Tentang Pohon Kelapa dan Gerundelan Emak

Saya menulis ini diawali keluhan emak saat memulai masak. Emak bergumam mengetahui adah bumbon (dalam komposisi empat sehat) mengalami defisit dan harganya melijit naik. Sebagai wanita yang bekerja di garda depan dalam urusan pertahanan perut, emak harus selalu memastikan setiap hari, bahwa dapur bisa selalu mengepul, selain memperhatikan perpaduan variasi rempah dalam dapur. Oleh karena itu, perasaan emak ini menurut saya menarik untuk saya rekam dalam tulisan.

Alkisah, sebelum memulai memasak, emak membeli sayur-sayuran sekaligus bumbu dapur di pasar. Selepas belanja dari pasar, emak memendam kegaduhan dalam hati. Barangkali, ia tak berani melontarkan keluhannya saat berada di pasar. Kegaduhan tersebut ia bawa pulang dan lontarkan di hadapan medan tempurnya: pawon.

Gumamnya begini:

“Jika hari ini saja harga bumbu dapur (kambil atau semua bumbon) sudah mahal, entah, bagaimana jika sudah masuk Bulan Ramadhan. Pasti akan mencekik kantong para ibu” tambah emak, “perbiji klopo (kelapa tua) dalm ukuran besar harganya tujuh sampai delapan ribu, sementara 5 ribu untuk ukuran kecil,” jawabnya saat saya tanyai selepas mengeluh.

Saya mengerti perasaan emak. Setiap harga bumbon dapur merangkak naik, emak selalu berceloteh. Celotehan yang sering keluar saat harga-harga kebutuhan pokok meningkat. (Ya, namanya juga emak-emak, yang aktif dalam perburuan kebutuhan pokok, pasti sensitif). Ia pasti mengumpat saat mengetahui kebutuhan tak lagi bersahabat dengan isi dompet. Besar pasak daripada tiang.

Bumbon (dalam hal ini kelapa) adalah kelengkapan yang nyaris tidak pernah lepas dari keseharian di meja “master chef” macam emak (atau ibu di manapun berada). Kelapa menjadi kelengkapan tak terpisah untuk masakan kental nan pedas.

Sebagai keluarga yang doyan masakan kental (meski hanya bapak yang tak suka), santan—parutan kelapa—harus meresap bersama cincangan rempah-rempah dan sayur-mayur. Sekali lagi, kelapa, dalam hal ini santan, menjadi menu wajib untuk masakan orang Indonesia. Begitupun orang Trenggalek, masyarakatnya penyuka masakan kental lagi pedas. Santan menjadi bahan yang paling banyak dicari dan dinikmati.

Di sisi lain, kelapa adalah pohon serbaguna bagi masyarakat. Hampir semua bagian dapat dimanfaatkan; kayunya—biasa disebut glugu—berfungsi untuk pembangunan. Daunnya (blarak) untuk sapu lidi; janur—daun muda—biasa dijadikan ketupat. Cairan yang manis, yang keluar dari tangkai bunga atau sering disebut (air)nira dapat dijadikan legen (bahasa Jawa). Kelapa (air kelapa) menjadi rujukan utama bagi orang keracunan, dan manfaat yang lain. Dan mitosnya, air kelapa berkhasiat me-neteh-kan (memperlancar bicara) bayi kecil. Sementara, sebagian orang Jawa terdapat banyak menyebut kelopo, kambil (bahasa Jawa). Kelapa sendiri dalam bahasa ilmiah disebut cocos nucifera.

Pohon kelapa menjadi tumbuhan yang dekat dengan manusia. Kelapa (santan) merupakan komoditas paling akrab dengan emak-emak. Menurut pengamatan dangkal saya, pohon kelapa menjadi pohon yang masuk dalam radar “hilang” atau “punah”. Pohon kelapa tak ada lagi yang tumbuh di sebelah rumah. Meski membahayakan genting dan kesehatan, kelapa sangatlah bermanfaat.

Pohon kelapa mudah tumbuh di daerah tropis, tetapi pohon kelapa sedikit demi sedikit mulai hilang. Entah dimangsa hama maupun dimangsa manusia sendiri. Seperti yang kita tahu, Kabupaten Trenggalek memiliki banyak pesisir. Tetapi keberadaan pohon kelapa sudah sedikit. Di pantai Prigi, misalnya, pohon kelapa sudah digantikan oleh keberadaan pohon ketapang dan sejenisnya. Ditambah lahan mulai menyempit akan maraknya pembangunan di sana-sini. Lahan ditanami beton, rumah-rumah, sekolah dan swalayan-swalayan.

Terlebih, Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu kabupaten yang memulai gerakan menjadi kota berkembang dan pesat. Tentunya di sana-sini, dengan perlahan tapi pasti, menjadi lahan subur bagi mekarnya pembangunan(isme), modernitas, dan teknologi. Tak pelak, Trenggalek sebentar lagi menjadi sasaran pertarungan ekonomi. Menukil buku Widyanuari Eko Putra, berjudul Usia: Membaca dan Menulis (2016; 104), “Pembangunan merebak di segala sektor. Kota menjadi obesitas dan kurang terjaga kesehatannya.”

Pembangunan atau kemajuan sering menabrak apapun yang ada di depan, termasuk tanah, hutan, dan kebiasaan. Bagi saya, kemajuan menghadirkan kisah dan dilema. Dilema bagi kehidupan dan zaman yang terus bergerak. Satu sisi manusia menginginkan kemajuan. Kemajuan dari suatu zaman ke zaman yang jauh lebih modern. Kemajuan atau modernisasi senantiasa dikagumi dan dipuja, tetapi kemajuan juga membuat orang, bisa atau tidak, tergerus atau melupakan kebiasaan dan adat istiadat. Ia sanggup menyerang “jantung” kehidupan dan tradisi dari orang-orang pedesaan. Akibatnya, kesehatan tanah atau lingkungan diabaikan.

Kemajuan tak melulu soal kecantikan tampilan. Tetapi kemajuan kota harus dibentuk dan mempertimbangkan kesehatan lingkungan sekitarnya (tanaman dan manusianya). Kemajuan juga tak melulu tebang-menebang. Menggantikan pohon yang sudah tumbuh dengan bangunan. Tetapi kemajuan juga berbicara tentang manusia untuk dimengerti. Dimengerti keberadaannya, kebutuhannya dan juga keseimbangan ekologis di sekitarnya.

Jika fenomena kelapa, seperti yang saya ceritakan (atau mungkin tumbuhan dan pohon lain) begitu terus mengisi obrolan emak-emak di warung sebelah atau di tempat rumpi-nya, maka sadar atau tidak, semangat kemajuan secara pelahan tak lagi bisa dikatakan memanusiakan manusia. Nilai-nilai kebudayaan terpinggirkan. Pembangunan dan kemajuan mengambil alih perilaku manusia untuk hidup dengan hedonisme; mengonsumsi santan impor dari China atau Malaysia misalnya. Sangat disayangkan, jika emak-emak membeli kelapa atau santan (dan produk apapun) yang berasal dari negara tetangga. Aduh emak, sayang.

Artikel Baru

Artikel Terkait