Siang itu, tepatnya ba’da dhuhur, setelah janjian, saya dengan dua orang teman (Mas Surur dan Mas Cahyo) berkunjung ke Kecamatan Bendungan. Salah satu kecamatan di Trenggalek yang baru-baru ini ramai diperbincangkan sebab keberadaan kopi dan pabrik pengolahannya, yang merupakan bekas peninggalan Belanda. Bangunan ini dengar-dengar diupayakan untuk “hidup” kembali. Tidak ketinggalan pula desa wisata Dompyong yang baru-baru ini telah diresmikan, digadang-gadang dapat mengangkat perekonomian warga sekaligus sarana “rayuan” pada para tourist supaya berkunjung. Sebenarnya ini merupakan sebuah langkah positif dari pemerintah agar Trenggalek terlihat berdaya di tengah-tengah antusiasme warga Bendungan. Meski, ya niat terkadang tidak sejalan dengan kenyataan.
Lepas dari jalanan Desa Ngares, Kecamatan Trenggalek, kami memasuki Kecamatan Bendungan. Tipikal kecamatan yang berada di dataran tinggi, selalu memiliki jalanan menanjak dan berkelok-kelok. Hampir mirip dengan Kecamatan Pule yang nota bene didominasi oleh relief pemandangan bukit-bukit. Saya, Mas Surur, dan Mas Cahyo, menunggangi dua sepeda motor, berjalan beriringan menyusuri jalan berkelok dan menanjak. Kami sengaja menjaga kecepatan laju motor tak lebih dari 60 km/jam.
Nama Bendungan (bendung, membendung), identik dengan keberadaan aliran sungai yang ditahan oleh gundukan tanah atau batu, supaya air bisa terkumpul dan membentuk kolam. Konon, nama ini kemudian disematkan pada kecamatan paling utara di Kabupaten Trenggalek tersebut. Setidaknya, cerita-cerita dari penduduk sering mengisahkan tentang hal ini. Bahkan tim penulis publishing punya kecamatan, dengan semangat mengaitkan cerita nama kecamatan ini dengan nama bendungan yang telah lama tersemat. Bisa jadi, mereka percaya dengan kebiasaan masyarakat yang membendung sungai di kala sedang kemarau. Atau bisa jadi juga cerita tersebut memang benar demikian. Bagi saya, selama tidak ada bukti yang menyertai, tidak begitu saja akan percaya. Minimal, saya harus tahu di mana letak bendungan yang dimaksud masyarakat.
Kontur tanah yang berada di Kecamatan Bendungan memang berbukit-bukit. Lazimnya, di antara dua bukit selalu ada lembah di mana sungai berada. Waktu kami berkunjung ke sana, debit air sampai memenuhi garis pinggir sungai. Maklum, pagi sebelum kami berangkat, hujan sempat mengguyur Trenggalek. Warna air yang mengalir nyata-nyata tidak seperti yang saya pikirkan. Tipikal pegunungan yang masih alami biasanya tetap mempertahankan air sungai yang jernih meskipun hujan turun dengan lebat, seperti aliran air di perbukitan di Dusun Ngrancah, Desa Sawahan, Watulimo. Di Bendungan, air sungai pada waktu hujan berubah warna menjadi coklat. Mungkin saja gugusan tanah di wilayah perbukitan ikut terbawa air hujan hingga ke sungai.
Dahulu, pada musim kemarau, debit air sungai mesti berkurang, diserap oleh tanah kering dan jutaan akar serabut maupun tunjang yang menancapkan diri di bawah batu-batu kali. Penduduk lokal tidak mau kalah dengan ulah pepohonan dan semak serta hewan-hewan macam musang dalam memanfaatkan air. Mereka mengakali sungai dengan membuat timbunan tanah serta batu, disusun memotong sungai. Ini dapat menghentikan aliran sungai sehingga air tidak seenaknya mengalir ke hilir, mereka membuat kedung buatan. Air yang di bendung dapat digunakan untuk keperluan pertanian atau keperluan penduduk yang lain.
