Kebanyakan kita takut menjadi tua. Mungkin karena ia menandai kesementaran yang kian dekat. Menjadi tua berarti, mandegnya harapan karena tubuh yang dulu berlari-menggapai-melompat kini telah lemah, pincang dan sakit. Usia tua memang mengubah manusia menjadi makhluk yang sama sekali berbeda dengan saat mereka muda.
Paling mula akan terlihat adalah kian meredupnya fungsi tubuh, menjadikan manusia tua kehilangan daya tawarnya. Tak ada lagi bola mata jernih yang di dalamnya berkobar semangat aku-akan-menggengam-dunia, digantikan mata layu yang pekat dan seolah masuk ke dalam. Tak ada lagi massa otot yang kekuatan di baliknya, tak jadi soal apakah satu atau dua karung beras akan dengan enteng dipikul, berganti tubuh yang lapuk, ringkih dan mudah ambruk. Ingatan yang dulu sanggup menampung berlembar-lembar kisah, kini mulai diselubungi selaput kepikunan yang membuat pikiran manusia tua tampak buntu dan ganjil. Perlahan, dan sedikit demi sedikit, usia tua mengenalkan raga kita pada kefanaan.
Usia tua, kata Borges, adalah kesunyian agung.
Kita ingat saat masih anak-anak, banyak hal tampak lebih mudah karena dunia disuguhkan secara cuma-cuma oleh para orangtua. Lalu, kita dewasa. Dunia tak lagi datang dengan wajah polos dan ramah. Untuk bertahan di dalamnya, kita dituntut untuk menguasai berbagai keterampilan, mengurusi segala jenis harapan yang ditimpakan orang-orang pada kita, dan semuanya menjadi makin tak terkendali.
Namun, toh, gerak hidup tetap berjalan sebagaimana adanya; bekerja, menikah, memiliki anak. Lantas, perlahan-lahan, pekerjaan berat mulai tak bisa kita lakukan, mimpi-mimpi masa muda serasa tak masuk akal, dan anak-anak yang selalu menghangatkan batin kita satu per satu pergi dari rumah untuk menghidupi keluarga mereka sendiri. Lantas, sekonyong-konyong kita menua. Di dunia yang serba tak peduli ini, kita semua takut kesepian. Dan menjadi tua berarti menyaksikan dunia perlahan meninggalkan kita. Sendirian. Dalam sunyi yang agung.
Apakah yang tua selalu kesepian dan ditinggalkan?
Di Winong, Tugu, tinggal kakek saya, Mbah Komari, ia baru pulang dari ladang miliknya yang berjarak sekitar 1 km dari rumah. Sepanjang jalan tadi tubuhnya yang kurus dan ringkih harus membawa sekarung besar rambanan untuk pakan 4 ekor kambing. Tanpa alas kaki ia susuri jalanan berkerikil sambil memanggul karung di pundak kirinya, sementara tangan kanan menjepit rokok.
Sebelum pulang ia tak perlu berselfi-ria memamerkan diri bahwa di usianya yg hampir menginjak 80 tahun, ia masih bisa mengangkat beban berat, naik ke pohon atau berpanas-panasan mencari rumput lantas mempostingnya ke sosmed dengan tagar #menolaktua #manulakeren #masihstrong. Ia melakukan semua rutinitas itu dengan kesenangan yang sifatnya sangat personal. Dan ketika dirasa lelah, ia cukup ngaso di depan rumah ditemani teh hangat dan rokok yang jenisnya bisa berganti sesuka hati: dari surya 12, L.A, Boy hingga lintingan sendiri.
Anak-anak Mbah Komari sebenarnya tak pernah menyuruh bapaknya bekerja. Mereka sadar bahwa tubuh tua bapaknya mudah lelah dan rentan sakit. Tapi laki-laki tua itu tetap memaksa bekerja lantaran sulit sekali untuk meninggalkan kebiasaan obah yang telah dilakoni selama berpuluh-puluh tahun. Bagi Mbah Komari yang sejak muda terbiasa bekerja, obah justru menyenangkan hatinya.
