Betapa Penting Mengganjar Mereka yang Menginspirasi

Seperti tahun-tahun yang telah lewat, Trenggalek akan merayakan Hari Jadi-nya ketika gaung kemeriahan peringatan HUT-RI belum mereda. Tak jarang, bahkan, sebuah acara digelar sekaligus untuk memeriahkan kedua hari penting tersebut (17 dan 31 Agustus).

Berbagai kompetisi digelar di sekolah-sekolah, di kecamatan-kecamatan, di desa-desa: dari lomba baca puisi hingga pertandingan sepak bola. Ada pula karnaval dan gerak jalan. Panggung pentas seni pun dibuat di tingkat kabupaten, kecamatan, desa, bahkan boleh juga lingkungan RT membuatnya sendiri, jika mau.

Sayangnya, belum ada yang menghitung berapa dana yang dihabiskan untuk macak saja (sewa/beli kostum serta ongkos rias wajah) di seluruh kabupaten pada penyelenggaraan pesta perayaan di Dua Hari Jadi itu. Kalau menghitungnya secara teliti, pasti akan didapat angka yang besar.

“Bukankah seberapa pun besarnya jumlah uang yang kita keluarkan untuk acara peringatan hari jadi negara dan kabupaten, kita itu masih juga tak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan jiwa-raga yang dipertaruhkan para pejuang dan perintis kemerdekaan? Tak juga ada apa-apanya dibandingkan dengan jasa para leluhur kita yang bersusah-payah babat alas dan merintis pemukiman baru di tanah tumpah darah kita ini?”

“Tentu, saya tahu itu. Tetapi, saya yakin para perintis kemerdekaan dan para leluhur orang Trenggalek akan menangis sedih andai menyaksikan kita hanya bisa berpesta-pora begitu. Saya tidak menganggap bahwa pesta itu tidak penting. Tetapi, sudah saatnya kita mengkaji ulang apakah model perayaan seperti tahun-tahun yang lewat itu tepat sasaran atau lebih merupakan penghambur-hamburan uang sambil, malahan, makin mengaburkan makna hari jadi itu sendiri.”

Jika dapat dilakukan pengkajian ulang terhadap segenap kegiatan yang digelar dalam rangka perayaan HUT-RI dan HUT-T itu, sekian banyak acara akan dipertahankan dan beberapa di antaranya bisa dipangkas, kemudian diagendakan materi acara baru yang lebih bermakna. Saya akan mengusulkan satu acara: pemberian penghargaan kepada sosok-sosok inspiratif di berbagai bidang: pertanian, peternakan, kesenian, konservasi flora dan fauna, industri kreatif, industri rumahan, pendidikan luar sekolah, kepemudaan, dan lain-lain.

Tentu soal pembidangan ini bisa dikoreksi, ditambah atau dikurangi. Perlu dibentuk tim untuk mengatur itu, mengusulkan nominal penghargaannya, serta urusan tetek bengek lainnya.

Penghargaan itu penting: sebagai bentuk apresiasi dan sekaligus bernilai strategis bagi pihak pemberi. Ingat, tugas pemimpin itu dua di antaranya adalah: (1) memberikan hukuman kepada yang salah dan (2) memberikan penghargaan kepada yang benar lagi berprestasi. Selama ini yang terkesan adalah: negara begitu bernafsu memidanakan si salah. Lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman, ada seolah-olah hanya untuk ngurusi wong salah. Negara tidak punya lembaga khusus untuk mengurusi pemberian penghargaan kepada mereka yang telah menunjukkan prestasi gemilang serta menginspirasi banyak orang. Ingat: m e n g i n s p i r a s i. Jadi yang dinilai di sini bukan sekadar prestasi.

Banyak kompetisi digelar, apakah itu pertandingan olah raga, lomba balap karung, lomba masak, hingga lomba baca puisi. Untuk berbagai jenis kompetisi itu biasanya panitia sudah menyiapkan hadiahnya. Di luar itu, di tengah-tengah masyarakat, ada figur-figur yang tak jarang bercucuran peluh, mandi keringat, bekerja keras, menempuh jalan perjuangannya tanpa berkoar-koar, bahkan tak pernah merasa berjuang, melainkan sekadar menjalani hidup dengan baik. Hingga, sampailah pada satu titik, capaian, yang membuat banyak orang terinspirasi olehnya.

Kita berhutang jasa kepada para figur inspiratif seperti itu. Mereka nendatangkan manfaat sebagaimana bengkel kerja, penyuluhan, dan semacamnya. Bengkel kerja dan sebagainya itu biasanya menyerap dana yang besar. Sementara, dari para figur inspiratif kita mendapatkannya secara gratis, terus-menerus. Bahkan, mekanisme kemanfaatan bisa terus berlangsung walaupun si figur telah meninggalkan dunia fana ini.

Ketiadaan mekanisme pemberian penghargaan bisa pula menjadi dasar yang baik untuk mendakwa, bahkan kita tidak memiliki data, tidak mengenali dengan baik, apa yang telah dikakukan warga kita. Sedangkan adanya tradisi pemberian penghargaan saja tidak belum dapat dijadikan jaminan mengenai kepemilikan data yang memadai.

Ada contoh nyata berkaitan dengan hal ini. Suatu waktu Gubernur Jawa Timur hendak memberikan penghargaan kepada seniman yang juga sastrawan Jawa bernama Esmiet (kelahiran Mojokerto dan tinggal di Banyuwangi). Tampaknya, nama besar Esmiet sebagai sastrawan Jawa menjadi salah satu pertimbangan sehingga tim juri menganggap sudah selayaknya tahun itu Esmiet menerima penghargaan gubernur. Uniknya pada giliran hendak mengirim utusan untuk menyusun biodata yang bersangkutan, panitia termasuk tim juri-nya tidak tahu alamat rumah maupun nomor telepon yang dapat digunakan untuk menghubungi Esmiet. Pada akhirnya, utusan itu jadi berangkat ke Banyuwangi setelah mendapatkan alamat rumah dan nomor telepon Pak Esmiet.

Dengan kata lain, tradisi pemberian penghargaan akan secara serta-merta makin mendorong kesadaran akan betapa pentingnya data.

Pemberian penghargaan di tingkat kabupaten pada gilirannya tidak hanya berdampak positif bagi para penerima yang tentu akan merasa di-uwongke, merasa didukung, dan tentu saja merasa bangga—semacam doping spirit untuk semakin bergairah menjalani kehidupannya—melainkan juga akan menimbulkan rasa bangga pada kampung, desa, dan kecamatan asal mereka. Dalam konteks ini pemberian penghargaan dapat dipandang sebagai semacam sarana untuk melipatgandakan perkembangbiakan virus positif bagi segenap warga.

Demikianlah, perayaan HUT-RI maupun HUT-T, seyogyanya kita laksanakan dengan memperbanyak kegiatan, gelaran, yang lebih esensial dan bukannya sekadar sensasional.

Artikel Baru

Artikel Terkait