Pernah mencicipi rasa manis gula yang dihasilkan dari pohon kelapa? Bagaimana rasanya?
Berbeda dengan gula pasir yang dihasilkan dari kristal sari tebu, gula merah dari pohon kelapa ini dihasilkan dari pengebiran manggar (bunga/buah) kelapa. Dan pohon kelapa yang di-deres (dijadikan bahan baku gula merah) ini tidak akan pernah berbuah lagi selama diambil badek-nya (nira).
Bagaimana gula kelapa ini dihasilkan oleh para penderes, sejak dari masih dalam bahan baku menjadi bahan jadi?
***
Pagi-pagi sekali, Pak Sarkun bangun tidur. Hampir setiap hari sehabis subuh, jika kondisi sehat, ia bergegas ke belakang rumah untuk mengasah pisau khusus deres hingga benar-benar tajam. Pisau itu ia gunakan untuk mengiris manggar (bunga kelapa) yang masih belum mekar, untuk diambil airnya. Masyarakat di sekitar Pak Sarkun menamai air deres manggar kelapa ini dengan sebutan badek (nira). Pisau selebar ukuran telapak tangan orang dewasa itu seperti benda keramat. Tidak boleh digunakan untuk memotong selain untuk manggar kelapa. Jika sampai ia memergoki anaknya memainkan pisau khusus tersebut, ia akan membentak sambil melotot marah. Pisau itu seolah keramat baginya.
Istrinya yang juga terbangun kala mendengar sang suami beraktivitas, ikut menyiapkan beberapa kebutuhan deres. Dengan hafal ia memanaskan air di dapur, sambil menyiapkan kantung-kantung yang sudah ia bersihkan sebelumnya. Kantung ini terbuat pohon bambu petung (jenis bambu ukuran jumbo) yang dipotong sepanjang 45 cm. Potongan ini menyisakan ros (pembatas/buku bambu) di sebuah pangkal dan menghilangkan ros di pangkal yang lain. Kemudian potongan bambu jumbo dililiti menjalin supaya tidak cepat pecah serta dibersihkan ruang dalamnya hingga mengkilap. Kantung ini berfungsi sebagai wadah bagi tetesan-tetesan badek yang jatuh dari manggar yang telah dipotong.
Kantung yang telah bersih itu dimasuki bumbu, berupa air enjet (endapan batu kapur yang telah dibakar), klinthing (buah manggis yang masih sangat muda) dan tatal (serpihan kayu) pohon nangka. Bahan-bahan yang telah dicampurkan dengan air ini berfungsi sebagai penangkal supaya badek tidak kunjung membusuk atau masam saat masih di atas pohon. Masing-masing kantung dijatah sekitar satu gelas. Dan pagi itu, seperti biasa, ada 4 kantung yang disiapkan istri Pak Sarkun.
Jika hari sudah terang, Pak Sarkun bergegas mendatangi pohon-pohon kelapa. Pisau yang sebelumnya ia asah, diletakkan pada eklek (sarung pisau) yang ia ikatkan di pinggang. Ia memikul keempat kantung di pundaknya: dua di depan dan dua di belakang. Empat kantung tersebut akan ia pasang di empat buah pohon kelapa penghasil badek.
Jika sudah sampai pada pohon kelapa yang ia maksud, lantas ia mengambil satu kantung dan dicantelkan pada tali eklek tadi. Ia ayunkan kaki pada setiap tatar (lubang buatan pada pohon), selangkah demi selangkah memanjat pohon kelapa hingga mencapai pelepah daun. Pak Sarkun melakukan ini hampir setiap hari. Ia sangat lihai memanjat pohon. Ia memeluk pohon kelapa setinggi 10 – 15 meter itu setiap pagi dan sore hari untuk diambil air nira-nya.
Sesampai di atas, ia langsung mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Pada ketinggian tersebut, ia harus bekerja ekstra hati-hati, supaya tidak terpeleset dan jatuh, juga supaya kantung yang sudah terisi badek sejak kemarin tidak tumpah sia-sia. Kantung yang sudah terpasang sejak kemarin, dilepas dari manggar (bunga/bakal buah kelapa) dan menggantinya dengan kantung lain yang belum terisi. Ia memasang kantung setelah mengiris manggar beberapa irisan.
Mula-mula, manggar-manggar tersebut sengaja ia kupas dari mancung-nya (bungkus manggar), lalu diikat sebanyak dua ikatan supaya bunganya terkumpul rapi dan tidak terurai. Manggar yang telah dirapikan dalam ikatan lalu diiris tipis dengan pisau khusus deres, dengan sangat hati-hati. Setelah dirasa cukup, lalu dipasangi kantung yang telah terisi bumbu anti pembusukan dan mengikatkannya pada manggar supaya tidak jatuh. Badek keluar dari pori-pori manggar yang telah diiris, setetes demi setetes selama beberapa jam.
Pak Sarkun bergegas turun dari pohon kelapa dan kembali mengulangi aktivitasnya tersebut pada 3 pohon kelapa berikutnya.
Ia kembali ke rumah dengan membawa empat kantung penuh badek. Seperti saat ia berangkat, keempat kantung ia pikul di pundak: dua di depan dan dua di belakang. Pekerjaan ini sudah menjadi rutinitas baginya. Sesampai di rumah, sang istri menyambut dengan riang, hasil deres kemarin sore setidaknya menjadi harapan bagi keluarga untuk melanjutkan kehidupan esok. Istrinya menyambut empat kantung badek dan menyiapkan untuk dimasak.
