Lahir di Munjungan, Trenggalek, 82 tahun silam, Mbah Katijah ajeg mewariskan pengalaman (dan ingatannya) mengenai, cara mengobati gejala-gejala tertentu dari penyakit ringan semacam sakit tenggorokan atau badan meriang; mengangkangi (lebih halusnya melompati) anak-anaknya yang hendak bepergian jauh (lungo); melarang cucu-cucunya untuk makan buah atau panganan (makanan) tertentu setelah menyantap jenis makanan ini-itu yang lain, sebab bisa membuatnya keracunan (mendemi); saran mengobati penyakit dengan ramuan-ramuan tradisional; berziarah ke makam leluhur sebelum menikah; melakukan prosesi-prosesi tertentu dalam persalinan, dan seterusnya yang masih akan panjang andai disebut satu per satu.
Kita pun pada suatu ketika, di sela-sela obrolan ringan dengan orangtua juga nenek-kakek, terselip cerita (kisah) dan nasehat (anjuran) tertentu dari mulut mereka ihwal babak-babak perjalanan yang pernah mereka lalui saat menjalani kehidupan bersama orangtuanya. Apa yang kita tangkap dari perilaku ini? Semata-mata adalah ikhtiar mewariskan kebiasaan (habitus) yang pernah mereka lakukan sebagai sebuah tuntunan hidup, bahkan diyakini punya efek kurang baik jika tidak dilakukan, saat kita memasuki dan mengalami fase-fase dari situasi sebagaimana di atas.
Anjuran untuk melakukan sesuatu yang pernah dilakukan oleh orangtua atau nenek-kakek itu sering ditekankan. Apa sebetulnya yang mereka inginkan? Apa pula sebenarnya yang merekatkan manusia dengan hal-hal semacam di atas? Terlepas dari pertanyaan ini, ketaatan untuk menjalankan anjuran pada hal-hal demikian memang merekatkan manusia dengan tradisinya. Sementara keengganan untuk melaksanakannya, akan membuatnya (me)renggang. Orang seperti Mbah Katijah dan yang segenerasinya, sedikitnya, adalah prototype perempuan-perempuan penjaga tradisi, dari tipe nenek moyang-nenek moyang kita dahulu.
Anthony Giddens—terilhami Maurice Halbwachs—pernah menulis, sebetulnya yang menjaga supaya tradisi tetap awet bukanlah (perjalanan) waktu, melainkan “pewarisan memori”. Kenapa seorang bapak dan ibu atau nenek dan kakek menganjurkan aktivitas ini-itu; mengajarkan nilai-nilai tertentu terkait laku ini dan itu, dalam proses kehidupan anak dan cucu-cucunya? Tidak lain, karena mereka ingin mewariskan ingatan (memori).
Mewariskan memori berarti juga mentransmisikan ingatan di sepanjang hidup orang tua tersebut ihwal laku dan tindakan yang pernah mereka lakukan. Dengan lain kata, mereka juga mentransfer pengetahuan, mengajarkan pengalaman, mendiktekan pranata dan perilaku, kepada generasi-generasi berikutnya secara simultan dan turun-temurun. Dengan demikian, melalui mekanisme ini, tradisi dengan sendirinya akan terhindar dari kepunahan.
Jadi, bapak-ibu dan nenek-kakek kita yang mentransmisikan pengetahuan, dari perkara lahir maupun perkara batin, dari kebiasaan-kebiasaan dan pranata yang mereka miliki, melalui pengalaman-pengalaman mereka sendiri ketika berinteraksi dengan generasi di masanya masing-masing itu, mereka semua adalah—para penjaga tradisi.
Penolakan dan keengganan kita pada pewarisan kebiasaan dan pranata yang ditransmisikan para orangtua dan orang tua ini, apalagi pada aktivitas-aktivitas pokok, bagi mereka, punya implikasi serius: menyebabkan ketidakharmonisan dalam “menjalani kehidupan”. Sesuatu yang tidak dilakukan, bisa merusak harmoni, dan menggoncang tatanan alam dalam skala kecil. Selanjutnya, memunculkan risiko-risiko tertentu yang diyakini akan memberi dampak kurang baik. Keyakinan ini sebetulnya kalau dihubungkan dengan konsep harmoni cukup beralasan.
Karena itu supaya eksis, tradisi butuh pengulangan dari waktu ke waktu ketika memang menemui momentumnya. Tradisi seolah sesuatu yang ingin mengikat masa lalu dengan masa sekarang atau merasuki masa depan. Dan realitanya, memang perjalanan manusia selalu diikat oleh tindakan-tindakannya yang telah lewat. Tindakannya tidak pernah mandiri, otonom, dan terlepas dari seluruh aktivitas sebelumnya dari masa lampau (contoh aktivitas hari ini berhubungan dengan aktivitas hari kemarin). Pun aktivitas kita selalu diikat dan dipengaruhi oleh banyak aktivitas lain yang pernah kita lakukan.
