Saya selalu senang ketika Pemerintah Kabupaten Trenggalek mengadakan event, apapun jenisnya. Dari konser musik, pasar malam, hingga festival budaya. Di balik keramaiannya, saya membayangkan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar tontonan, yakni, perputaran uang yang menggeliat di tengah masyarakat.
Event-event semacam ini bisa jadi pemicu munculnya ekonomi sirkular dalam skala lokal. Penjual makanan, minuman, jajanan, baju, wahana permainan, dan produk UMKM lainnya membuka lapak. Warga datang mencari hiburan, lalu terjadilah transaksi. Ini bukan hanya soal dagangan laku, tapi soal roda ekonomi yang sedang berputar.
Dalam ilmu ekonomi, ini dikenal sebagai perputaran uang atau money circulation. Konsep dasarnya sederhana: semakin sering uang berpindah tangan di suatu wilayah, semakin tinggi aktivitas ekonomi yang tercipta.
John Maynard Keynes, salah satu ekonom paling berpengaruh, menyebut bahwa konsumsi masyarakat adalah motor utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, ketika masyarakat terus berbelanja, maka ekonomi tetap bergerak. Bahkan dalam situasi krisis sekalipun, pemerintah kerap mendorong konsumsi melalui bantuan sosial—bukan semata kebaikan, tapi untuk menjaga sirkulasi uang agar tidak mandek.
Namun di titik ini, muncul pertanyaan yang menurut saya cukup penting untuk direnungkan: kemana sebenarnya uang orang Trenggalek dibelanjakan?
Kalau uang itu dibelanjakan di event lokal, tapi sebagian besar pedagangnya datang dari luar daerah, maka muncul potensi kebocoran ekonomi lokal (economic leakage). Uangnya memang diputar di Trenggalek, tapi setelah itu dibawa pulang ke daerah lain, sehingga manfaat ekonominya tidak benar-benar tinggal di sini. Kita seperti jadi tuan rumah yang menggelar pesta, tapi yang menikmati hasilnya justru para tamu.
Padahal, dalam teori multiplier effect yang dijelaskan Keynes, setiap uang yang dibelanjakan akan memberi efek berlipat jika terus beredar di satu tempat. Uang Rp50.000 yang dibelanjakan pengunjung kepada pedagang lokal, akan digunakan kembali untuk belanja bahan baku di pasar, membayar tenaga kerja lokal, dan seterusnya. Ini menciptakan rantai ekonomi yang saling menguatkan. Tapi efek itu akan terputus jika uang langsung mengalir keluar daerah.
Maka saya pikir, rumus ini bisa jadi pegangan:
Orang Trenggalek belanja di Trenggalek
atau Orang luar belanja di Trenggalek
Tapi sebisa mungkin, uangnya tetap berada di Trenggalek.
Ini bukan soal menutup diri dari orang luar. Tentu wajar jika ada pedagang dari luar daerah ikut meramaikan event. Tapi semestinya ada keberpihakan, minimal dengan memastikan mayoritas pelapak adalah warga lokal.
Kita bisa belajar dari konsep community wealth building, sebuah pendekatan pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Intinya adalah bagaimana agar kekayaan yang dihasilkan dalam suatu wilayah, bisa tetap dimiliki dan dikendalikan oleh masyarakat setempat. Salah satu caranya: memperkuat UMKM lokal, membuka akses pasar yang adil, dan memberi ruang prioritas dalam event-event publik.
Event memang penting sebagai pemicu aktivitas ekonomi. Tapi jauh lebih penting lagi, bagaimana memastikan bahwa energi ekonomi yang terbangun itu menguatkan akar Trenggalek sendiri. Karena pada akhirnya, jika uang yang diputar tak kembali ke warga, maka perayaan hanya akan meninggalkan jejak keramaian, bukan keberdayaan.
Oh ya, sebenarnya pembahasan soal perputaran uang di Trenggalek ini tak melulu soal event. Ada yang lebih menarik dibahas sebenarnya, yakni soal gaji pegawai pemkab. Tahun 2024, jumlah realisasi belanja pegawai Pemkab Trenggalek dari APBD mencapai 915,28 Milyar. Dari total tersebut, berapa kira-kira jumlah uang yang dibelanjakan di Trenggalek?