Pasti sebagian dari kita ada yang pernah mendapat cerita orangtua atau kakek nenek kita, bahwa hidup di jaman dulu itu susah. Padahal jika dibandingkan dengan sekarang, kebutuhan hidup zaman itu hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu sandang pangan dan papan.
Untuk makan, belum tentu orang zaman dulu bisa makan nasi sehari sekali. Kadang ketela atau jagung. Jika pun tersedia tidak bisa dibilang cukup, juga masih harus dibagi dengan seluruh anggota keluarga. Padahal jika dilihat secara sekilas bukankah dulu masih banyak lahan yang bisa ditanami atau ditempati untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan tersbeut.
Untuk pakaian orang zaman dulu sering bercerita bahwa untuk memilliki baju baru harus melalui banyak perjuangan, dan hanya di momen-momen tertentu. Biasanya setahun sekali, di momen lebaran. Itu pun jika selama setahun sebelumnya keluarga beruntung dapat rejeki berlebih untuk beli pakaian bagi satu atau dua orang anggota keluarga.
Ditambah lagi dengan belum populernya program pengendalian anak, yang mana di jaman itu mudah sekali menemukan keluarga yang memiliki lebih dari 3 anak. Meskipun kebutuhan hidup saat itu hanya untuk sandang, pangan, papan, tapi dengan keadaan ekonomi yang belum baik dan kebutuhan untuk menghidupi banyak anak, membuat hidup menjadi lebih sulit.
***
Dulu ketika suatu keluarga merasa kewalahan dan kekurangan untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya, maka akan ada satu atau dua orang anak yang akan dititipkan ke keluarga lain—biasanya yang masih ada ikatan keluarga, baik keluarga dekat maupun keluarga jauh—yang dianggap lebih mampu untuk menghidupi dan mengurus anaknya. Tradisi ini sangat famililar di Watulimo dan di Jawa secara umum. Di wilayah lain di Trenggalek, bahkan di beberapa daerah sekitar Trenggalek juga ada tradisi seperti ini. Tradisi tersebut disebut “ngenger” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata geser).
Bukan hanya dari sisi ekonomi semata, namun juga melihat karakteristik, pola pikir dan etos kerja menjadi pertimbangan pemilihan keluarga yang akan dititipi. Hal tersebut dilihat bukan sekadar untuk memastikan anaknya dapat terurus, namun juga terbentuknya karakteristik dan perilaku baik untuk anaknya ketika dewasa nanti. Ngenger diharapkan menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak pada zaman itu.
Dengan ngenger seorang anak akan belajar beradaptasi dengan lingkungan baru, bersosialisasi, disiplin dan mempelajari berbagai keterampilan dasar di keluarga baru, yang bisa berguna bagi hidupnya di masa depan. Jika hidup serumah dengan orangtua, akan ada banyak peluang bagi anak untuk bersikap manja dan berleha-leha. Berbeda ketika ngenger, minimal akan ada rasa sungkan dan malu jika bermalas-malasan. Ia harus melakukan hal yang seharusnya dilakukan, karena ia menumpang di rumah keluarga orang lain. Attitude dan disiplin terbentuk.
Maka dari itulah keluarga yang akan di-ngengeri biasanya dipilih dari keluarga yang dipandang lebih mapan secara ekonomi, sukses dalam pekerjaan, unggul dalam pola pikir dan pendidikan.
Ketika ngenger seorang anak akan terbiasa mandiri untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan dasar dalam hidup seperti membersihkan diri, membersihkan rumah tempat ia tinggal dan lingkungan tempat ia hidup serta ketrampilan-ketrampilan tambahan lain yang bisa menjadi skill bagi dirinya untuk bertahan hidup. Dulu skill itu bisa berupa bertani, tukang kayu, tukang batu, tukang bangunan, berdagang atau keahlian-keahlian lain. Biasanya belajar dari orang yang dingengeri dan sesuai dengan yang populer pada masanya.
