Perubahan Lingkungan serta Bagaimana Hewan-Tumbuhan Bekerja Mendeteksi Limbah dan Polusi

Kalau boleh saya berbagi kegelisahan mengenai lingkungan, betapa cepat ia mengalami kerusakan. Kita bisa menyaksikan secara langsung tanda-tandanya. Betapa di sungai—lokasi yang hampir setiap waktu kita kunjungi, sekadar berpapasan saat melintasi jembatan atau ketika menunaikan hajat karena tak punya jamban—ragam spesies ikan di sana kini komposisinya semakin berkurang. Dan hanya menyisakan beberapa yang masih kuat bertahan.

Di petak-petak persawahan kondisinya tidak jauh berbeda. Ekosistem sawah seperti keong sawah sudah cukup lama didesak keong berwarna kuning, yang saking banyaknya sekarang berubah menjadi hama. Belut kendati masih ada, komposisinya juga semakin menurun.

Barangkali mulanya tidak kuat menghadapi masifnya penyetruman berkala, lalu pestisida dan yang lainnya. Ekosistem persawahan yang lain pun di ambang kepunahan. Terdampak pestisida yang digunakan petani, juga penggunaan zat-zat lain yang meracuni tanah dan tumbuhan di sawah. Agresivitas manusia terhadap lingkungan seperti sedikitnya fenomena di sungai dan di sawah itu, sadar atau tak kita sadari, turut membuat lingkungan di desa kian cepat terdegradasi. Kontribusi buruk kita terhadap lingkungan bisa berupa tindakan sekecil mencari ikan dengan cara-cara yang tidak baik bagi keberlangsungan hidup bibit ikan.

Meski kita semua masih tak paham penyebab sebenarnya hilangnya berbagai jenis ikan di sungai dan beberapa makhluk penting di lahan persawahan. Tapi “alarm” bahwa lingkungan kita, dari segi daya dukung dan daya tampungnya, kian menurun, sudah tak bisa dipungkiri.

Hari ini kita juga sudah menyaksikan, semua petak persawahan memiliki sumur bor dan mesin pompanya sendiri-sendiri. Padahal, dalam ingatan masa kecil di Desa Munjungan misalnya, para petani di desa, lahan-lahan persawahannya mendapatkan pasokan air satu-satunya dari selokan/kalen dan sungai.

Masa kecil saya banyak diisi dengan kenangan dan ingatan yang membahagiakan akan keberadaan sungai, kalen juga petak-petak persawahan. Saat banjir surut di musim penghujan, saya sering diajak nenek untuk hirek-hirek: istilah mencari ikan menggunakan cikrak. Berjalan pelan-pelan ke hulu sungai melawan arus dari tepian. Jenis ikan di sungai waktu itu masih begitu melimpah. Dan, katakanlah setelah 23 tahun lamanya, tidak lagi saya temui isi sungai persis seperti kondisi puluhan tahun lalu.

Di musim kemarau, saya sering diajak pak lek memancing di sungai; kadang oleh sepupu diajak ngeder (menjaring ikan) dan pulang dengan membawa se-kepis besar ikan. Saat mancing, kami mendapatkan ikan walangan atau ikan-ikan besar lain. Saat ngeder kami mendapatkan ikan belanak, ikan tawes, dan berbagai jenis lain yang saat itu menghuni sungai-sungai besar di Munjungan.

Kala itu perusakan sungai belum sedahsyat sekarang. Jauh sebelum pestisida menjadi beranekaragam. Dan, jauh sebelum ada isu tambang.

Daerah Trenggalek yang secara topografi bergunung-gunung dan berbukit-bukit pun tak dapat menjamin airnya melimpah dan bisa digunakan untuk mengairi sawah. Sebaliknya, limpahan air menyebabkan banjir, dan topografi wilayah tak sanggup menampung air hujan, yang berguna untuk kebutuhan mengairi sawah dan mengaliri bak-bak mandi di desa. Persawahannya sudah lama mengandalkan sumur bor. Anomalinya, saat tiba musim hujan Trenggalek juga harus bersiap dilanda banjir dan longsor. Karena perubahan vegetasi, baik ditebangi maupun dibabat untuk diganti dengan tanaman komoditas (monokultur) yang secara ekonomis lebih menjanjikan.

Mengamati fenomena perubahan alam di desa dan di sekitar kita yang begitu cepat, pada akhirnya kita berpikir: tidak ada tambang saja betapa cepat alam terdegradasi, bagaimana andai kegiatan ekstraktif pertambangan emas terealisasi?

Saya tak bisa membayangkan kalau tambang berhasil mengeksploitasi hulu-hulu penting di hutan Trenggalek, yang menjadi sumber utama kebutuhan pokok masyarakat terhadap air, dan menjadi tempat-tempat persemaian kawasan hijau di Trenggalek. Yang pada lokasi di hilirnya digunakan untuk berbagai keperluan manusia memperpanjang kelangsungan hidupnya.

