PAWON YANG (TIDAK) SEHAT

Kicau kutilang memecah suasana saat subuh perlahan mulai memudar. Kokok ayam bersahutan. Mentari sebentar lagi memancarkan cahaya ke segala penjuru, mengusik serangga yang tidur di antara rerumputan, atau di bawah kerikil.

Sulasmi sejak subuh bergerak ke sana kemari untuk meyambut karunia Tuhan hari itu. Sesaat setelah matanya terbuka, ia segera menuju kamar mandi. Diambilnya air dari sumur dan ditumpahkannya ke dalam padasan untuk membasuh mukanya. Sesegera mungkin ia melaksanakan sholat subuh: bermunajat kepada Tuhan atas berkah yang ia terima, juga di pagi itu.

Selepas beribadah, ia lepas mukena yang menutupi muka dan badannya. Ia menuju dapur sambil membawa blarak (daun kelapa kering) untuk cetik geni (menyalakan api di dapur atau lazim disebut pawonan).

Baginya, menyalakan api di dapur adalah rutinitas harian yang harus ia lakukan kendati kompor gas sudah tersedia. Ia, adalah salah satu wanita rumah tangga yang semenjak kecil terbiasa menggunakan pawon untuk memasak nasi, memasak sayur-mayur, merebus air minum, merebus jagung, dan lain-lain. Kompor gas, baginya hanyalah pelengkap semata yang tidak ia nyalakan kecuali pada momen-momen penting.

Orang-orang desa banyak mengambil manfaat dari nyala api pawonan,  selain untuk memasak, mereka juga menggunakannya untuk menghangatkan badan, aktivitas demikian disebut dengan api-api. Pawonan diibaratkan dengan kehidupan, atau lebih pada kehangatan yang siap mengubah suasana dingin pada pagi hari. Jika api pawonan tidak dinyalakan, ada rasa yang kurang untuk mengawali hari secara normal.

Lek Simun, suami Sulasmi, seusai sholat subuh pergi ke kandang kambing, ia memiliki rutinitas yang hampir ia lakukan tiap hari. Makanan kambing yang telah ia letakkan menjelang Magrib di tempat pakan sudah ludes dilahap kambing peliharaannya. Pagi itu ia letakkan beberapa jumput rumput di tempat pakan untuk menenangkan kambingnya yang mengembik sesaat menyadari kehadiran pemiliknya.

Selepas itu, ia pergi ke dapur sambil membawa beberapa lonjor carang (ranting pohon) kering.  Ia dan istrinya sudah menyepakati dalam senyap bahwa api pawonan harus terus menyala sampai persediaan makanan pada hari itu telah masak. Dimasukkannya carang kering tersebut ke bibir pawonan. Beberapa saat kemudian, api mulai melahap carang kering hingga membesar.

Pawonan Sulasmi memiliki dua tungku yang ditata berbaris. Tungku yang paling depan ia manfaatkan untuk merebus air buat mandi cucu-cucunya, sedang tungku bagian belakang ia gunakan untuk menghangatkan sayur blendrang rebung. Asap dari pawonan kadang memenuhi seisi ruang dapur, mengusir nyamuk dan hewan-hewan kecil yang mungkin saja semalam tinggal di dapur.

Lek Simun tetap duduk di depan bibir pawonan. Ia sesekali memasukkan carang yang telah habis terbakar. Sesekali ia meminum teh buatan istrinya.

***

Pawon diartikan sebagai tungku memasak yang lazim dipakai oleh orang-orang desa. Keberadaannya masih eksis hingga sekarang, meskipun sudah tersaingi oleh kompor gas. Jika dahulu sebelum kebijakan menggunakan kompor gas dibuat, orang-orang desa yang mampu menggunakan kompor minyak tanah. Itupun juga tidak digunakan setiap hari.

Dahulu kompor minyak tanah lebih dianggap sebagai benda mewah yang hanya digunakan saat-saat tertentu. Semisal saat ada hajatan di rumah warga desa, supaya tidak terlalu repot, mereka menggunakan kompos minyak, karena dalam hajatan tertentu akan lebih banyak membutuhkan tungku.

