Melihat Masa Depan Petani dari Warung Kopi

Mungkin hari ini kita khawatir dengan regenerasi petani. Yang khawatir dengan regenerasi petani bukanlah para petani sendiri, melainkan mereka yang bekerja bukan sebagai petani. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling sering dijadikan komoditas: di antaranya komoditas politik.

Saya mencatat, tahun 2017 lalu, ketika petani lokal berda pada musim panen, negara malah melakukan inpor beras. Dan tahun ini, kita juga di hebohkan dengan wacana impor beras yang ditolak oleh Pak Budi Waseso selaku pihak dari Bulog. Hari-hari ini banyak dari petani kita yang sedang berada pada musim panen, salah satunya di wilayah Trenggalek.

Tidak salah jika para petani, menginginkan anaknya bekerja bukan sebagai petani. Saya menemui Pak Muajir, beliau menuturkan “ lek isa aja sampek dadi petani, cukup bapake karo ibuke ae seng ngrekasa (kalau bisa jangan sampai jadi petani [anaknya], cukup bapak sama ibuknya aja yang kerja keras).  Alasan seperti itu lazim kita jumpai. Bukan tanpa alasan jika sektor pertanian dianggap memang bukan sektor yang menjanjikan secara finansial.

Profesi sebagai petani dianggap bukan profesi yang menjanjikan di tengah melejitnya kebutuhan, gaya hidup yang tinggi, apalagi untuk menjamin masa depan: pendidikan, karier, cicilan rumah. Bekerja di sektor industri seperti di Surabaya, Sidoarjo, Jakarta, menjadi pilihan yang rasional dan lebih menarik. Para pemuda desa berbondong-bondong meninggalkan desa karena menganggap tidak ada lagi penghidupan layak di dalamnya.

Selain masalah finansial, profesi petani dalam struktur masyarakat kita berada di kelas bawah. Bahkan lebih jauh di bawah profesi abdi negara: Polisi, TNI, PNS, tenaga medis, bahkan profesi jadi pengusaha pun berada di bawah profesi abdi negara. Masalah citra dan kelas sosial di masyarakat ini bisa menjadi penyebabnya. Petani yang identik dengan kemiskinan dan tertinggal, atau biasa disebut ndesa, kampungan, menjadi salah satu penyebabnya.

Lima tahun silam, yakni tahun 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) menerbitkan sensus pertanian, memperlihatkan fakta yang mencengangkan. Dari 27 juta petani di Indonesia, 65, 15 % berada pada usia lebih dari 45 tahun; 25,31% berada pada usia 35-45 tahun; 9,5% berada pada usia kurang dari 35 Tahun. Selain itu, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin enggan pula meneruskan usaha orangtua, yakni bertani. Tidak heran jika rata-rata pendidikan petani kita lulusan SD (CNN Indonesia, 12 Mei 2018).

Seperti itulah kondisi petani kita, mulai masalah permodalan, kepemilikan lahan, kebijakan yang kurang berpihak kepada petani: pupuk, bibit, bantuan obat-obatan, subsidi pertanian, pendidikan petani, dan minimnya minat pemuda dalam usaha tani. Kita tidak bisa menyalahkan pemuda dan mahasiswa lulusan pertanian. Pada dasarnya mereka adalah individu yang rasional dan mencari penghidupan yang lebih baik.

Oke, kita sudah terlalu panjang ngomong masalah sektor pertanian, yang merupakan isi dari obrolan di warung kopi, sampai lupa akan judul warung kopinya.

Dengan kondisi sekarang ini, lantas kita bertanya masih adakah anak muda yang berminat menjadi petani?

Inovasi Berbasis Ilmu dan Teknologi

Saat ini, diperlukan mekanisasi dan adaptasi dengan teknologi pertanian. Mekanisasi mulai alat penanaman sampai pengeringan perlu dilakukan untuk meminimalisir ongkos pertanian. Mulai dari traktor, penanam, pemanen, sampai mesin pengeringan. Tentu dengan memanfaatkan mesin modern dapat meningkatkan laba petani

Yang tak kalah penting adalah kemampuan memanfaatkan teknologi digital. Saat ini, sebagian besar masyarakat perdesaan baik tua maupun muda sudah terhubung dengan internet dan mempunyai smartphone. Daripada menggunakan media sosal untuk membuat status yang mengumbar aib kehidupan rumah tangga, alangkah lebih baik memanfaatkan website dan media sosial. Dengan medsos petani dapat menjual hasil pertanian langsung kepada distributor atau pengecer, tanpa melalui tengkulak. Maka petani dapat menjual harga jual yang lebih tinggi, dan pembeli dapat harga yang murah.

Selain itu, diperlukan kerja sama petani, baik dengan Perguruan Tinggi atau balai penelitian dan pengembangan pertanian. Hal tersebut perlu, dengan mengadopsi sistem pertanian modern, petani dapat menciptakan bibit sendiri, tanpa tergantung dengan produsen bibit. Selain itu, dapat dijual kepada petani lain. Untuk mencapai ini, maka perlu adanya penelitian.

Masa Depan di Warung Kopi

Maraknya kedai kopi dan angkringan, baik di Trenggalek maupun di wilayah lain, kalau tidak percaya coba hitung berapa kedai kopi dan angkringan di wilayah Anda? Ngopi saat ini menjadi budaya dan gaya hidup di kalangan masyarakat kita. Sering kita menjumpai kata-kata, “jaken ngopi-ngopi ben aja sepaneng (istilah anak muda mengajak dialog/ tabayun misal ada masalah)”.

Konsumsi kopi meningkat pesat tanpa diikuti dengan produksi biji kopi yang mencukupi. Dunia ke depan diperkirakan akan mengalami defisit kopi. Masalah ini harus secepatnya dibaca oleh para petani kita sebagai sebuah peluang yang menjanjikan.

Kini di beberapa daerah seperti Malang, makin banyak anak muda yang berpendidikan tinggi mau pulang ke kampung halamannya untuk memproduksi kopi. Pengetahuan tentang jenis kopi: benih, kualitas, cara pengololaan, harga, cara penjualan dan cara pengemasan yang kekinian, mendorong mereka serius menggarap sektor pertanian kopi ini.

Hasilnya menggiurkan. Ada yang menjual biji kopi ke kedai kopi kota besar, ada yang mengolah kopi dengan kualitas premium untuk ekspor, ada juga yang mendirikan kedai kopi dari hasil kebunnya sendiri.

Kopi Dampit, Kopi Sendang Biru, Kopi Sido Mulya adalah merek kopi lokal Malang yang mulai mendunia. Alangkah baiknya kita sebagai warga Trenggalek dengan berbagai varian kopi mulai arabika, kopi gedhe, kopi ciliknya (belum tahu namanya), melihat sektor pertanian kopi juga. Dengan banyaknya kedai kopi dan harga kopi yang murah di kalangan petani kopi Trenggalek. Secara pribadi saya adalah pecinta kopi lokal Trenggalek yang diproduksi oleh ibu saya sendiri.

Maka, jelas untuk merebut peluang dan mengembalikan kejayaan sektor industri pertanian, mutlak kuasai ilmunya, kuasai teknologinya. Mereka yang menguasai keduanya akan sukses dalam industri pertanian. “Jayalah Petani Indonesia!”

Artikel Baru

Artikel Terkait