Keberadaan tambang yang mengeksploitasi perut bumi sudah pasti akan mengubah pola geologis lempeng-lempeng bumi dan menggeser posisi sesar-sesar aktif di perut bumi. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan gunung-gunung di Trenggalek akan lebih sering bergerak dan menimbulkan makin banyak longsor. Tanah-tanah permukaan yang dibuka akan mengubah daya dukung vegetasi, sementara limbah-limbah yang dibuang melalui tailing, akan meracuni kesuburan tanah, dan berefek pada tumbuhan dan hewan yang hidup di sekitarnya, dan pada akhirnya berefek ke manusia.

Masyarakat di desa mungkin belum berpikir sejauh itu, karena mereka memang belum pernah mengalami terkena limbah tambang yang bisa mematikan kehidupan di wilayah hilir dan mengubah kondisi di masa depan.

Sungai di Desa Prambon, di suatu pagi
Sungai di Desa Prambon, pada suatu pagi/Foto: Wahyu AO – nggalek.co

Hewan-Tumbuhan Pendeteksi Limbah dan Polusi

George Junus Aditjondro (2003) mengatakan, untuk mengamati tingkat pencemaran air sungai, paling gampang adalah dengan memonitor kehidupan, tingkah laku dan jenis-jenis ikan yang ada dalam perairan sungai tersebut. Di sungai, setidaknya terdapat dua bentuk kehidupan: dari jenis flora dan fauna. Berbeda dengan rumput air atau ganggang, ikan dapat “bereaksi” terhadap pengotoran air.

Akibat perubahan lingkungan, ada jenis yang menghilang, entah ke alam baka atau minggat ke perairan lain yang lebih bersih. Ada pula yang mampu bertahan, namun dengan melakukan adaptasi, bahkan hingga tingkat ekstrem, dengan perubahan sifat dan bentuk (bermutasi), sampai cucu-cucunya. Masih menurut Adijtondro, jenis-jenis ikan yang tak tahan terhadap polusi di antaranya adalah ikan belanak, ikan tawes, dan ikan wader (hlm 45).

Masa kecil saya, kerap diajak ngeder kakak sepupu mencari ikan belanak yang masih begitu melimpah di sungai Munjungan. Sekarang sepertinya sudah tak terdeteksi. Ikan tawes, secara bentuk dan tampilan sisik-nya hampir mirip ikan wader, dengan ukuran yang lebih besar. Ikan belanak sama-sama berwarna putih tapi dengan postur agak lebih besar dari ikan tawes ataupun wader, ditambah lebih lonjong. Selain dua ikan tersebut, zaman dulu juga ada ikan walangan yang bentuknya mirip ikan perengan (ikan karang) di laut. Saya tidak tahu sekarang masih ada apa sudah hilang.

Sementara ikan yang sedikit lebih tahan dan biasanya ketika menghadapi situasi buruk bermutasi, adalah ikan lele, ikan gabus (kuthuk), ikan sepat, dan belut. Selain ikan, satwa-satwa lain yang mungkin bisa hijrah saat situasi kritis adalah udang, ketam, katak, siput, dan kadal. Dengan berkurangnya hewan-hewan yang terakhir itu, juga bisa membuat nyamuk, terutama saat tiba musim kemarau, berkembang berlipat ganda karena tiadanya pemangsa (hlm 46-47).

Di negara Jepang, bunga-bunga juga bisa dijadikan alat deteksi, sebagai bagian dari strategi advokasi para korban pencemaran lingkungan. Di Prefektur Toyama, misalnya, penduduk yang teritorinya dekat dengan sebuah kilang aluminium, mereka menanam bunga gladial di kebun dan pekarangan rumah, yang mereka gunakan sebagai indikator alami peta polusi udara berdasarkan perubahan warna (yakni bintik-bintik korosif) pada bunga-bunga tersebut.

Sementara polusi udara di kota yang disebabkan oleh cerobong pabrik dan knalpot kendaraan, dipantau penduduk dengan mencatat tempat dan sejumlah pohon cemara yang mati, serta lumut-lumut yang menghilang dari batu nisan maupun dari tembok-tembok bangunan. Hilangnya kembang-kembang zaitun serta kembang pohon jeruk mandarin digunakan oleh penduduk di Lereng Gunung Fuji untuk mendeteksi dan menonitor penyebaran polusi udara dari kawasan industri yang sudah menyelimuti lereng selatan gunung keramat-nya orang Jepang tersebut (George Junus Aditjondro, 2003: hlm 4-5).

Pengetahuan ini sangat bermanfaat sekali bagi kita dan bisa digunakan untuk mendeteksi hal serupa: tingkat pencemaran oleh polusi dan limbah di lingkungan sekitar kita, dan di wilayah Indonesia secara umum. Barangkali saja kita bisa menggunakan berbagai jenis hewan dan tumbuhan lain yang khas di wilayah kita masing-masing. Coba kita tanya pada orang yang lebih tahu?

Artikel Baru

Artikel Terkait