Bendungan memiliki komposisi perbukitan, lembah dan pohon-pohon besar, mencirikan kawasan pegunungan yang dibabat untuk pemukiman, bahkan para penjajah kolonial sempat jatuh hati kepada Bendungan. Setidaknya Misbahus Surur sempat menuliskan cengkeraman Belanda pada tanah di Desa Dompyong dengan apik dan sarat data. Hal ini dikandung maksud untuk membuka dan mungkin (kalau ada) meluruskan pemahaman generasi muda Trenggalek yang tak tersadari berwajah inlander. Bahkan untuk urusan menggali brand kopi yang disebut sebagai kopi van dilem, kopine wong londo, asli Trenggalek. Sungguh buruk dan kurang pede sekali bahasa marketing yang mereka buat itu.
Saya berboncengan dengan Mas Surur, lebih tepatnya, saya memboncengnya. Karena untuk ukuran kendel (keberanian) menapaki jalan (khusus jalan berliku, menanjak dan menurun), saya lebih percaya diri dibanding dia. Barangkali karena ia pernah mendapat trauma. Seperti biasa, di tengah perjalanan, dia selalu bersikap juweh dengan menanyakan ini dan itu; memberitahukan ini dan memberitahukan itu sesuka hatinya.
Meski begitu, saya senang. Saya akui, dari perbincangan yang sering terganggu deru suara motor kami serta angin yang berlawanan arah, sering memantik otak kecil saya untuk berspekulasi dengan keadaan dan pertanyaan. Misalnya saja, dia menanyakan nama pohon yang ada di sebelah kiri kami? Saya sendiri dibesarkan di tengah-tengah tradisi pedesaan dan pinggiran hutan. Tentu saya lebih merasa banyak mempunyai perbendaharaan nama pohon, dan bisa menjawab dengan mudah.
Jalan beraspal lintas kecamatan di Bendungan dibuat selebar 4 meter, dibuat dengan mengikuti relief perbukitan, lebih tepatnya selalu menempati posisi pinggir bukit. Hal semacam ini menjadikan jalanan menjadi sedikit ekstrim dan tampak menyuguhkan pemandangan indah. Searah dari perjalanan kami, berarti di sisi kanan kami, lebih banyak dijumpai jurang nan curam, sedang di sisi kiri lebih banyak dijumpai gundukan tanah yang disesaki pohon-pohon pinus.
Di sisi kiri itulah terdapat heterogenitas pohon yang saya perkiraan sudah bertahu-tahun tumbuh. Ada pohon mahoni seukuran pelukan orang dewasa namun banyak kehilangan daun (daunnya dipangkas supaya tidak menimbulkan bencana saat musim angin dan hujan). Ada pohon asam seukuran pohon mahoni, pohon sukun, pohon bendo, pohon trembesi dan pohon-pohon kecil yang baru saja memulai kehidupan di dunianya. Pohon-pohon itu berkoloni menampilkan keasrian bagi Kecamatan Bendungan.
Kecamatan Bendungan, untuk masalah kuliner, identik dengan sega gegok (nasi gegok). Di Desa Srabah, kami berhenti di warung Mbah Tumirah untuk menikmati sega gegok: nama nasi yang menjadi ciri khas Kecamatan Bendungan. Bahkan masyarakat Trenggalek meyakini sebagi makanan khasnya. Terlepas dari pro dan kontra, akuisisi (Seperti Pulau Selitan dan Sipadan) mirip kekhasan dengan Kabupaten Ponorogo dan juga Tulungagung, Namun Sega Gegok tepat untuk disebut sebagai makanan khas Kecamatan Bendungan.
Sebenarnya ada banyak warung sega gegok di Bendungan, tetapi yang paling menyita perhatian adalah warung Mbah Tumirah. Letak warungnya berada di tempat strategis sehingga nyaman untuk disinggahi. Di Warung Mbah Tumirah, sega gegok disajikan di atas meja, masih dalam keadaan hangat, terlihat dari asap yang mengepul di sela-sela bungkus daun pisang. Satu kemudahan dari sega gegok adalah selalu siap saji. Jadi kami tidak perlu memesan nasi seperti layaknya di warung padang atau warung lainnya. Untuk ukuran orang dewasa, dua bungkus sega gegok sudah cukup. Namun bagi orang dewasa yang lidahnya tidak terlalu tahan siksaan rasa lombok macam saya, satu bungkus sudah cukup. Satu Bungkus sego gegok (Mas Surur dan Mas Cahyo habis dua bungkus), dua tempe goreng, segelas air putih dan secangkir kopi hitam dikali 3 orang sudah menjadi tenaga bagi kami untuk melanjutkan perjalanan sampai di Desa Dompyong, desa di mana terdapat memori historis penjajah Belanda terhadap masyarakat pribumi.
