Hentikan Menyeret Anak-anak ke dalam Video Propaganda!

Ada rasa geram berselimut rasa sedih saat menyaksikan adegan anak-anak—yang kira-kira masih usia belajar dan bermain—dalam banyak video propaganda, dilatih menenteng senjata sembari didikte mengucapkan kata-kata jahat: hujatan berbaur ujaran kebencian. Letupan kata-kata yang disuntikan oleh bujuk rayu fanatisme orang dewasa disertai ekspresi curiga, lalu dipenghujungi acungan jari sembari meneriakkan sederet nama-nama Tuhan.

Usia anak-anak adalah masa yang baik untuk belajar dan bermain, antara lain mengumpulkan pengetahuan, belajar berkasih sayang serta memahami sesama. Namun, apa lacur, dalam banyak video propaganda, kita melihat anak-anak (di)jadi(kan) peranti menebar kebencian dengan diajari merayakan “kekerasan”. Di situ, anak-anak nyata menjadi mainan orang-orang dewasa.

Anak-anak dilatih teknik-teknik berperang atas nama agama, melalui alam pikiran orang-orang dewasa yang mencekoki mereka dengan penciptaan musuh-musuh abstrak yang tak sungguh mereka pahami dalam alam kecil pikiran mereka. Orang-orang dewasa yang mencekoki mereka ini menyimpan ambisi pada puritanisme agama berselubung dogma-dogma; hasrat primordialisme berjubah fanatisme. Serangkaian dogma yang, fatalnya, terus disalurkan dari mulut ke mulut, bahkan ke mulut mungil para anak kecil. Tampaknya orang-orang ekstrim tersebut sengaja membuat senjata mematikan, melalui kepolosan dunia anak-anak.

Menjadikan anak-anak sebagai alat kekerasan ‘secara tidak langsung’, yang ditujukan untuk sesama manusia, dengan propaganda kafir (hanya karena tak seide lagi tak seagama) pula label halal diperangi, adalah jenis iblis yang lain. Membentuk dunia anak-anak sebagai sarana melegitimasi keyakinan, dengan anggapan sebagai jalan mendekat ke Tuhan, bagi saya, tak lebih cuma se-biadab-biadabnya ajaran. Teringat satu scene film Che (2008) besutan Steven Soderbergh, ketika Che Guevara—diperankan Benicio del Toro—didatangi beberapa anak yang belum memasuki usia dewasa dalam peletonnya, bersikukuh hendak turut di kancah peperangan dilucutilah mereka karena umur.

Jiwa anak-anak yang mestinya diisi dengan kelembutan dan keriangan, dengan sekotak permainan mengasyikan, telah dirasuki pikiran dan gagasan ekstrim orang-orang dewasa yang maniak perang dan kekerasan. Dalam banyak potongan gambar video propaganda, tampak kebengisan, kebencian dan berahi membunuh itu, ramai-ramai dipertontonkan. Video-video itu bagi saya, jelas ikut andil membunuhi kelembutan dunia polos para bocah.

Nizar Qobbani dalam sajak “Pelajaran Menggambar” pernah menulis sajak, yang banyak bersinggungan dengan fenomena di atas. Gambaran bait-baitnya cocok dengan situasi tema ini (berikut saya kutipkan dari ulasan IR Rabbani terhadap buku Yerusalem, Setiap Aku Menciummu [terbitan Akar Indonesia] dari portal basabasi.co): Di masa ketika gagang gandum menjadi senjata/ ketika burung-burung dipersenjatai/ budaya dipersenjatai/ dan agama dipersenjatai, maka kau tak bisa membeli sepotong roti/ tanpa menemukan sebuah pistol di dalamnya?

Agama yang dikembangkan dan dipahami dalam kaca mata kaum konservatif dan ortodoks, memang sering membuat agama menjadi sosok jahat berwajah garang. Gaya beragama macam begitu itu, sedikit-banyak turut menjauhkan agama dari kebaikan universal yang dikandungnya. Ya, kesulitan agama untuk merespon perkembangan zaman, salah satunya, tersebab efek buntunya sudut pandang (para pengkajinya) dalam menyerap marwah dan maslahah isi kitab suci.

Masyarakat konservatif tak ma(mp)u berubah untuk merespon gerak zaman dengan respon yang lebih kreatif bersumber dari nilai-nilai luhur ajaran agama. Mereka lebih suka meresponnya secara cupet dengan membentengi diri dan mengamalkan ajaran-ajaran puritan, salah satunya melalui bentuk kekerasan atas nama agama, yang diawali dengan menebar ketakutan dan kebencian. Ya, betapa sering agama, dengan argumen-argumen teologisnya, dijadikan legitimasi praktik kekerasan di mana-mana. Barangkali ini, tebak saya, juga akibat gagapnya merespon perubahan dengan cara yang lebih beradab dan manusiawi sesuai konteks dan situasi zaman. Kemampuan mereka sebatas banting setir ke arah purifikasi, bukan dengan keterbukaan mengambil sumber-sumber inspirasinya dari warisan agung, secara lebih kreatif, manusiawi lagi membumi.

