Dalam sebuah program berita yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta bertajuk “Ke mana minat baca kita?” saya tertarik dengan penjelasan Syarif Bando, selaku Kapus P3MB Perpusnas RI, tentang jenis masyarakat di era digital. Masyarakat era digital terdiri dari kurang lebih 5 milyar orang yang tergabung dalam suatu benua yang disebut benua maya. Stratifikasi masyarakat benua maya ini digolongan menjadi tiga, yakni: pra literasi, era literasi dan pasca literasi.
Masyarakat pra literasi adalah suatu komunitas masyarakat yang memasuki dunia maya tanpa latar keterampilan membaca yang baik. Sementara masyarakat era literasi adalah masyarakat yang telah memiliki baik keterampilan dalam membaca maupun kemampuan mengaplikasikan bacaan dalam berbagai bidang. Adapun masyarakat pasca literasi adalah komunitas masyarakat yang aktivitas membacanya telah menyatu sebagai habitus. Kemampuan daya serap membaca masyarakat jenis ketiga ini bisa dilihat dari kemajuan bidang kehidupan yang lain, seperti teknologi dan ekonomi.
Dari ketiga kategori di atas, Indonesia termasuk dalam masyarakat pra literasi. Bagi komunitas jenis ini, perkembangan teknologi, seperti dunia maya, tidak melulu menawarkan kemudahan. Ledakan informasi yang dapat diakses setiap hari oleh banyak orang kerap malah menimbulkan kebingungan penggunanya. Ini terbukti dari berbagai peristiwa yang bersumber dari kesalahan komunikasi.
Kita—termasuk penulis sendiri tentunya—tidak terbiasa membaca informasi sebanyak-banyaknya sebelum mengambil keputusan. Hasilnya, ego subjektif kerap dipergunakan untuk menghakimi suatu masalah, sehingga yang timbul adalah segerombolan orang yang mudah diadu domba dan cepat menindak suatu kejadian atau peristiwa tanpa tahu lebih dahulu duduk persoalannya.
Pentingnya membaca tidak hanya berlaku untuk berinteraksi di dunia maya. Lebih mendasar lagi, membaca, khususnya bagi saya, adalah “untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia”, “untuk membangun proses berpikir yang baik”, “untuk mengembangkan keterampilan di tengah persaingan global,” bahkan “untuk meneladani tokoh-tokoh hebat.”
Laku membaca dalam poin-poin yang saya kasih tanda kutip di atas, kerap menjadi iming-iming dalam buku, artikel, esai, dan opini yang tidak akan selesai Anda baca berminggu-minggu (tentunya saya juga tak harus membahasnya secara singkat di sini, karena Anda malas membaca?). Kadang minat baca rendah juga disebabkan oleh minimnya akses terhadap buku. Di Indonesia, harga buku masih terbilang mahal, lagi tak banyak subsidi—untuk tidak bilang tanpa subsidi. Belum lagi toko-toko buku itu, demi kejar keuntungan di antaranya, sengaja memusatkan usahanya di kota-kota besar.
Kita sering mendengar ulasan bahwa kemajuan masyarakat Amerika, Jepang, Korea dan seterusnya sebagai bukti konkrit kemajuan sebuah bangsa yang dimulai dari ketekunan membaca. Karena itu, setiap tahun, wacana minat baca dalam berbagai kemasan tetap aktual dan selalu seksi bagi penulis amatiran—macam saya—hingga kadang untuk penulis profesional. Namun tulisan-tulisan tersebut hanya menumpuk di internet, perpustakaan, dan toko buku, sering dibaca sejenak untuk kemudian dilupakan. Data dari Unesco menunjukkan bahwa dari 1000 orang Indonesia hanya ada satu orang yang membaca buku. Gokiel, bukan?
Namun penelitian itu semestinya tidak memunculkan pesimisme, mengingat menumbuhkan habit berarti juga berkait dengan ini: proses yang lama, berkelanjutan, disertai dengan kesungguhan dan kedisiplinan. Di berbagai daerah, upaya-upaya menumbuhkan minat baca mulai digalakkan melalui, salah satunya, pengembangan perpustakaan daerah. Tetapi dalam banyak kasus, perpustakaan daerah hanya dipakai sebagai pelengkap daerah alias yang penting ada, sebagaimana yang bisa kita lihat di Perpusda Trenggalek. Popularitas perpustakaan daerah yang kendur karena kalah pamor dengan media digital (dan karena kultur membaca yang buruk) seharusnya menjadi alasan untuk berbenah.
Menjadi pusat literasi adalah salah satu citra baru yang barangkali bisa dibentuk oleh Perpusda Trenggalek. Sebab, pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi dan sosial, bisa berpusat dari perpustakaan daerah. Misalnya, perpustakaan memberikan fasilitas gedung dan buku-buku untuk sosialisasi program budidaya jamur. Buku-buku itu dimaksudkan agar perjalanan program tetap mengetengahkan bahan bacaan sebagai sumber ilmu. Begitu pula, even-even lain di bidang sastra, ekonomi, dan pendidikan. Semisal, bedah buku, membaca puisi, menulis prosa, pemutaran film, pameran edukasi hingga pameran hasil produk lokal dan pengadaan pelatihan kerja.
Tentu saja, ini semua membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai meliputi gedung yang luas dengan kelengkapan ruang, peralatan dan buku-buku koleksi yang up to date selaras dengan program-program yang direncanakan. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa menjadi ajang promosi untuk memperkenalkan Perpusda sebagai salah satu tempat yang menarik dan ramah untuk dikunjungi oleh siapapun, yang tidak hanya oleh kalangan akademisi.
Pembangunan yang bersifat fisik barangkali mudah untuk diselenggarakan sebagaimana Kantor Kecamatan Trenggalek dan Pengadilan Negeri Trenggalek, yang baru-baru ini juga dibangun dengan megah. Lalu, bagaimana cara membuat gedung Perpusda bernilai dan tampak menarik bukan hanya dari tampang arsitekturnya, tapi juga benar-benar dari pemanfaatan fungsinya sebagai pusat pengetahuan? Coba tanya sana sama Pak Editor Nggalek.co.