Mengapa saat musim kemarau banyak desa di Trenggalek mengalami kekeringan, sebaliknya ketika musim hujan tiba, desa-desa dan jalur menuju desanya berganti disambangi banjir dan tanah longsor? Tahun ini saja, melalui pemberitaan news.detik.com (Jumat, 3 Agustus & Rabu, 3 Oktober 2018), dari 10 desa yang kekeringan di bulan Agustus, dua bulan kemudian yakni di awal bulan Oktober, telah meningkat menjadi 42 desa, tersebar di 13 kecamatan dari total 14 kecamatan di Trenggalek. Tentu kita sudah jenuh terus menerus disuguhi jawaban skeptis, bahwa penebangan pohon kian masif tanpa laku reboisasi di titik-titik rawan kekeringan ataupun rawan longsor.
Faktanya, masyarakat yang mengakses sisa-sisa mason (belik) dan sumber-sumber air di desa-desa, yang dulunya dari satu sumber saja bisa menghidupi orang se-RT, tak lagi seleluasa ketika lingkungan belum berubah sedahsyat sekarang: di antaranya, berbagai jenis pohon yang punya daya serap air besar telah hilang dari hutan kita. Alih-alih, bisa mendapati air sumber mengalir lancar, kini ketika musim kemarau tiba, desa-desa di Trenggalek selalu ditimpa kekeringan. Bukan cuma desa-desa di lereng gunung, melainkan juga desa-desa di dataran: air tanah dari sumur-sumur warga menyusut.
Fakta ini memang bisa dijadikan indikator bahwa lingkungan memang telah berubah. Selain, sadar atau tak kita sadari, perilaku kita terhadap alam turut membuat air tanah menjadi langka. Perihal ini saya urai di paragraf-paragraf berikutnya.
Pemerintah tentu perlu memikirkan baik-baik tindakan macam apa yang harus dilakukan, untuk mengatasi kondisi yang selama ini terjadi di Trenggalek, terkait saat tiba musim kemarau atau musim hujan. Bagaimana pola anggaran dialokasikan dalam situasi-situasi tersebut?
Mestinya memang pemerintah sudah bersiap mengantisipasi situasi dan kondisi Trenggalek, selama musim kemarau yang kekeringan atau di saat musim hujan yang kebanjiran dan kelongsoran. Pemerintah daerah sebetulnya juga telah membuat rencana/agenda guna merespon kondisi tersebut: di antaranya, dengan pembangunan bendungan dan embung (cekungan penampung air), yang digunakan—selain untuk pertanian dan wisata—untuk mengantisipasi problem kekeringan saat musim kemarau.
Letak pembangunan bendungan, baik yang sudah dibangun seperti Bendungan Nglinggis (Tugu), maupun yang masih dalam perencanaan seperti Bendungan Bagong (di Kec. Bendungan) dan Bendungan Kampak (di Kec. Dongko), bisa dikatakan berada di wilayah-wilayah hulu (perbukitan/pegunungan). Begitu pula pembangunan embung, untuk menyebut sedikit di antaranya, seperti Embung Beji Maron di Gandusari, Embung Ngemplak di Ngadimulyo, Kampak, Embung Winong di Watulimo, Embung Tambong di Pule, Embung Wakelan di Dongko, Embung Tegaren serta Embung Prambon di Tugu, juga sedikit-banyak berada di wilayah-wilayah hulu.
Menurut dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2017-2037, kawasan rawan longsor di Trenggalek saat ini seluas 1.531,82 Ha, tersebar di wilayah Panggul, Munjungan, Watulimo, Kampak dan Bendungan. Sementara kawasan rawan banjirnya seluas 6.167,82 Ha (RTRW, 2018: hlm. 57). Kawasan rawan longsor di jalur antarkecamatan, setidaknya berada di titik-titik di sepanjang jalur Kampak-Munjungan, Tugu (Trenggalek)–Sawo (Ponorogo), Trenggalek-Panggul dan Trenggalek-Watulimo.
Selain sebagai penampung air untuk persiapan musim kemarau, Bendungan Nglinggis digagas untuk mengairi sawah di sekitarnya seluas 4.203 Ha, meliputi wilayah Kecamatan Tugu, Karangan, Pogalan, Gandusari dan Durenan (RTRW, 2018: hlm. 80). Kira-kira seberapa jauh daya dukung dan daya tampung lingkungan di sekitar jalan Tugu – Ponorogo, untuk pembangunan Bendungan Nglinggis ini? Sudah seberapa jauh analisa dampak dan risiko lingkungan di jalur lintas tersebut? Kenapa jalur ini terus-menerus mengalami longsor, hingga tak henti-henti menghambat akses para pengguna jalan: baik mereka yang hendak pergi ke Ponorogo atau mereka yang hendak ke Trenggalek lewat Ponorogo.
Pengelolaan Air Saat Musim Hujan
Bagaimana respon pemerintah Kabupaten Trenggalek pada dua kondisi di atas? Bagaimana air hujan yang jatuh di Trenggalek selama ini dikelola? Supaya tak menimbulkan banjir dan longsor, namun juga tak terbuang percuma (alias bisa berguna saat musim kemarau tiba). Saya sebagai bagian dari masyarakat, mencoba mencari jawaban sendiri.
Kita tahu, selain peremajaan hutan (reboisasi), termasuk hutan kota, dan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang idealitasnya mencapai 30 %, pembangunan waduk, bendungan, dan embung juga adalah sarana untuk menyimpan air. Dalam waduk raksasa, tentu ada pintu air yang dibendung dengan dam yang ukurannya menyesuaikan. Namun, waduk dibikin bukan cuma untuk membendung air sungai, melainkan juga bertujuan untuk menampung air hujan.
