Masih ingatkah engkau, kawan, dahulu saat sedang sakit semisal batuk pilek atau badan panas, Emakmu buru-buru membuatkan ramuan dari tanaman di sekitar rumah. Lalu dengan penuh kasih sayang, ia me-loloh-kannya (memasukkan ke mulut) dengan kain berisi gumpalan adonan tanaman tadi, sambil mengucapkan “tamba teka, lara lunga; cacing kremi padha mati”. Meskipun engkau menangis meraung-raung sekeras teriakan orang batak, cairan pahit berwarna hijau itu dipaksakan untuk tetap kita telan.
Ingatan tentang adegan ini, tidak berhenti di situ, selain harus dipaksa menelan cairan pahit, saat proses mencekokkan, kedua kaki dan kedua tangan juga dipegangi dengan erat. Supaya anak-anak tidak polah dan meronta-ronta hingga memburaikan cairan hijau tersebut (jamu). Apabila si bocah terlalu keras melawan untuk menelan cairan, maka orangtua memencet hidung kita hingga sulit bernapas. Otomatis si bocah dapat menelan cairan dengan sendirinya.
Emak, orangtua kita itu, memang seakan kejam. Tega-teganya ia memaksa anaknya untuk menelan cairan pahit. Tapi lihatlah efeknya, beberapa hari setelah adegan yang membuat trauma itu, pilek dan batuk pun pergi tanpa pamit; demam tubuh berangsur-angsur menurun. Lalu kita menjadi bocah ingusan yang selalu lapar, bolak-balik minta makan pada emak.
Ini cerita nostalgia kawan, yang sudah lama terpatri dalam ingatan kita. Mungkin juga dalam ingatanmu, yang kini mulai hilang karena jarang ada yang melakukannya lagi. Mungkin karena obat-obatan (kimia) sudah bebas dijual di pasaran dengan harga terjangkau, hingga jamu, bukan lagi menjadi obat utama bagi anak-anak ingusan. Jamu saat ini disebut sebagai obat alternatif ketimbang sebagai obat utama.
Meskipun masih ada para pembuat jamu dari tanaman pekarangan semisal temulawak dan temuireng, namun itu lebih banyak dilakukan oleh para orang sepuh. Misalnya, ketika saya berkunjung ke rumah editor website ini, yang terletak di Munjungan sana, saya dipertemukan dengan neneknya yang masih melestarikan membuat jamu sendiri. Awalnya, saya tidak tahu kalau ia pembuat jamu, hingga saya meminta telo terik yang sedang dikupas olehnya, untuk mengobati sakit mag. Insting penolong dan insting keibuan seakan trenyuh menyaksikan pemuda kurus cacingan, ia menawarkan untuk membuatkan jamu pada saya. Sungguh, karena tidak bisa berlama-lama berada di sana, saya tidak bisa mengiyakan tawaran nenek baik tersebut.
Pengetahuan tentang tanaman yang bisa digunakan untuk pengobatan ini penting kawan, mengingat penyakit macam batuk pilek hadir lebih kerap dari sebelumnya. Saat artikel ini saya tulis, flu sedang subur menjangkiti keluarga saya, juga termasuk saya. Terlebih, bagi yang mempunyai anak yang masih balita, sering pusing karena harus menyaksikan anaknya ogah-ogahan untuk makan, meskipun ada sepotong paha ayam di hadapannya. Untuk itu, jamu cekok adalah solusinya.
Pemberian jamu pada anak kecil ini hampir mirip dengan cara para guru mengajari muridnya untuk bersikap baik dan tidak urakan. Namun sayang, adanya lembaga yang bisa mengakomodasi curhatan para orangtua, membuat langka para guru yang bersikap tegas. Bisa jadi, para pembuat jamu ini ogah menerapkan pengetahuan moyangnya karena takut kepada lembaga tersebut. Takut disebut sebagai pelanggar hak asasi bocah dan kekerasan dalam masalah perpenyakitan hahaha…. Aaaah…, saya ngelantur lagi.
Hari ini, saat saya sulit bernapas karena ingus berlebih, saya rindu dicekoki. Saya rindu bisa makan lahap seperti saat bocah. Adakah yang mau mencekoki saya? Setidaknya supaya berefek untuk melezatkan makanan sederhana yang nampak di mata, dan supaya saya dijauhkan dari makanan lezat yang dihasilkan dari olahan versi pabrikan hehehe.
Gusti Alloh, kula paringana waras