Mendongengkan Suminten Edan

Saya pernah membaca buku Rengek-rengkek: Senarai Catatan dan Kisah (Per)jalan(an) di Kota Trenggalek, sebuah buku antologi esai dan feature yang memotret Trenggalek dari penampakan jalan-jalannya. Kumpulan tulisan di buku tersebut menarasikan jalan dan kisah-kisah yang dikandungnya. Saya lebih suka membaca Trenggalek lewat tulisan-tulisan seperti itu, ketimbang melalui cerita lisan. Sebab, saya bisa membanding-bandingkan pengalaman yang dialami berbagai orang dengan lebih detail. Dan saya bisa membandingkannya, dengan cerita yang saya alami sendiri. Selain itu, jika cerita yang tertulis itu dramatis, saya bisa benar-benar terhanyut terbawa kisah yang disuguhkan.

Tentu saja sambil mengutuk diri sendiri yang miskin pengalaman. Dan karena iri membaca tulisan kawan-kawan yang dramatis tersebut, akhirnya saya bisa menerka apa yang kira-kira bisa saya tulis tentang Trenggalek? Ketika tinggal di Ponorogo, saya pernah menonton pertunjukan ketoprak dengan lakon Suminten Edan. Ternyata lakon ini punya nilai kedekatan dengan Trenggalek, khususnya secara geografis dan psikologis.

Tokoh protagonis dalam lakon bernama Suminten, putri Warok Suramenggala. Dan Mas Subroto anak dari Bupati Trenggalek, Radhen Noto Kusuma. Lakon ini adalah kisah di mana kultur kelas priyayi dan kelas kawula alit masih mengurat dalam adat Jawa.

Sebelum jauh saya berkisah tentang Suminten Edan, ada tiga hal yang perlu saya garis bawahi—karena bagi saya tiga hal ini bagian paling menarik: Pertama sebagaimana teori Karl Marx tentang hierarki kelas sosial, kisah ini menggambarkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas feodal dan kawulo alit. Kedua dalam lakon terselip nilai patriarki  yaitu Suminten sebagai perempuan menjadi sub-ordinat. Ketiga ada sisi-sisi romantisme. Yang saya sebut terakhir boleh tidak dibaca.

Secara singkat, dikisahkan bahwa Mas Subroto ditugaskan oleh bapaknya untuk menyebarkan berita sayembara menangkap begal yang membuat resah wilayah Trenggalek. Begal itu bernama Surabangsat. Sayembara itu terdengar sampai ke Ponorogo. Warok Suramenggala, yang mendengar sayembara tersebut, tertarik ikut serta dalam sayembara. Suramenggala yang sudah tenar dengan kesaktiannya berhasil mengusir Surabangsat. Dengan begitu, Surabangsat meninggalkan wilayah Trenggalek.

Tapi dalam perjalanan pulang menuju Ponorogo, Surabangsat bertemu dengan Cempluk putri dari Warok Siman. Melihat Cempluk, Surabangsat terpancing birahinya dan ingin memperkosanya. Mas Subrata yang masih dalam perjalanan menyebarkan berita sayembara lalu melihat kejadian itu. Maka, terjadilah pertempuran antara Mas Subrata dan Surabangsat. Namun, pertarungan itu tidak seimbang. Sehingga Mas Subrata yang merasa terdesak ikut melarikan diri bersama Cempluk. Saat itulah Mas Subrata menaruh rasa pada Cempluk.

Surabangsat yang masih bernafsu dengan Cempluk mengejarnya sampai rumah. Cempluk adalah putri dari Warok Siman yang satu perguruan dengan Suramenggala. Bersama dengan bapaknya, Surabangsat bertarung dengan Warok Siman. Singkat cerita, Surabangsat dan bapaknya kalah.

Sementara Warok Suramenggala yang merasa sudah berhasil mengalahkan begal menghadap bupati untuk keperluan menagih haknya. Sebagai imbalan atas keberhasilannya menumpas begal, bupati menghadiahkan emas dan menjanjikan putranya Mas Subrata  untuk dinikahkan dengan Suminten, putri dari Warok Suramenggala.

