Sore itu pantai pasir putih tampak tenang. Mentari menjauh ke arah barat hingga tertutup gugusan Gunung Kumbokarno. Hanya bias cahayanya yang masih menerobos di antara rindang pepohonan. Ia membias ke seluruh pantai hingga menampakkan semburat kuning seakan buah mangga yang mulai ranum. Ombak tak lagi liar menyapu pasir pantai. Laut mulai surut bersama redupnya cahaya matahari.
Aku sengaja datang ke pantai itu untuk menikmati sore hari. Jika beruntung, akan kudapati keindahan matahari terbenam perlahan di antara gunung yang bertengger di kejauhan. Mungkin pemandangan semacam itu tak akan pernah berubah hingga kiamat datang. Manusia tidak punya kuasa untuk mengubah perjalanan matahari.
Pepohonan kelapa yang dulu pernah menghiasi pantai pasir putih sudah tidak sebanyak dulu. Pun dengan lingkungan sekitar bibir pantai. Semua berubah dengan cepat.
Aku berjalan perlahan menyusuri bibir pantai dari arah barat. Sesekali terhenti untuk memungut rumah kerang yang terdampar. Sesekali mengejar kepiting pantai yang menampakkan diri dan berlari cepat. Mungkin menyadari keberadaanku dan memilih untuk segera kabur menuju tempat persembunyiannya. Masuk ke lubang pasir yang pernah ia gali untuk menghindar dari kejaranku.
Setengah jam aku tertahan di pantai, berharap apa yang kunantikan segera datang. Memang kesengajaaku datang ke pasir putih bukan hanya untuk menikmati tenggelamnya matahari. Beberapa hari lalu, kawanku SMA menghubungi dan mengatakan keinginannya untuk menceritakan sesuatu. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang sesuatu yang dimaksud. Mungkin ia sengaja merahasiakan hingga bertemu denganku secara langsung. Meski penasaran, aku juga tidak berniat menanyainya langsung. Kupikir, pada saatnya akan mendengarkan cerita itu langsung darinya.
“Tempat tinggalku akan segera berubah, Gus,” katanya beberapa waktu kemudian ketika kami bertemu di warung kopi dekat alun-alun Trenggalek. Aku hanya diam sambil menyeruput kopi yang baru datang.
“Pemerintah telah merencanakan pembangunan pelabuhan perintis di dekat rumahku. Tentu kamu tahu artinya apa,” ia melanjutkan ocehannya sambil ikut mengambil cangkir kopi yang ada di depannya. Aku tetap terdiam, mendengarkan lanjutan ceritanya.
“Hari ini aku baru membaca di media online, tahun 2018 ini, pemerintah memulai pembangunan pelabuhan itu. Ternyata apa yang telah kami suarakan beberapa waktu lalu, tidak benar-benar didengar, padahal perwakilan DPR yang datang saat itu menyepakati penolakan warga, begitu juga dengan Wakil Bupati.”
“Apa kemarin kamu ikut berdemo di pendopo kabupaten?” Tanyaku padanya saat ada jeda pada ucapannya. Kutawarkan sebatang rokok padanya serta kunyalan pemantik api. Ia mendorong wajahnya mendekati nyala api, dengan sebatang rokok di mulutnya. Ia mulai menghisap rokok yang baru saja menyala. Asap pertama ia hembuskan dari mulut sembari melanjutkan cerita.
“Ya, aku salah satu di antara orang-orang yang berteriak di depan pendopo waktu itu. Aku terlalu bersemangat untuk ikut menolak pelabuhan perintis karena takut pembangunan itu mengubah segalanya. Keluargaku, tetanggaku dan beberapa ratus warga di sana mengandalkan laut untuk mencari penghidupan. Kami menganggap ikan-ikan akan menjauh ketika kapal-kapal besar mulai berdatangan. Apakah pemerintah tidak berpikir sejauh itu?” Ia mulai bersemangat.