Ada sedikit cerita tentang masa lalunya yang keras yang membuatnya terbiasa bekerja hingga kini. Dulu sewaktu ia kecil, bapaknya memelihara 9 ekor sapi. Setiap hari sapi-sapi itu harus di-angon, lengkap dengan kandangnya yang harus dibersihkan dari kotoran. Bapaknya memberikan tugas itu kepada Mbah Komari dan saudaranya saat ia masih berumur sekitar 9-10 tahun. Belum lagi, setiap menjelang Isya, Mbah Komari harus pergi menjaga ladang jagung milik keluarga dari serangan babi hutan yang kelaparan. Hanya berbekal rokok ia berjaga di gubuk sambil menggoyang-goyangkan tali kerencengan yang diikatkan pada tiang setiap kali terdengar babi hutan hendak mendekat. Aktivitas itu dijalaninya dari petang hingga menjelang subuh.
Dua kegiatan itu hanya sedikit dari banyak kegiatan yang Mbah Komari lakukan sejak muda. Lama-lama kegiatan-kegiatan itu menumbuhkan kebiasaan dan kesadaran kuat yang mungkin bermakna, “janji isih kuat, awak kudu digawe kerjo.” Tak ada yang bisa menghentikannya. Bedanya, dulu ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, sekarang ia bekerja ringan untuk kesenangan, juga agar merasa tetap bermanfaat di masa tua.
Tidak hanya Mbah Komari, di luar sana kita sering menjumpai orang-orang yang bekerja di usia senja. Ada yang berjualan, bertani, berkebun. Pagi-pagi sekali mereka bangun, menyiapkan perlengkapan kerja, lalu pergi ke pasar atau sawah. Bercengkerama dengan kawan-kawan di pasar adalah kesenangan. Berkeringat sehabis menanam adalah berkah. “Anak-anak muda yang tumbuh besar dari keringatku itu tahu apa, sih,” begitu mungkin pikir mereka.
Mereka boleh terjerat melankolia tentang penyakit-penyakit yang mulai banyak berdatangan, anak-anak yang jarang berkunjung, pernikahan yang, yah meski sudah mencapai level rohmah, (tampaknya) relasi suami-istri di usia ini kebanyakan lesu dan tidak berwarna, ya :D. Namun itu hanya sesaat, selebihnya pekerjaan-pekerjaan ringan yang memberdayakan diri akan membuat mereka semangat kembali.
Tak jarang, anak-anak dari lansia itu banyak yang kesal atau marah, karena tubuh ringkih yang wajarnya dibuat banyak istirahat, malah dibawa cetik geni, gawe pecel, lodeh, tempe goreng, sak sembarange. Mereka tidak tahu, bahwa selama masih hidup, manusia akan terus berupaya untuk mengumpulkan penghargaan dan mencari pengakuan. Bekerja ringan juga upaya sederhana bagi orang-orang tua ini untuk menunjukkan eksistensinya bahwa meskipun tua, ia masih bermanfaat untuk orang lain, juga dirinya sendiri.
Kita yang muda tak pernah membayangkan bagaimana labilnya psikologi mereka saat tak ada lagi yang bisa dilakukan, tak punya tujuan, tak ada orang-orang terdekat yang memberi penghiburan. Hanya berdiam diri memikirkan tubuh yang mereka cintai perlahan melapuk sambil terus menerka-nerka kapan maut akan menjemput. Mempunyai daftar kegiatan ringan akan membuat mereka berharga, tak bergantung pada anak-anak, dan tentu saja agar tak merasa terlalu tertinggal dari dunia yang, bagaimanapun fana-nya, pernah menghidupinya, menyuguhkan kenangan-kenangan, memberinya kebermaknaan.