Syahdan, kisah menjadi semakin ruwet. Warok Siman yang juga mengalahkan Surabangsat biang kerusuhan,  juga merasa bahwa seharusnya dia mendapat hak yang setara dengan Warok Suramenggala.

Maka, Warok Suramenggala yang tidak terima rencana pernikahan putrinya gagal, akhirnya menantang Warok Siman untuk berduel. Suminten yang mendengar kabar itu menjadi gila. Di tengah pertarungan seru antara Warok Suramenggala dan Warok Siman datanglah Suminten yang terkikik-kikik karena gila. Warok Siman yang melihat hal itu menjadi iba dan menghentikan pertarungan.

Kisah berakhir ketika Suminten berhasil disembuhkan dari kegilaan. Dan Mas Subrata mengawini dua perempuan itu sekaligus. Kisah yang dramatis. Saya membayangkan, perempuan yang menonton lakon ketoprak ini memaki-maki: Kenapa Mas Subrata musti berpoligami? Sementara bagi laki-laki yang menononton ending lakon, akan menunjuk-nunjuk penuh kepuasan: Inilah dunia!

Dalam pandangan Kamla Bashilm, seorang aktivis feminisme, Cempluk dan Suminten bisa dikategorikan sebagai korban atas kontrol  seksualitas. Sebagaimana Kate Milet dalam karya monumentalnya, Sexual Politics, pernah mengatakan, bahwa perbedaan tempramental  unsur-unsur personalitas “feminine” dan “maskulin” diciptakan dalam budaya patriarki. Sementara prinsip-prinsip patriarki muncul dari dua jalan: laki-laki harus mendominasi perempuan dan laki-laki yang lebih tua harus mendominasi perempuan yang lebih muda.

Hal ini dibuktikan dengan kendali atas siapa yang harus menjadi suami Cempluk dan Suminten. Dengan kata lain, Cempluk dan Suminten tidak punya pilihan selain pasrah atas kehendak bapak mereka masing-masing. Alhasil, lakon Suminten Edan kurang lebih berkisah pada ruang lingkup yang sama dengan novel Siti Nurbaya. Hanya saja Siti Nurabaya dibungkus dalam kisah yang lebih modern ketimbang lakon Suminten Edan.

Selain itu, dalam sejarahnya lakon Suminten Edan mengalami perjalanan yang berliku-liku. Dahulu lakon ini menjadi seni populer bagi rakyat. Sehingga menjadi alat propaganda politik Orde Baru, sebagaimana yang tertulis dalam buku Democracy, Culture, Catholicism: Voices from Four Continents, hal 125:

“One way widening of perspective in kethoprak performance is trough the theme of deconstruction. Here, what the audiens thinks is reality turns out to be virtuality. This story relay is the love between Suminten, the daughter of a powerful traveler. Suminten Edan crazy because she love the traveler, but her father will not allow her to see him. In fact, the traveler is the son of another regent, who has disguised himself as a poor man so that he can learn about the conditions of his father’s kingdom.

This no doubt artistic, democratic expression of the fact that when the reality of Indonesia was one of suffering and oppression, Soeharto’s goverment promoted the illusion of peace and tranquility. Through the Suminten kethoprak, lower-and middle-class Indonesians could speak indirectly about the reversals they experienced in the world.”

Ya, meski mendiskusikan lakon Suminten Edan  mungkin dianggap ketinggalan zaman. Tapi, sebagai wakil dari generasi 90-an, saya perlu mengajukan sebuah pertanyaan sekaligus untuk  mengakhiri tulisan ini: Sejauh mana kira-kira seni rakyat dalam lakon Suminten Edan membentuk ruh dunia keseharian masyarakat Trenggalek? Sebab, menurut Hegel, ruh dunia mencapai bentuk perwujudan dirinya yang  paling tinggi, selain lewat filsafat dan agama adalah juga melalui (ke)seni(an)nya.

Artikel Baru

Artikel Terkait