Hampir setiap tiba musim panen, minimal setahun sekali, saya bersama mbokde—saudara emak saya—serta beberapa saudara lain, pergi memetik cengkih ke alas (ladang) di punggung bukit. Kebun cengkih kami terletak di sebuah lereng perbukitan Desa Tawing. Selepas penghabisan jalan Dusun Gemiring yang bercecabang, yang makin ke ujung makin mengecil, jalur menuju kebun cengkih mulai berganti jalanan setapak. Naik menyisir gigir bukit dan membelahnya.
Jalan setapak ini makin ke atas naik tajam. Kadang-kadang sepeda motor dengan roda bergerigi, milik para peladang, bisa ditunggangi hingga ke puncak. Pada bagian-bagian tertentu dari jalanan setapak tersebut, tampak bekas erosi air hujan sehingga tidak rata. Tergurat dalam dan membuat jalanan makin licin kala hujan malam harinya.
Biasanya kami berangkat pagi-pagi sekali—sembari menenteng bekal serta berbagai perlengkapan—dan pulang sore hari. Ada beberapa saudara yang lebih dulu sampai di sana, lebih dahulu ada di pohon memetik cengkih, sebelum kami tiba.
Dengan wadah karung dan sejenis cilah atau alat bertangkai untuk menggapai ranting cengkih di tempat-tempat yang jauh, mereka bergelantungan di pohon hingga ke pucuk-pucuk yang sulit. Biasanya mendekati puncak pohon, dipasang palang-palang bambu yang diikat secara kuat. Sementara kami menunggu di bawah sambil mengumpulkan buah cengkih yang jatuh berserak.
Di kebun kami yang terletak di lereng bukit miring, dengan lantai berundak, terdapat belasan pohon. Pohon ini ditanam dari undakan paling bawah hingga paling atas. Di tiap tangga sekurangnya sekitar 4-5 buah pohon. Mungkin sekitar lebih 20 pohon cengkih yang kami punya waktu itu. Mayoritas pohon merimbun lebat dengan buah cengkih yang sudah siap panen. Meski ada satu dua yang tidak berbuah. Dan di bawah pohon, daun-daun kering berjatuhan menebal.
Ketika datang musim panen bisa dipastikan hampir setiap hari selama sekitar satu atau dua minggu, kami pergi ke ladang, kadang baru pulang mendekati magrib. Dengan membawa satu-dua karung penuh cengkih. Malam harinya dibantu tetangga, kami mengadakan acara rutin pithil cengkih.
***
Saya kurang tahu kapan tepatnya cengkih mulai dibudidayakan di Trenggalek? Yang jelas di Trenggalek, cengkih bukan pohon endemik. Pohon cengkih dibawa oleh Bupati Soetran. Waktu saya kecil, Munjungan, dan Trenggalek umumnya, sudah dikenal sebagai sentra penghasil cengkih. Ya, dari banyak sumber mengatakan bahwa yang pertama kali membibit pohon ini adalah Pak Soetran. Tapi di mana lokasi pertama kali dibudidayakan? Saya tidak tahu. Bisa jadi ditanam secara merata di setiap kecamatan, terutama di wilayah-wilayah kecamatan pegunungan.
Pernah ada peristiwa tak mengenakkan terkait tanaman ini di masa Orde Baru. Banyak petani memotong pohon cengkih karena terkena kebijakan BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkih). Badan ini bergerak dengan tujuan menyetabilisasi harga cengkih. Kita tahu, itu bahasa politik penguasa (Tommy Seoharto). Sebab di lapangan, BPPC justru bergerak untuk memonopoli perdagangan. Warga diharuskan menjual cengkih ke BPPC, yang di desa-desa diwakili oleh KUD setempat, sekaligus sebagai tempat transaksi.
