.
Masa pertumbuhan anak-anak manusia jaman sekarang ibarat masa pertumbuhan anak-anak di lingkungan peternakan ayam. Ketika anak-anak ayam yang digelonggong sentrat siang dan petang agar lekas tambun dalam waktu singkat, anak-anak manusia pun terlalu prematur dikenalkan kepada lagu-lagu percintaan yang lazimnya menjadi konsumsi manusia dewasa. Keberadaan kompetisi penyanyi cilik di stasiun teve Hari Panu—yang konon ngebet ingin ke RI-1—pun sama sekali tidak membantu memperbaiki mutu dunia hiburan anak-anak Indonesia. Penyanyi cilik yang berkompetisi di sana, tidak menyanyikan lagu anak-anak, tetapi menyanyikan lagu orang dewasa dengan lirik yang sedikit diubah, meski begitu tetap menonjolkan kesan agal bin janggal. Tak berhenti di situ, stasiun TV tersebut beserta jaringannya tak pernah absen menyuguhkan tayangan shitnetron tai dan gosip silitbritis ngedhur setiap hari. Semuanya tanpa muatan edukasi, sebaliknya mereka memiliki sumbangsih yang tak terkira pada kerusakan moral anak bangsa.
Pak Panu, semua orang paham bahwa njenengan ini berambisi menjadi presiden. Tetapi mampukah njenengan memimpin negara ini dengan cakap sementara menyajikan program televisi yang bermutu saja tak mampu? Ini kontradiktif loh. Sangat urgen untuk dibenahi sesegera mungkin demi terciptanya sinkronisasi yang harmonis antara visi-misi njenengan sebagai bawalon pemimpin negara dan produk kerja nyata njenengan yang menjadi konsumsi rakyat Indonesia. Jangan salah, tayangan televisi sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pola pikir masyarakat kita, khususnya di kalangan emak-emak yang dari rahimnyalah terlahir peradaban bangsa kita. Nah, karenanya emak-emak pantas diprioritaskan dalam segala hal vital, seperti edukasi dan gizi seimbang. Lah njenengan ini, emak-emak bukannya dipintarkan malah diracuni shitnetron tai, sudah begitu senusantara diajak rasan-rasan aib silitbritis setiap pagi hingga malam pada jam siar prime time.
Hari ini, kita hidup di tengah peradaban yang santer disebut-sebut maju, modern dan futuristik. Tetapi hal timpang yang kian menjamur saja ialah segala sesuatu pada berbagai lini yang alih-alih menawarkan kebaikan demi kebudayaan yang maju, kehadirannya justru memundurkan moralitas dan mengendurkan urat malu. Tentang lagu anak-anak, hari ini merindukan syahdu senandung kidungnya anak-anak, sekali lagi di masyarakat kita sebagaimana yang pernah kita akrabi pada era 80-90-an dulu, rasa-rasanya kok seperti mengharapkan sesosok manusia yang telah lama terbujur mati suri untuk nggimbang dan melenggang kembali. Euforia lagu anak-anak itu hanya sempat dirasai oleh generasi jadul, dipandang kuno dan ketinggalan zaman oleh bayi-bayi kece masa kini. Lagu anak-anak tinggalah produk antik yang mblangkrak di museum vintage, namun percayalah, mereka selalu manis dan mempesona dalam setiap memori dan nostalgia kita, generasi 90-an yang sangat bahagia ini.
[effecto-bar]