Sedang Pak Sarkun, sesudah meletakkan pisau keramat pada tempatnya, lantas mencuci tangan dan menuju ke meja makan dekat pawon. Di sana ia sudah ditunggu oleh hidangan sederhana dan segelas teh yang telah disiapkan istrinya saat ia melakukan pekerjaan deres. Ia mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk, lalu mengambil dingklik (tempat duduk kecil) dan menempatkannya 1 meter dari bibir pawon. Ia menyantap sarapan sambil menghangatkan badan dekat perapian.
Api pawon yang semenjak pagi sudah menyala, tidak dibiarkan begitu saja oleh istrinya. Terkait gula merah ini, istrinya punya peran penting dalam mengolah badek menjadi gula merah. Kantung yang telah diturunkan ia sambut dari pundak suaminya, ia bawa menuju dekat pawonan. Sebelumnya ia telah menyiapkan kuali besar dan saringan untuk memisahkan badek dari kotoran (serpihan bunga kelapa, terkadang juga ada kumbang kelapa). Ia tuangkan badek dari kantung ke kuali melewati saringan dengan pelan. Sesekali ia melirik pada suaminya yang sedang makan masakannya. Kantung-kantung telah berhasil ia kosongkan, lantas dengan kuat ia angkat kuali tersebut ke atas pawonan.
Sembari menjaga api supaya terus menyala, mereka berdua jagongan perihal keadaan rumah tangganya, semisal mengenai anak lelaki satu-satunya yang belum kunjung bangun tidur padahal hari itu adalah hari di mana ia harus sekolah, atau membicarakan anak perempuannya yang sudah mendekati dewasa. Percakapan mereka merupakan bagian dari pelepas penat, mengalihkan sebagian beban keluarga yang harus mereka tanggung.
Api masih berkobar sekitar 2 jam, istri Pak Sarkun tetap setia menjaga api supaya tetap menyala. Sesekali ia ambil belahan kayu kering untuk dibakar, mengganti kayu yang sudah menjadi abu termakan nyala api. Ia kembali menjalankan peran gandanya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai bagian dari tulang punggung keluarga. Sambil menunggu badek mengering. Ia siapkan sarapan untuk anak-anaknya dan mengomeli anak lelakinya jika dilihatnya masih santai-santai, padahal teman sekolah sudah menunggu.
Pak Sarkun sudah tidak lagi di rumah, ia pergi menggarap ladang sambil mencari rambanan (rumput untuk kambing). Jika kambing sudah banyak menghasilkan krete (kotoran kambing), ia bawa pula ke ladang untuk pupuk cengkih atau singkong supaya subur. Proses semacam ini kini disebut teknik on farm off farm: pergi ke ladang membawa pupuk, pulang dari ladang membawa hasil pertanian dan rambanan.
Badek yang dipanaskan selama kurang lebih dua jam akan berubah menjadi cairan coklat pekat lagi lengket. Badek yang semula encer menjadi cairan lengket. Jika sudah sampai pada proses ini, ia tidak berani jauh-jauh dari rebusan badek karena bisa mengakibatkan bakal gula merah menjadi kethok (menghitam seperti hangus). Ia tambahkan parutan kunir supaya gula tampak kekuningan.
Ia baru mengangkat kuali jika sudah merasa yakin bahwa cairan sudah tidak bisa lagi diaduk karena sangat lengket. Ia angkat kuali dari pawonan, lalu di letakkan di tanah begitu saja. Ia ambil cetakan gula (terbuat dari bathok kelapa, atau dari bahan atom) yang telah ia pasangi plastik supaya gula mudah untuk diambil ketika mengering. Ia ciduk gula lalu menuangkannya ke dalam cetakan, ini ia ulangi sampai gula masuk semua ke dalam cetakan yang telah ia siapkan.
Gula yang yang belum kering, ia simpan pada tempat bersih serta aman dari semut. Membiarkan gula mengering sampai esok harinya. Semut selalu mempunyai penciuman bagus pada gula. Selain semut, petani gula merah juga memiliki hama lain, seperti kadal hijau dan kumbang. Saat kantung masih di atas pohon kelapa, kadal hijau sering masuk. Entah karena sengaja ingin mencicip rasa segar air badek atau memang terjebak di dalamnya karena berniat memakan hewan-hewan kecil penikmat badek. Yang jelas, karena ulah kadal hijau yang mengobok-obok badek ini, terpaksa badek harus dibuang.
Gula yang sudah kering, ia jual kepada bakul, kadangkala ia bawa langsung ke pasar, kadang pula ia titipkan kepada tetangga yang pergi ke pasar. Hasil penjualan gula ia belikan kebutuhan pokok, dan uang lebihnya, ia simpan untuk berjaga-jaga. Semisal membayar SPP sekolah anaknya atau membayar arisan.
Siklus kerja yang dilakukan oleh Pak Sarkun dan istrinya ini, merupakan salah satu cara orang-orang desa bertahan hidup. Di desa tempat ia tinggal, ada beberapa orang yang masih menderes pohon kelapa. Setiap hari mereka rajin melakukan rutinitas ini. Namun, perkembangan zaman makin jarang orang melakukan kebiasaan deres ini.
Kini banyak disaksikan anak-anak para penderes tidak lagi suka memanjat pohon, seperti halnya anak lelaki Pak Sarkun, ia tidak lincah memanjat pohon kelapa, bahkan bisa dikatakan tidak bisa memanjat, entah karena gen penderes tidak turun padanya, atau entah karena ia benar-benar prototipe lelaki pemalas. Yang jelas, anak lelaki Pak Sarkun bukanlah penderes pohon kelapa. Anak lelaki Pak Sarkun itu adalah saya sendiri.