Begitu pula, pabrik-pabrik cengkih juga tidak boleh membeli cengkih langsung ke petani, melainkan harus melalui BPPC. Standar harga yang diberikan BPPC untuk para petani cengkih begitu sangat murah dan mencekik tenggorokan. Di situ, petani tidak bisa menjual cengkihnya mana suka. Karena harga cengkih yang sudah distandarisasi (dimonopoli) inilah, banyak warga masyarakat Trenggalek yang memotong pohon cengkihnya, dan diganti pohon yang lebih menjanjikan. Ini belum persoalan, bahwa saat itu kebun-kebun cengkih juga diserbu hama, yang dikenal dengan BPKC (Bakteri Pembuluh Kayu Cengkih).
Sekitar 8 tahun lalu, kurang lebih sekitar tahun 2012-an, lahan-lahan perkebunan cengkih di Trenggalek sempat mengalami penyusutan hingga ribuan hektar. Berkurangnya luasan lahan dari tahun ke tahun itu, lagi-lagi disebabkan serangan hama pohon cengkih (BPKC). Serangan bakteri ini kira-kira sudah berlangsung kurun 20 tahun terakhir atau mungkin lebih.
Berdasarkan laporan Lensa Indonesia tahun 2012, pada era sekitar tahun 1990, luas lahan perkebunan cengkih sempat mencapai 6.500 hektar lebih. Data tersebut saat itu diperoleh dari Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (PKP), Trenggalek. Namun karena serangan hama BPKC, area pertanian cengkih, khususnya di daerah pesisir selatan, mengalami penyusutan hingga kisaran 1.900 hektar. Bakteri tersebut memang telah lama menjadi momok.
Menurut Joko Surono, kepala dinas PKP waktu itu, sebagaimana saya kutip dari laporan Lensa Indonesia (4/8/2012), luas area perkebunan cengkih di Trenggalek hingga periode Juni 2012 tercatat sekitar 4.600 hektar. Tersebar di daerah dataran tinggi, pegunungan serta perbukitan.
Saya tidak tahu apa tanaman unggulan di Trenggalek umumnya, saat cengkih belum dikenalkan di era Soetran? Apakah ketela pohon (gaplek). Saya sebetulnya ingin tahu bagaimana adaptasi masyarakat awal ketika pertama kali cengkih dikenalkan di Trenggalek. Sebab, kata Kuntowijoyo, semua unsur-unsur baru yang masuk ke desa, pastinya ada proses akulturasi dan adaptasi. Bukan hanya kebudayaan dan teknologi, tapi juga tanaman-tanaman baru (Metodologi Sejarah. Hlm. 89).
Dengan adanya tanaman baru, mereka akan berkenalan dan kalau menerima akan beradaptasi: belajar mengenal tanaman baru tersebut, minimal tentang bagaimana cara menanam, merawat, memanen, mendistribusikan sekaligus pemanfaatannya. Bahkan nilai-nilai akan berubah dengan perubahan bidang sosial-ekonomi ini, termasuk saat sosialisasi tanaman pertanian/perkebunan baru.
Ketika masih sering di Munjungan, dulu saat panen raya, ekonomi masyarakat akan naik: daya beli mereka meningkat. Banyak orang membeli sepeda motor, baju bahkan mobil baru. Para petani yang memiliki ladang cengkih luas saat musim panen, tiba-tiba berjajar di rumah mereka motor baru dan pakaian bagus. Dengan harga cengkih yang stabil, daya beli masyarakat menjadi kuat. Tokoh-toko baju, toko kelontong yang menjual kebutuhan pokok, dan ekonomi di desa secara umum menjadi bergeliat.
Beberapa bulan ini, cengkih di Trenggalek juga sedang panen raya, tapi pohon cengkih sekarang tak lagi seperkasa zaman dulu. Lagi pula kebanyakan cengkih di Munjungan, mungkin juga di kecamatan lain, mayoritas adalah pohon tua, yang tak lagi bisa berbuah sebanyak saat masih muda. Ditambah harga jual yang tak menentu. Ada sebagian petani berniat menebang pohon-pohon cengkih, alasannya bukan lagi karena monopoli, melainkan kisah cengkih memang sudah tidak lagi semenarik zaman dulu.