Aku mengingat-ingat apa yang pernah kami obrolkan. Ia memang anak laut, hampir setiap hari berkawan dengan laut untuk memburu ikan. Sedari lulus SMA, ia hanya berkeinginan untuk melanjutkan perjuangan bapaknya di laut.
Pernah suatu ketika ia membawakan sekantung plastik besar ikan hasil tangkapannya. Yang saya tahu, ia begitu mencintai laut, yang selalu memberikannya kehidupan. Setiap hari Tuhan menyebarkan benih-benih ikan di lautan, sebagian ikan terseret di Teluk Prigi untuk kami tangkap. Begitu ucapnya setiap kali kami bertemu.
Kuperiksa jam tangan yang terikat di tangan kiri. Kuseka pasir putih yang sedikit mengotori kaca pelindungnya. “Ah ternyata engkau sudah mulai kusam,” batinku kepada jam tangan merk seiko yang kubeli beberapa tahun lalu, saat pertama kali mendapat bayaran dari kerja serabutanku. Jam 5 kurang 12 menit. Aku mulai khawatir dia tidak jadi datang menemuiku. Kusapukan pandangan ke arah utara. Berharap ia muncul dari belokan jalan raya yang mulai sepi.
“Guuuuus!” Sayup-sayup terdengar pangilan dari suara yang sudah kukenali. Aku yakin itu dia. Suara itu datang dari sebelah timur. Samar-samar kulihat seseorang berjalan mendekat. Dari tempatku berdiri, tidak terlihat jelas wajahnya. Hanya saja aku meyakini bahwa itu dia. Aku masih terdiam tidak menjawab panggilannya.
Aku terkesiap ketika tiba-tiba, dari arah laut yang semula tenang, ombak setinggi dua meter dengan cepat menuju daratan. Ini bukan sesuatu yang biasa terjadi. Kuusap mata dengan kedua tangan untuk memastikan bahwa itu hanyalah gangguan penglihatan. Namun seusai jari-jemari berhenti mengusap mata, ombak itu masih tetap ada.
Tsunami, pikirku. Tapi kawanku sepertinya tidak menyadari kedatangan ombak itu. Memang ia berjalan membelakangi pantai sehingga sangat wajar jika ia tidak tahu. Aku menjadi sangat khawatir, jika ia tidak segera pergi dari sana, akan diterjang ombak dua meter. Ia bisa saja terhempas dan terseret arus.
“Kooo…, ekooooooo, enek ombak koooooo, mlayuoooooo…” Teriakku padanya. Teriakanku seperti tak didengarnya. Ia tetap berjalan dengan santai. Menyadari saya merespon panggilan pertamanya, ia hanya melambaikan tangan.
“Ekoooooooo… ngalihooooooo. Enek ombaaaaak. Ekooooooooooooo…!”
Ia benar-benar terhempas, saya menyaksikan dengan mata kepada sendiri. Ombak setinggi rumah menerjangnya, menggulung tubuhnya. Saya melihatnya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Seakan ada paku kuat yang menancap di kedua kakiku.
“Ekooooooooo..,, Ekooooooooo..” Aku terhuyung kemudian terjatuh. Lunglai tanpa kuasa. Perhatianku pada kawanku ternyata mengacuhkanku pada keadaan serupa, ombak itu juga menyambangiku. Lari cepat barangkali bisa menyelamatakan. Lima hingga tujuh kali langkah, ombak tetap memeburu. Aku hanya pasrah, menunggu ombak tinggal menggulungku.
Byur,, sreeet, aku terkejut dan segera berdiri. Kulihat istriku berada di depan dengan membawa gayung berisi air. Nafasku masih terenggah-enggah. Mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Istriku masih mematung di depanku, di bibirnya tersungging senyum penuh peduli. Namun seketika ia angat bicara. “Makane lek arep bobok iki aja ndiloki video masok pak Eko. Maleh ngono iki, masok Pak Ekoooo!”
Aku terkekeh dengan ucapannya.