Giddens dalam Masyarakat Post Tradisional, mengatakan bahwa kemungkinan tradisi memang sebuah orientasi ke masa lalu; bahwa masa lalu memiliki pengaruh besar, atau secara lebih akurat tradisi dibuat memiliki pengaruh yang besar di masa sekarang. Namun dalam arti tertentu, tradisi, masih kata Gidden, juga tentang masa depan karena praktik-praktik yang telah mapan digunakan sebagai cara mengorganisasi waktu di masa depan. Aktivitas-aktivitas pengulangan merentang untuk membalikkan masa depan ke masa lalu, selain mengambil masa lalu untuk merekonstruksi masa depan (2003:18).
Bahwa tradisi adalah ikhtiar mewariskan memori adalah nyambung belaka, terutama dari apa yang diistilahkan Maurice Halbwachs dengan ‘memori kolektif’. Kita kerap beranggapan bahwa terpeliharanya memori berasal dari keberadaan jiwa bawah sadar. Semacam ada jejak-jejak tertulis dalam otak yang memungkinkan keadaan ini diangkat ke tingkat kesadaran. Dari sudut ini, ‘masa lalu jatuh ke dalam puing-puing’, tetapi akan muncul kembali. Karena ia terus ada di alam bawah sadar (Giddens, 2003: hlm. 19).
Halbwachs menolak ide ini, sebab masa lalu bukan cuma dipertahankan melainkan terus menerus direkonstruksi berdasarkan masa sekarang. Memori adalah proses sosial aktif yang tidak hanya dikenali dengan pengingatan. Manusia terus menerus mereproduksi memori tentang perstiwa atau keadaan di masa lalu, dan pengulangannya merupakan pelanjutan pengalaman (Giddens, 2003: hlm. 20).
Mbah Katijah bukan hanya menyerap tradisi di tempatnya yang awal (dibandingkan orang lain termasuk diri kita), melainkan juga lebih punya waktu untuk mengenali secara detail tradisi tersebut—dengan leluasa—melalui interaksi dengan orang-orang yang sebaya dengannya, dan mengajarkannya (mewariskannya) pada orang yang lebih muda.
Jadi,—dengan mengutip Giddens (2003: hlm 20)—dapat kita katakan tradisi merupakan media pengatur memori kolektif. Integritas tradisi tidak semata berasal dari fakta kebertahanannya dalam perjalanan waktu, tetapi juga dari kerja penafsiran berkelanjutan untuk mengenali jaringan yang menghubungkan masa sekarang dengan masa lalu. Termasuk memperbarui pola-pola hubungan kita dengan perspektif-perspektif yang lebih baru, beserta ikhtiar untuk meng-up grade sikap kita terhadap: satu sisi tradisi, dan pada sisi lain, perkembangan zaman (modernitas) yang melingkupinya.
Hanya di desa-lah alam lebih dianggap sebagai satu kehidupan yang menginternal ke dalam diri masyarakat, berbeda dengan wilayah-wilayah yang tidak terlalu dekat dengan pekerjaan mengolah alam: bercocok tanam bersama segala variannya. Dalam dunia industri dan perusahaan, alam sangat sedikit dijadikan faktor-faktor utama untuk mempertimbangkan segala tindak-tanduk manusia. Alam lebih banyak dianggap sebagai sistem eksternal yang hidup sendirian di luar sana. Tak ada hubungannya dengan aktivitas manusia yang tidur nyaman di dalam rumah pada malam hari dan bekerja untuk “mengeksploitasi” alam pada siang hari.
Meski secara umum, tradisi sering dianggap konservatif, kuno, bahkan bar-bar, ia wujud sesuatu yang paling gigih lagi paling aktif dalam melakukan proses rekonstruksi: paling tak gentar melawan eksploitasi lingkungan di pedesaan-pedesaan dan di pegunungan-perbukitan dengan caranya sendiri. Benar kata Giddens, apa yang alami adalah apa yang tetap di luar jangkauan intervensi manusia. Di situ, alam dipersonalisasi, dan menjadi rumah subur bagi beragam tradisi.
Aktivitas kedaerahan dan kegiatan otonom yang kita lakukan di pelosok-pelosok desa, sering tanpa sadar memang dipengaruhi (didikte) oleh agen (bisa peristiwa, benda, pikiran, orientasi ideologi dll.) yang berasal dari tempat yang jauh sekali—membuktikan bahwa globalisasi (anak bungsu kapitalisme ini) bisa dengan mudah dan ekspansif, mempengaruhi segala aspek dan kegiatan hidup manusia.
Tindak-tanduk keseharian atau keputusan individu yang buruk juga berkemungkinan memiliki akibat yang mengglobal (menggerakkan massa; memiliki implikasi mendunia seperti mempengaruhi orang di ujung dunia lain; juga bisa memberi pengaruh pada menurunnya mutu ekologi). Ini sebagaimana teori Norton: kepak sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil, bisa menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian (the butterfly effect). Dan semoga tornado atau puting beliung dari kepak saya kupu-kupu itu, tidak perlu sampai ke lokasi-lokasi kita di Indonesia, khususnya di Trenggalek sini. Semoga kita dijauhkan dari segala bencana dan mara bahaya.