Ada beberapa persoalan penyebab daerah-daerah hilir mengalami kekeringan, selain karena perubahan lingkungan (daerah-daerah hijau makin susut, berbagai jenis pohon pelindung air hilang dari wilayah sekitar kita), kekeringan disebabkan juga oleh perilaku kita sendiri yang tak kita sadari, di antaranya, dengan menguras air tanah secara berlebihan (untuk mengairi sawah-sawah di daerah hilir) menggunakan sumur bor, juga perusakan daerah penampung air (untuk tujuan-tujuan kapital) di wilayah-wilayah karst oleh “para penambang”.
Saat saya bertanya ihwal bagaimana cara menangani (kebijakan apa yang harus diambil terhadap) masalah kekeringan di Trenggalek saat musim kemarau, seorang teman memberi jawaban: ekodrainase, di wilayah-wilayah hilir. Meski ia tak menjelaskan lebih lanjut konsep tersebut. Dan—seperti yang telah diutarakan olehnya—prinsip ekodrainase ini di Trenggalek sudah diterapkan, berupa sumur resapan, meski baru di kantor-kantor dinas. Pemerintah daerah belum menerapkannya secara massal. Secara ala kadarnya, saya akan membahas ekodrainase ini.
Umumnya saat kita kedatangan banjir, atau gelombang limpasan air hujan, kita sesegera mungkin membersihkan selokan dan got, supaya tumpahan air tak menggenang. Dengan begitu, air bisa secepatnya mengalir ke saluran-saluran, lalu bermuara ke sungai. Sebab banjir (air yang menggenang) sering disebabkan oleh saluran-saluran yang mampat dan tersumbat. Tindakan seperti ini termasuk, bagian dari sistem drainase konvensional.
Dan, sebetulnya kita punya satu pilihan lagi, yakni dengan menahan air limpasan, dengan tak terburu-buru mengalirkannya ke wilayah hilir. Yakni tindakan menahan air dan pengendali air hujan (air permukaan / air limpasan), dan mengelolanya agar tidak terlalu banyak menggenang di permukaan, sembari sebanyak mungkin meresapkannya ke pori-pori tanah. Sehingga pada saat musim kemarau, air yang diresapkan melalui sumur-sumur resapan atau yang sejenis, bisa mengatasi kekurangan air saat musim kemarau. Prinsip ekodrainase ini adalah bagian dari cara yang tidak konvensional.
Prosesnya mungkin agak sedikit ribet dan mesti terpadu mulai dari hulu, tengah, hingga ke hilir. Jadi intinya air tidak terburu-buru dialirkan ke badan-badan sungai, sehingga air hujan terbuang sia-sia. Tapi ketika musim kemarau tiba, suatu wilayah mengalami kekeringan yang menyengsarakan. Kita memberi kesempatan air untuk meresap sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Sehingga aliran air hujan tidak membebani sungai, yang akan meluapkannya di daerah hilir menjadi banjir.
Ini adalah pemahaman baru dari konsep ekohidraulik. Bagaimana air hujan diresapkan untuk meningkatkan kandungan air tanah. Selain sumur-sumur resapan, sebenarnya di sekitar kita telah ada kolam-kolam penampung alamiah yang berasal dari embung, telaga-telaga, rawa-rawa dan danau-danau kecil yang tidak boleh dimatikan. Jadi, kebijakan membuat embung yang pernah digulirkan di Trenggalek—yang merupakan terusan dari kebijakan Presiden Jokowi—salah satunya, berguna untuk menampung air hujan di wilayah hulu (yang sebagian berada di dataran tinggi), sebagai persiapan menghadapi musim kemarau panjang di bulan-bulan selanjutnya. Sementara model ekodrainase adalah salah satu tindakan/keputusan untuk wilayah-wilayah hilir (datar) di saat musim hujan.
Kita tahu, Trenggalek termasuk daerah dengan curah hujan cukup tinggi. Selain itu, kabupaten yang dikelilingi gunung ini, punya daerah hulu dan hilir untuk aliran sungainya. Rata-rata hulu sungai yang mengalir di kabupaten berada di dataran tinggi (pegunungan-perbukitan).
Maka, salah satu jawaban persoalan mengapa saat musim hujan kebanjiran dan pada saat musim kemarau kekeringan (dan ini sudah atau akan dilakukan pemerintah daerah)—terlepas dari dampak-dampak negatifnya—adalah pembangunan bendungan, embung, telaga dan seterusnya di wilayah-wilayah hulu. Sementara di daerah-daerah hilir bisa digunakan konsep ekodrainase: dengan model yang tidak normatif, di antaranya menggunakan sumur resapan, paving berlubang, teknik biopori dll, guna menjawab malapetaka kekeringan saat musim kemarau.
Adapun keputusan yang bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah, kalau bisa, dengan meminimalisir pengambilan air dari sumur bor di sawah-sawah, menghentikan perilaku perusakan lingkungan di area-area kars juga menghentikan penebangan pohon-pohon, terutama jenis pohon pelindung air (kapan mereboisasi hutan kita dengan pohon-pohon pelindung air?), dari di wilayah hulu hingga hilir.
Andai kebijakan pemerintah daerah tersebut terlaksana, dan perilaku destruktif dan predatorik masyarakat kita (termasuk perhutani) bisa agak sedikit ditahan, bahkan dikurangi, kemungkinan saat datang musim hujan, Trenggalek bisa meminimalisir bencana kebanjiran, dan longsor. Di samping, saat tiba musim kemarau, problem kekeringan juga lebih aman: bisa teratasi. Semoga.