Di tengah situasi dunia yang dihantam wabah—yang tidak tahu kelak bakal berakhir seperti apa—tak mungkin kita setiap hari terus merenunginya di sela jeda aktivitas dan kerja. Merenungi hanya dengan jawaban-jawaban spekulatif bebas pikiran kita sendiri. Meski, dengan dibayangi rasa khawatir, kita punya bekal yang baik, seperti dengan banyak membaca dan up date berita—setidaknya biar tak kemakan hoax.
Tak ada salahnya terbengong-bengong sendirian sembari berteori mengenai, akan seperti apa manusia ke depan dalam situasi pandemi, untuk mengisi waktu senggang dan rasa bosan. Tapi kita juga kan punya pekerjaan-pekerjaan harian, yang harus disusun ulang dan dirampungkan. Seperti mencuci baju-celana di belakang rumah, agar tidak kian menumpuk dirubung nyamuk.
Wabah ini seperti tak pernah terasa sebegitu berat seperti di zaman-zaman lampau, meski kita juga tidak tahu wabah zaman dulu menggembleng manusia seperti apa dan menjadi apa: beban manusia yang pernah ditimpa wabah dari zaman berbeda, dengan jenis yang juga berbeda. Seperti wabah pes yang puluhan tahun lalu ikut-ikut mampir ke Jawa, atau wabah lain yang juga pernah menghajar negeri kita.
Sebagai masyarakat, kita hanya bisa jaga diri dan menunggu dan terus menunggu, tak tahu harus berbuat apa. Karena kita tak pernah punya kuasa untuk menyarankan semua orang, hanya pada keluarga, saudara, teman dekat dan tetangga. Kita juga harus menunggu kerja pemerintah kita, meski menteri kesehatannya berkualitas tak jauh beda dengan kepala dinas sebuah kabupaten tertinggal. Dan karena wabah ini, prestasi negara kita yang terbaru adalah diblokir banyak negara.
Saya tiba-tiba membayangkan, andai manusia hingga di masa kini tak mengenal moda transportasi yang maju, katakanlah moda transportasi yang ditemukan manusia berhenti hanya pada sepeda onthel, maka ruang akan kian terasa longgar. Dan bepergian ke tetangga kota akan terasa jauh sekali. Tidak hanya ke kota-kota tetangga, bahkan ke kecamatan tetangga saja akan terasa begitu jauh. Karena cuma dipancal menggunakan sepeda onthel. Apalagi kalau cuma jalan kaki. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Sebab, penemuan teknologi sedari dulu tak pernah berhenti, dan angan-angan saya yang konyol ini, meremehkan kemampuan anugerah Tuhan untuk manusia.
Membayangkan cara orang zaman dulu bepergian, misalnya seperti cerita almarhum kakek saya, yang jalan kaki dari Munjungan ke Kampak (kecamatan tetangga) dengan kontur jalan pegunungan, sembari memikul beban di pundak. Berangkat pagi pulang sore. Padahal di zaman sekarang, Munjungan-Kampak bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang satu jam menggunakan sepeda motor atau satu jam lebih menggunakan moda mobil angkutan atau mobil pribadi.
Tapi barangkali dengan begitu, moda transportasi tak segigantik dan semodern sekarang, dan penyakit tak mudah ditularkan ke komunitas lain; ke negara-negara lain. Meski kesulitan-kesulitan manusia dalam berhubungan dan mengakses kebutuhannya akan makin tajam. Dengan jarangnya orang bepergian, maka penyakit-penyakit yang dipantik virus-virus membahayakan akan semakin kecil ditularkan ke tempat lain; dari satu benua ke benua lain.
Ya, salah satu penyebab kenapa virus bisa dengan mudah tersebar ke seluruh pelosok dunia adalah karena teknologi transportasi yang makin melesat dan cepat. Dan manusia makin mudah menjangkau seluruh kawasan dunia hingga pojokan-pojokannya.
Manusia kini tentu sudah tidak ada lagi yang hidup sendirian di tengah hutan atau goa. Semua manusia kini sudah berkoloni (membangun peradaban) dan terhubung satu sama lain meski berbeda bangsa dan warna kulit.
Dengan transportasi yang sederhana, seperti hanya menggunakan sepeda onthel, tidak bisa dibayanglan pula bagaimana kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia dalam menangani kebutuhannya. Manusia akan semakin susah menyebar ke seluruh dunia; akses manusia satu dengan manusia lain dan pertukaran-pertukaran pengetahuan dan kebutuhannya semakin sukar dilakukan.
Tapi untungnya kemajuan telah diramalkan jauh-jauh melalui mulut Melquiades, si tokoh gipsy dalam lembar-lembar awal novel Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marquez: ”Ilmu pengetahuan telah melenyapkan jarak,” katanya. ”Dalam waktu dekat orang akan mampu melihat apa yang terjadi di manapun di dunia ini tanpa meninggalkan rumahnya,” lanjut perempuan ajaib tersebut.
Dan saya kira ungkapan Melquiades benar adanya, bahwa semakin canggih pengetahuan (manusia), maka jarak pun akhirnya jadi terpengaruh. Jarak yang ”demikian jauh” bisa dilipat. Dengan pengetahuan (teknologi), jarak menjadi (bisa) direlatifkan, atau diperpendek. Manusia tak lagi merasa dikejar waktu, ia bisa lari bersama waktu atau seolah melampauinya dengan kecepatan tertentu. Sedikit agak berbeda dengan pengertian ”waktu” yang telah dibangun oleh nenek moyang manusia dari masa silam.
Yang pasti, saat ini, ilmu pengetahuan memang telah melenyapkan jarak.
Sebetulnya manusia itu, kata seorang profesor di sebuah kampus negeri di Malang, adalah makhluk yang secara ukuran berada di tengah-tengah ukuran makhluk di jagat raya. Manusia akan menjadi terlalu besar untuk mengalami dunia planet-planet dan benda-benda langit gigantik di jagat raya. Namun ia juga terlampau kecil untuk mengalami kehidupan makhluk mikroorganisme bersel satu seperti mikroba, virus, bakteri dan jenis-jenis mikroorganisme lainnya.
Karena manusia berada di tengah-tengah, sebetulnya dengan sains dan kemampuan alam pikirannya, manusia bisa mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan teknologi. Ia pada akhirnya, kendati tak secara langsung, bisa mengalami dunia planet-planet dengan menciptakan pesawat tak berawak yang bisa menjelajahi angkasa semesta dan yang masih akan berkembang. Begitu pula dunia mikroorganisme bisa dialaminya meski tidak secara langsung, yaitu melalui alat mikroskopik. Dengan kecanggihan alat-alat yang diciptakan oleh manusia sejak zaman dulu itu, kita percaya dan yakin saja meski belum tahu kapan waktunya, manusia juga bakal bisa mengatasi wabah Corona ini. Amin.