Kita tahu, agama punya aspek yang tampak dan tidak tampak; memiliki aspek rasional sekaligus intuitif. Jadi, agama tidak melulu berbau kekerasan dan hukuman. Agama yang bersumber dari wahyu, kata Iqbal, sebetulnya mempunyai pesan bahwa ia memilih hidup universal, yang harus selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar yang baru. Jadi, kalau kita mendalami agama semakin ke dalam hingga pada tahap-tahap esoterisnya, ideologi dan doktrin kekerasan (jihad dalam term kaum takfiri di antaranya) adalah sesuatu yang paling rendah nilainya dibanding substansi pengetahuan (keilmuan) dan pengalaman asketisnya. Dan bisa jadi memang maraknya ekstrimisme dalam agama, salah satunya tersebab pengetahuan esoteris serta pengamalan eksoteris dalam beragama kurang diberi tempat, bahkan cenderung disingkirkan. Tak lagi banyak dialami sebagai visi kehidupan hari ini dan di masa mendatang. Mereka hanya mendalami aspek-aspek terluar dari agama yang lebih kaku, keras dan doktrinal dari aspek-aspek batinnya.

Praktis selama 500 tahun terakhir, tulis Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, pemikiran religius dalam Islam—di mana pemikiran Eropa menerima dan menimba inspirasi pengetahuannya dari sana—jalan di tempat (jumud). Spritualitas Islam masih jarang dikaji hingga secara masif ketimbang doktrin-doktrin kaku dalam agama yang bersumber dari kitab yurisprudensi, yang kelak banyak mengilhami geliat pengamalan agama dengan teramat dogmatis dan doktrinalnya. Di situ, tak pelak esoterisme Islam memang adalah, salah satu, yang bisa menjadi obat penawar bagi kekakuan dogmatisme dalam beragama, yang dari sanalah kita tahu corak dan watak beragama secara ekstrim sering diproduksi dan disebarluaskan. Pengamalan agama yang didapat dari dakwah dan laku-laku yang penuh keteladanan (uswah) sebagaimana yang sering dicontohkan Nabi Saw tak diberi tempat.

Kebencian kerap dipupuk oleh ketakutan dan kecurigaan manusia. Sebelum terbukti, keburu disusul setumpuk prasangka. Dalil agama lantas digunakan untuk melegitimasi rasa takut dan memantik rasa benci. Lantas dicarilah penguat dengan afiliasi dalil-dalil profan agama. Kebencian itu bermula dari perasaan terancam, katakutan dan kecemasan akan eksistensi diri yang kita afiliasikan pada aspek-aspek tertentu dari, entah itu agama, suku, atau etnis, dan seterusnya dan seterusnya. Namun, sebetulnya sebagaimana ditulis Amin Maalouf dalam In the Name of Identity, “tak ada pertalian khusus apapun itu, baik etnis, religius, nasional dan lainnya yang memberi kecenderungan orang untuk membunuh.”

Jadi mereka, pendapat saya, mengalami keterasingan diri, merasa eksistensinya tercerabut di dunia, lantas memproduksi ideologi fasis lagi totalitarianis yang mengawang-awang, dengan landasan legitimasi-legitimasi baik agama, ideologi, dan dalil-dalil kebencian, sambil kadang menunggangi SARA, demi kepentingan golongan dan agama tertentu. Menganggap sesuatu di luar kebenaran agama atau ideologinya sebagai ancaman. Mengidentifikasi perbedaan-perbedan yang sebetulnya bisa didudukkan atau masih sanggup diajak berjalan bersama, sekadar menjadi tindakan-tindakan segregasial yang kian menumbuhkan alienasi antarmanusia satu dengan lainnya. Padahal, pluralitas dan multikulturalitas, dalam konteks Indonesia misalnya, adalah kodrat (karakter), rahmat sekaligus sebuah identitas kebangsaan yang melekat.

Ya, jika hasrat membunuh sudah dijadikan sarana pengagungan bagi makna kehidupan —yang lantas dielu-elu secara utopis dengan jaminan surga—penghormatan terhadap tragedi jauh lebih berharga (sekaligus menjadi sangat berbahaya) ketimbang keluguan celoteh riang anak-anak kecil. “Tahukah Anda apa pra-syarat abadi tragedi?” tanya Kundera dalam novel L’Immortalite (Kekekalan). Ia adalah keberadaan ideal-ideal yang dipandang lebih bernilai ketimbang kehidupan manusia sendiri. Seolah—masih mengutip Kundera dalam lembar novel yang sama (hlm. 134)—orang mewajibkanmu mati sebab tampaknya ada sesuatu yang bernilai lebih besar dari kehidupan. Audzubillah.

Artikel Baru

Artikel Terkait