Membangun Nasionalisme dari Pinggiran

Ada banyak cara untuk menyambut Perayaan Hari Besar Nasional, kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi anak sekolah atau mereka yang bekerja di instansi, biasa merayakan HUT RI dengan upacara dan hormat bendera. Bagi khalayak, biasanya mereka memasang bendera merah putih, mengadakan kegiatan lomba, permainan tradisional dan termasuk pertandingan olahraga.

Kita tahu, pada zaman penjajahan, olahraga merupakan alat perjuangan melawan kolonialisme. Sepakbola misalnya, memiliki peran penting dalam mempersatukan pemuda Nusantara. Padahal, di zaman Hindia Belanda, sepakbola oleh penjajah pernah di-haram-kan untuk dimainkan para bumiputera. Seperti dilansir oleh rebutbola.com, anak-anak Belanda tidak mau bermain bola dengan anak-anak bumiputera. Tidak jarang, di setiap pintu lapangan sepakbola tertempel tulisan “Verboden voor Inlanders en Houden” atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing”.

Tentu pemuda Indonesia tidak tinggal diam. Mereka bersatu mengobarkan semangat dalam melawan ketidakadilan bangsa penjajah. Pada tahun 1930-an, Bapak Soeratin dan kawan-kawan seperjuangannya, memotori berdirinya sebuah organisasi sepakbola pertama, yaitu Persatoen Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI).

Bung Karno, Tan Malaka, Soeratin dan beberapa pemuda Nusantara merupakan pemuda yang memiliki hobi bermain bola. Meski, kini kondisi persepakbolaan kita kerap mengalami permasalahan, di antaranya dualisme kepemimpinan, dan baru saja terlepas dari larangan perhelatan internasional, sepakbola tetap menjadi salah satu pondasi membangun nasionalisme bagi orang pinggiran. Kita tahu, banyak pemain yang memiliki bakat yang luar biasa dari orang-orang pinggiran, semisal Boaz Salossa, Maldini Palli, dan sederet pemain lain yang terlahir dari tanah yang jauh dari hingar-bingar perkotaan.

Kita tahu, olahraga merupakan aktivitas yang membutuhkan fisik dan energi yang prima. Olahraga, terutama sepakbola, pada 31 Agustus tahun 1933, menjadi alat kontrol sosial dan politik. Sehingga (tiap) tanggal 31 Agustus diusulkan sebagai Hari Sepakbola. Kita tahu pula, bahwa pada tanggal 31 Agustus, Kabupaten Trenggalek juga merayakan Hari Jadinya, yang tahun ini sudah ke-822. Hari Sepakbola (voetbal-dag) digunakan untuk menangani dan menanggulangi dampak buruk meruyaknya pengangguran di Hindia Belanda.

Saya atau barang kali Anda, tumbuh sebagai sosok pemuda, tak bisa lepas (berkejaran) dengan si kulit bundar. Para pemuda sering merayakan pertumbuhan umurnya dengan bermain bola. Di desa atau wilayah pinggiran, setiap bulan Agustus, pasti diadakan acara perlombaan. Dan, lomba yang paling ditunggu-tunggu oleh pemuda desa ini tidak lain adalah pertandingan sepakbola.

Sepakbola merupakan olahraga yang sulit tergantikan dengan olahraga lain. Begitu yang dilakukan oleh para pemuda kampung, Karang Taruna Desa Tasikmadu. Mereka mengadakan even sepakbola antar-RT bertajuk Liga Fitri 2016. Pertandingan antarkampung, dalam hal ini antar-rukun-tetangga, selalu menjadi level tertinggi pertandingan di desa. Tim RT yang diwakili oleh pemuda berupaya menjaga harga diri sekaligus adu gengsi saat bertemu di lapangan. Sepakbola menjadi semacam identitas dan kebanggaan masyarakat kampung. Di sisi lain, secara personal, seorang pemuda desa bermain bola di ajang tahunan sebagai unjuk kemampuan individu, yang nanti akan direkrut kesebelasan desa, di level yang lebih tinggi lagi.

Bulan Agustus bagi orang kampung menjadi bulan yang berbeda. Bagi orang kampung yang letak teritorialnya kerap termarjinalkan: berada di pinggiran kota, selain tak meninggalkan tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga, mencari nafkah dan kegiatan-kegiatan lain. Bagi ibu-ibu di lingkungan saya, pagi harinya sudah disibukan dengan mengurus anak-anak hendak berangkat sekolah, juga memasak.

