Nama seorang anak dipanggil, disertai tepuk tangan hadirin. Anak itu berjalan dari kerumunan menuju panggung. Pembawa acara memperkenalkan lebih lengkap anak tersebut: duduk di kelas berapa, dari sekolah mana, dan prestasi apa saja yang sudah dicapai. Setelah anak berada di panggung, pembawa acara melanjutkan memanggil nama anak yang lain. Begitu seterusnya hingga beberapa nama selesai dipanggil.
Satu persatu secara berurutan, seseorang menyerahkan piagam dan tropi kepada anak-anak itu. Bersalaman, kemudian menghadap ke depan untuk difoto yang kebanyakan oleh fotografer dadakan, yaitu orangtua anak-anak sendiri. Dan dengan penuh antusias pembawa acara menyebutkan nama anak beserta prestasi yang diraih di lomba itu, tentunya disambut dengan tepuk tangan oleh hadirin. Begitu selanjutnya hingga anak terakhir yang mendapat tropi terbesar: prestasi terbaik.
***
Saya sering mendapati cerita dari orangtua, mengenai betapa bangga dan bahagianya mereka ketika anaknya menang di suatu lomba/kompetisi. Ada yang tanpa mereka duga karena mereka tak tahu anaknya ikut lomba, biasanya anaknya ikut mewakili nama sekolah. Ada juga orangtua yang memang sangat terlibat aktif mengikutsertakan anaknya untuk mengikuti berbagai lomba. Bisa lomba akademis, bisa juga lomba-lomba keterampilan.
Bermacam reaksi pun sering saya dapatkan ketika anaknya berhasil menang suatu lomba. Ada yang biasa saja, bangga, senang, ada juga yang menurut saya overreacted. Sah-sah saja, lha wong ekspresi kok. Bebas. Sebebas kita menyuarakan pendapat di negeri ini. Tidak ada represi, tidak ada intimidasi. Bebas.
Pernah saya berada di tengah-tengah suatu perlombaan keterampilan anak-anak. Dari awal acara hingga pada momen pengumuman hasil lomba dan penyerahan hadiah. Dari keseluruhan acara, yang benar-benar menarik perhatian adalah ketika pengumuman dan penyerahan hadiah. Bukan karena besarnya hadiah tapi ekspresi dari anak-anak yang memenangkannya juga ekspresi orangtuanya. Kadangkala, orangtuanya “ekspresif” sekali. Maaf, berlebihan malah. Heboh, kata anak-anak jaman sekarang.
Ada sih yang terlihat sangat bersuka cita. Begitu gembira ketika menerima piagam dan piala. Tapi ada juga beberapa wajah anak yang terlihat biasa saja ketika menang. Senyumnya kaku. Seperti seorang anak yang diomeli emaknya untuk senyum ketika mengajak anaknya foto bersama. Ada yang irit ekspresi. Ujung bibirnya hanya ketarik 1 cm saja kesamping, itu pun hanya sebelah. Bahkan ada juga yang tanpa ekspresi: datar. “Iceman”, seperti julukan mantan bek MU asal Swedia.
Dari pemandangan tadi, saya bertanya-tanya, anak-anak bereaksi seperti itu apakah karena mendapatkan hasil tidak sesuai yang diinginkan atau bahkan memang sebenarnya mereka tidak ingin berada di sana. Maksudnya, apakah berada di sana adalah keinginan mereka sendiri atau karena orangtua yang menghendaki. Karena bisa saja justru orangtua yang ngebet anaknya untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya, namun belum tentu anaknya menghendakinya.
Bukan bermaksud mengecilkan berbagai prestasi yang diraih oleh siapa pun. Tetapi jika itu semua hanya untuk memberi makan ego orang lain, rasanya kok sangat gimana begitu. Kasihan si anak yang menjadi korban ego orangtua: dipaksa melakukan berbagai aktivitas yang belum tentu ia senangi dan mencapai sesuatu yang belum tentu ia inginkan. Dan betapa menyedihkannya orangtua yang memaksakan keinginannya kepada anak. Ia yang tak mampu dan tidak memiliki keberanian untuk mewujudkan keinginannya, tapi anaknya yang dipaksa mewujudkannya.
Mungkin masih ada, tapi saya tidak tahu pasti, apakah sekarang masih ada orangtua yang memaksakan anaknya untuk ikut les tertentu dan mengikuti berbagai lomba untuk menang hanya agar orangtua terpuaskan egonya? Jika dulu, saya sering mendengar kabar itu.
Saya pernah mendapat pertanyaan kenapa anak saya tidak ikut les. Les apa dulu, nih? Kalau les untuk mengulang lagi mata pelajaran seperti yang didapat di sekolah, saya jawab tidak. Kalau di sekolah sudah diajari, kenapa harus diulangi lagi di tempat les? Apa gunanya? Terus, kok rasanya seperti merendahkan kualitas guru dan sekolahan tempat anak-anak kita sekolah ya? Masak sudah diajar di sekolah, diulang lagi di tempat les? Kurikulum pendidikan sekolah anak-anak kita tidak seburuk itu, kan?
Beda cerita jika les untuk mengembangkan keterampilan atau untuk menguasai keahlian-keahlian tertentu, saya sangat tertarik dan mendukung. Anak saya pernah les melukis, les berbicara bahasa asing, les catur. Sekarang ada yang minta untuk les vokal dan menari. Saya oke-oke saja dengan les semacam itu, karena keterampilan tadi tidak didapatkan di sekolah. Jika pun ada cuma ekstrakurikuler, seminggu paling cuma sekali, itu pun cuma sejam. Sangat kurang untuk memfasilitasi minat siswa.
#SalamLestari!