Pemerintah Trenggalek, Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi), Pemerintah Desa Dompyong, beserta masyarakatnya baru-baru ini telah meresmikan desa wisata bagi Desa Dompyong, yang terpatok pada potensi kopi van Dilem beserta bekas pabrik kopi. Setelah kami ke sana ternyata besi pada pabrik tesebut sudah banyak yang karatan. Ada sapi perah dan potensi wisata alami berupa grojokan. Dengan di resmikannya desa wisata baru ini, berarti Trenggalek setidaknya sudah memiliki 2 desa wisata yang sah (desa wisata Sawahan di Kecamatan Watulimo dan desa wisata Dompyong di Kecamatan Bendungan) serta 1 desa wisata yang masih direncanakan berada di Desa Bangun, Kecamatan Munjungan.
Sesuai dengan rencana kami dari rumah yang ingin menelisik keberadaan Kopi (yang di-merek-i) van Dilem guna menguatkan sebagian argumentasi Mas Surur dalam tulisannya Kopi Van- Ndilem: Merayakan Ketertindasan, kami menuju ke pabrik bekas peninggalan Belanda. Suatu hal yang menjadi konsentrasi saya ketika sampai adalah air sungai. Berbeda dengan warna air sungai yang kami temui di desa sebelumnya, air sungai di sini memiliki warna jernih. Tak terpengaruh oleh hujan tadi pagi. Tampak mengaliri setiap celah batu-batu kali serta membawa pelbagai sampah yang tercipta oleh aktivitas alam.
Pabrik kopi dibangun bersebelahan dengan aliran sungai, mungkin saja insiyur pembangunan Belanda pada waktu itu berpikir tentang kombinasi aliran sungai dengan mesin pengolahan kopi. Bisa untuk keperluan mencuci atau untuk mengaliri selokan-selokan kecil tempat kopi di-jejer-kan menuju tempat penggilingan.
Pabrik kopi masih terlihat kokoh berdiri, meskipun dari kondisinya terlihat sudah lama tidak difungsikan. Mesin-mesin yang terbuat dari plat besi sudah karatan dan usang, kolam-kolam tempat pencucian kopi juga lebih banyak ditumbuhi lumut daripada bekas kulit kopi. Cerobong asap sudah tidak terlihat lagi bekas hitam kepulan asap. Begitu juga dengan perapian yang rasanya lebih menyenangkan bagi serangga serta sarang laba-laba daripada api yang melahap berkubik-kubik kayu bakar. Melihat kondisi seperti ini, saya lebih senang menyatakan bahwa pabrik kopi sangat tepat disahkan sebagai cagar budaya ketimbang pabrik yang akan difungsikan kembali.
Satu hal yang membuat saya sedikit mengrenyitkan dahi adalah mengenai keberadaan pohon kopi, baik jenis arabica, rosbusta atau jenis kopi berakhiran “a” lainnya. Di sekitar pabrik, kami hanya menemui beberapa pohon kopi yang pantas disebut sebagai tuwuhan daripada pohon kopi yang sengaja ditanam.
Seorang warga Desa Dompyong bernama Karim, ketika kami tanyai tentang keberadaan pohon kopi eks peninggalan Belanda menuturkan begini, “Mbiyen pancen akeh wit kopi nang sekitaran kene, Mas. Saka bukit kae sampek bukit kono bek karo wit kopi, iku sekitar tahun 1970. Bar
ngono aku muleh nek Ponorogo. Masan rene maneh, wit kopi wes ra ana. Emboh sebape apa, aku ra weroh nyapo kopi kok ditebangi”. Mbah Karim adalah saksi hidup yang mungkin juga bapaknya pernah melihat pohon kopi di sana ketika zaman Belanda. Dan kini, terhampar di perbukitan yang memeluk pabrik tua itu, berupa semak belukar berupa pakis-pakisan dan beberapa puluh pohon cengkih.
Di sebelah selatan pabrik, terdapat kandang sapi perah, orang-orang kota mulai menyebutnya kandang koloni. Mbah Karim bertutur jika bangunan yang digunakan untuk ngingu sapi tersebut adalah bekas pasar. Ada dua bangunan di sana, dan semuanya telah beralih fungsi menjadi rumah bagi sapi-sapi perah. Pemerahan sapi yang menjadi mata pencaharian masyarakat Desa Dompyong di seputar pabrik peninggalan tuan van Dilem.