Sejak matahari terbit, bahkan sebelum itu, aktivitas mereka berpacu dengan sinar matahari. Mereka harus menjemur “memehan” cengkih; nyereti (Jawa: menarik-i) teple (tempat untuk menggelar yang terbuat dari anyaman bambu) kemudian dijemur di bawah terik matahari. Sementara bagi laki-lakinya (pemuda maupun orang dewasa) saatnya bertempur di hutan, memanen cengkih yang sudah mulai masak. Anak-anak menunaikan tanggung jawabnya dengan belajar di sekolah. Mereka, orang desa dan pinggiran, menjunjung rasa nasionalisme di bulan Agustus dengan bekerja.

Sorenya, mereka, para pemuda—bagi RT yang bertanding—berangkat ke lapangan dengan menenteng sepatu bola. Juga banyak pemuda dengan tubuh tambun yang tak kalah semangat melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Pemuda yang lain, memasang tali sepatu barunya. Dan berkostum sepak bola yang masih berbau toko. Saat pertandingan dimulai, di tepi lapangan hampir semua orang kampung, yang RT-nya bertanding, berteriak heboh. Tidak terkecuali anak-anak, para gadis sampai ibu-ibu. Apalagi ketika yang menggiring bola adalah orang yang bertubuh tambun, para penonton bersorak seakan pemain di era primavera, yang mampu melakukan penetrasi dan umpan yang baik. Meski paling-paling mereka hanya mampu berlari beberapa menit, setelah itu bakal bernafas ngos-ngosan. Ini tampak dari: jika seorang pemain bola sudah memegang pinggangnya, pertanda sinyal sudah habis.

Di sisi lain, sejauh mata memandang, ada satu hal yang memprihatinkan. Di tepi lapangan pada sisi sebelah barat, terdapat bangunan yang tampak seperti bangunan rusunawa untuk warga kampung baru. Bangunan gedung ini ikut mempersempit luas wilayah lapangan bola dari ukuran semula. Dahulu, lapangan ini luas dan lebar. Jika sore hari banyak pemuda bermain di tengah lapangan. Sementara yang tidak kebagian lapangan, bisa bermain di tepi lapangan.

Kini, semenjak bangunan itu mulai beroperasi, lebar lapangan di sisi barat terpangkas oleh bangunan baru tadi. Dan tentu saja luas lapangan ikut menyempit. Yang lebih miris ada tiang bendera merah putih ikut dicabut. Tiang bendera yang dahulu selalu kokoh menjulang ke angkasa. Dan sekarang entah di mana tiang tersebut ditancapkan. Saya jadi bertanya-tanya di manakah upacara agustusan akan dilaksanakan? Pembangunan rusunawa tadi barangkali sinyalemen bahwa pembangunan di Kabupaten Trenggalek kurang memperhatikan lingkungan sekitar.

***

Sepakbola merupakan olahraga dan hiburan rakyat kecil. Semua orang boleh menjamahnya, baik laki-laki-perempuan; anak kecil maupun orang dewasa. Sepakbola adalah olahraga universal. Semua orang berhak untuk mengakrabi olahraga yang dahulu turut menjadi alat perjuangan melawan kolonialisme. Sepakbola dapat mempertemukan manusia dari pelbagai pelosok desa, bahkan penjuru dunia. Olahraga, sepakbola menjadi media egaliter dan pemersatu bagi bangsa dan manusia. Merayakan dan menginisiasi sepakbola oleh Karang Taruna, serasa membangun rasa nasionalisme dari pinggiran.

Para pemain sepakbola antar-RT di desa saya kebanyakan adalah pekerja. Mereka bekerja di laut Prigi dan sebagian menjadi petani di hutan. Mereka mencari hiburan dan mengadu ketangkasan kaki dengan mengolah bola dari  kaki ke kaki. Mengoper bola dari kawan satu ke kawan lain. Saya jadi teringat kutipan Bung Karno di Ganefo (Games of the New Emerging Forces atau Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang) tahun 1964, “Hai Rakyat Indonesia, terutama yang muda, latih kaupunya diri se-hebat2nya agar dalam 10 tahun paling banyak Indonesia menduduki tempat paling tinggi di lapangan olahraga.”

Jika makin banyak para pemuda yang berolahraga, maka semakin tinggi olahraga melebur sentimen primordial. Dengan sepakbola, orang-orang wilayah pinggiran bisa berbangga. Mereka mendapatkan caranya sendiri dengan bermain bola. Seperti yang pernah disampaikan seorang antropolog sebagai “the rights of happiness”. Sepakbola menjadi lebih “merakyat” dan populer. Permainan indah ini lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setidaknya, pemain lokal bermunculan serta penonton baru bakal menjamur. Dan, (barangkali) kita tidak akan kesulitan memantau bakat-bakat muda pemain bola dari pinggiran Indonesia. Demikian

Artikel Baru

Artikel Terkait