Ngenger sangat berbeda dengan ngekos yang mana seseorang menumpang di tempat orang lain dengan memberi uang sebagai ganti atas jasanya menyediakan tempat tinggal. Orang yang ngenger memiliki hak dan kewajiban layaknya anggota keluarga yang ditumpangi. Ia akan membantu pekerjaan dan apa pun kerepotan sang tuan rumah sebagai ganti atas jasanya menyediakan kebutuhannya atas sandang, pangan dan papan. Karena ngenger bukan ngekos, dengan transaksi jual beli jasa.
Karena asas atau dasarnya kekeluargaan, tak sedikit yang pada akhirnya dari anak-anak yang ngenger tersebut dianggap sebagai anggota keluarga sendiri. Bahkan diangkat sebagai anak oleh keluarga yang ditumpangi.
***
Berbeda dengan sekarang yang lahan pertanian semakin menipis membuat bahan pangan semakin mahal. Begitu juga dengan properti. Bagi yang ingin memiliki tanah sendiri untuk dibangun rumah harus membeli dengan harga mahal. Belum biaya untuk membangun rumahnya, bisa jauh lebih mahal. Beli perumahan atau apartemen juga tak kalah mahal. Industri di bidang pakaian juga. Dengan adanya embel-embel brand, harga pakaian bisa berkali lipat dari harga produksinya. Ditambah lagi di jaman kini kebutuhan tak lagi hanya sandang, pangan dan papan, tapi bertambah dengan adanya kebutuhan internet, air, listrik, dan lainnya.
Dengan tersedianya lahan yang melimpah, seharusnya di jaman kakek nenek kita itu tidaklah sulit untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Berbeda dengan sekarang yang lahan semakin sempit dan segalanya mahal, tapi begitu mudah menemukan berbagai makanan, pakaian dan tersedia banyak hunian ditawarkan.
Teknologi berperan sangat besar dalam hal ini. Jika dulu harus menunggu 6 bulan untuk memanen padi, kini setahun bisa panen 3 sampai 4 kali. Modifikasi berbagai macam tumbuhan produktif penghasil makanan juga sudah sangat jauh berkembang. Jika dulu harus menunggu musimnya untuk menikmati buah tertentu, kini sepanjang tahun manusia bisa menikmati buah apa pun.
Teknologi arsitektural lebih advance lagi. Membuat bangunan kini bisa lebih efektif dan efisien dengan menggunakan teknologi printing. Jadi, membangun rumah cukup di depan laptop dan tinggal klik, printer akan mencetaknya. Heran? Lah, itu 3D printing. Sudah diaplikasikan di berbagai proyek pembangunan. Luar dan dalam negeri.
Sekarang kebutuhan hidup dan tingkat perekonomian masing-masing keluarga lebih baik dan ditambah program pengendalian anak yang sudah tidak seperti dulu, tradisi ngenger bisa dikatakan sudah tidak ada. Semua anggota keluarga hidup dan diurusi oleh keluarga sendiri. Namun anehnya, tidak sedikit anak yang tidak memiliki sikap, perilaku dan keahlian dasar kemandirian.
Merawat diri sendiri dan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya terkadang masih kikuk bagaimana melakukannya. Apakah anak-anak sekarang mencuci baju, merapikannya, membersihkan kamar, dan merawat barang-barangnya sendiri? Jika hal-hal dasar seperti itu tidak mampu mereka lakukan, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar? Membubarkan DPR, misalnya.
Pola asuh yang didapat sejak kecil dari keluarga juga dapat dilihat dari bagaimana sikap dan reaksi ketika mendapati rumah kotor atau berantakan, apakah bersegera untuk membersihkan dan merapikan, ataukah hanya rebahan scrolling medsos dan tidak peduli dengan kondisi tempat tinggal. Jangan-jangan saking tidak terlatihnya untuk mengurus diri sendiri, ketika lapar memilih untuk menunggu makanan datang dengan sendirinya. Iya kalau hidup di kota dan punya banyak uang, tinggal klik di aplikasi makanan datang, tapi bayangkan jika dalam kondisi bertahan hidup. Jangan bilang cuma bisa masak air!
Ngenger bukan sekadar numpang.
#SalamLestari!