Pajak di Trenggalek untuk (Si)apa?

Tulisan ini masih berkaitan dengan tulisan saya berjudul Seberapa Mandiri Kabupaten Trenggalek? Tulisan yang berisi topik pendapatan daerah (PAD).

Pada suatu waktu dalam sebuah diskusi di warung kopi, ada pernyataan yang menggelitik saya. “Jika pajak dan retribusi dinaikkan, nanti akan menjadi beban bagi masyarakat.” Pernyataan tersebut terdengar sangat heroik. Namun saya punya pemikiran lain dalam persoalan tersebut.

Sebelum meneruskan tulisan, saya ingin menegaskan bahwa tulisan saya ini adalah opini. Tulisan ini bukan hasil pengkajian yang mengikuti falsafah penelitian. Jadi tulisan ini akan sangat subjektif berdasarkan sudut pandang penulis.

Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, tercatat proporsi pendapatan negara dari penerimaan perpajakan sebesar Rp. 1.548,5 triliyun dari total pendapatan negara sebesar Rp. 1.903,0 triliyun atau sebesar 81,3% dari total pendapatan. Nah loh. Kondisi tersebut menunjukkan jika pajak menjadi sumber dana utama untuk menggerakan roda pemerintahan.

Lalu bagaimana dengan Kabupaten Trenggalek, apakah Kabupaten ini tidak bergantung pada pajak?

Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, pendapatan kabupaten daerah Kabupaten Trenggalek dari pajak daerah yang tertulis dalam APBD sebesar Rp. 32.015.950.000. Kalau dibandingkan dengan total pendapatan Kabupaten Trenggalek sangat kecil. Karena menurut perda Kabupaten Trenggalek No. 03 Tahun 2012 tentang pajak daerah, hanya 6 (enam) komponen yang bisa dikenai pajak yaitu:

  1. Pajak Hotel;
  2. Pajak Hiburan;
  3. Pajak Reklame;
  4. Pajak Penerangan Jalan;
  5. Pajak Parkir;
  6. Pajak Sarang Burung Walet.

Maka, dengan kondisi ini, berarti Kabupaten Trenggalek tidak bergantung pada pajak, dong?

Jawabannya tidak juga. Karena Pendapatan Kabupaten Trenggalek yang paling besar adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dan pendapatan Pemerintah Pusat paling banyak didapatkan dari pajak. Jadi ya kalo begitu sama saja, pemerintah Trenggalek juga sangat tergantung pada pajak dari rakyat yang didapatkan melalui Pemerintah Pusat.

Lalu apakah itu salah?

Juga tidak. Mari kita lihat konsep pengelolaan keuangan di Negara Norwegia. Sebagai catatan saya belum pernah punya kesempatan untuk studi banding ke Norwegia. Saya hanya mempelajarinya dari tautan-tautan yang ada di media online. Saya kan bukan pejabat pemerintah, jadi tidak akan ada yang menanggung biaya studi bandingnya (maaf jadi bahas studi banding).

Kita kembali pada bahasan bagaimana pengelolaan keuangan di Norwegia.

Dikutip dari laman http://worldhappiness.report, pada tahun 2017, Norwegia menduduki peringkat pertama untuk kategori negara paling berbahagia di dunia, diikuti oleh tetangganya Denmark, Islandia, Swiss dan Finlandia. Pada tahun 2018, predikat negara paling berbahagia ditempati oleh Finlandia.

Lalu bagaimana dengan pajak di sana? Apakah negara ini membebaskan pajak sehingga rakyatnya bahagia?

Justru sebaliknya. Pajak penghasilan di Norwegia bisa mencapai 55%, dan pajak perusahaan bisa mencapai 78%. Luar biasanya rakyat Norwegia tidak mempermasalahkan besaran pajak tersebut karena mereka percaya pada pemerintahnya. Mereka, malah, tidak melihat itu sebagai pajak, tetapi sebagai investasi, karena yang masyarakat berikan akan kembali kepada mereka sebagai jaminan sosial dalam berbagai bentuk, termasuk jaminan kesehatan dan pendidikan gratis sampai ke perguruan tinggi.

Pada aspek lain karena tingkat kepercayaan yang sangat tinggi ini, maka tidak ada kesenjangan antara pemerintah dan rakyat. Rakyat Norwegia memandang pejabat pemerintah dan politisi sama kedudukannya dalam lingkungan seperti warga biasa. Berdasarkan contoh ini, maka sudah membantah ungkapan bahwa besaran pajak akan menjadi beban bagi rakyat.

Lalu mungkin akan ada ungkapan seperti ini. “Ya, itu kan di Negara Norwegia, salah satu negara Eropa yang tingkat kesadaran masyarakatnya sudah sangat baik. Di Indonesia masih banyak yang menunggak pajak. Juga dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat Indonesia yang masih rendah, khususnya di Trenggalek.”

Iya kalo hitung-hitungannya angka, mungkin benar. Tapi mari kita lihat di desa-desa sana, tingkat keswadayaan masyarakat masih sangat tinggi. Saya yakin (meskipun tidak didasari pada penelitian) sebagian besar masyarakat di Trenggalek akan dengan sukarela menyumbangkan hartanya untuk membangun masjid dan fasilitas sosial lainnya. Sumbangan yang diberikan bisa berupa uang, makanan, material bangunan dan tenaga. Ini menunjukkan bahwa kemampuan individu untuk berkontribusi sangat besar selama mereka yakin apa yang mereka berikan akan mereka rasakan manfaatnya.

Lalu bagaimana dengan pajak?

Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1, pajak digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat. Sudah-kah pajak ini digunakan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat? Apakah rakyat merasakan manfaat terbesar dari pajak yang diberikan kepada Pemerintah? Apakah rakyat mendapatkan pelayanan terbaik? Apakah rakyat mendapatkan informasi sejelas-jelasnya ke mana uang pajak ini digunakan? Atau pajak kita, sebagian besar dinikmati oleh kaum birokrat?

Artikel Baru

Artikel Terkait