Keberadaan kompor minyak tanah tergeser kemudian setelah kehadiran kompor gas elpiji, ia (kompor minyak) tak lagi banyak digunakan. Masyarakat lebih menyukai memasak menggunakan kompor elpiji. Kendati demikian, pawonan tetap eksis, ia tidak terpengaruh oleh perubahan zaman, terutama bagi orang-orang desa yang semenjak kecil sudah mengenal pawonan. Seperti yang dirasakan oleh Sulasmi dan Lek Simun, nyala api pawonan dianggap sebagai petanda kehidupan.

Tungku Sehat Hemat Energi

Tahun 2014, World Bank merilis sebuah artikel yang memuat data mengenai pawonan atau yang mereka kenal sebagai tungku tradisional menggunakan biomassa. Menurutnya, ada 24,5 juta (40% dari total penduduk Indonesia yang menggunakan tungku tradisional) keluarga Indonesia yang masih menggunakan jenis tungku tersebut. Dan dari jumlah pengguna tersebut, sekitar 165.000 penduduk Indonesia mengalami kematian dini akibat penyakit yang timbul dari polusi dalam rumah. Hal yang paling disoroti adalah karena infeksi saluran pernafasan (Sumber: www.worldbank.org)

Dari hasil analisa inilah akhirnya World Bank dan pemerintah Indonesia menyepakati MOU, World Bank menggelontorkan dana hibah sebesar $ 300.000 kepada pemerintah Indonesia. Dana ini akan digunakan oleh Direktorat Bioenergi untuk menciptakan dan menentukan Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE). Harapan dari program ini adalah tersedianya 10 juta tungku sehat hemat energi pada tahun 2020. (Sumber: www.worldbank.org)

Tentu, inisiatif dari projek ini adalah untuk melengkapi program pemerintah tentang konversi minyak tanah ke elpiji (elpiji di-gagas oleh Jusuf Kalla sewaktu menjabat wakil presiden di era SBY). Karena, meski pemerintah telah berulang kali merekomendasikan masyarakat untuk memakai gas elpiji, masih banyak yang belum menggunakannya. Maka inisiatif TSHE merupakan jalan lain supaya masyarakat tidak lagi menggunakan tungku tradisional yang nota bene secara mandiri bisa dibuat oleh masyarakat.

Baik gas elpiji maupun TSHE merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk masyarakat dengan alasan kesehatan. Keprihatinan pemerintah Indonesia dan Word Bank terhadap kesehatan masyarakat Indonesia pengguna tungku tradisional, diproyeksikan dalam MOU program, yang intinya membuat produk baru bagi masyarakat berupa tungku sehat dan hemat energi.

Program ini menghasilkan hubungan erat antara produsen tungku sehat dan konsumen pengguna tungku sehat, karena masyarakat biasa tidak mampu untuk membuat produk yang bagus tersebut. Seperti halnya gas elpiji yang kini sudah menyebar di masyarakat, merupakan solusi atas tungku-tungku tadisional yang tidak sehat dan dianggap dapat menimbulkan pengurangan kayu di hutan. Perlu kita ketahui bersama bahwa, tungku tradisional menghabiskan banyak kayu kering. Sedangkan tabung gas elpiji dan tungku yang dipakai untuk menyalakan gas elpiji, hanya bisa dibuat oleh produsen tertentu.

Seperti yang dijelaskan dalam data yang dirilis oleh World Bank, perilaku Sulasmi dan Lek Simun, bisa jadi termasuk dari cara-cara tidak sehat dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka menggunakan pawonan untuk memasak, dan pawonan itu tidak sehat dan boros energi, itu kata World Bank dan pemerintah Indonesia.

Penulis sendiri berkeyakinan bahwa oksigen yang kita hirup ini sebenarnya juga tidak sehat, dan untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah perlu segera mencari lembaga donor untuk menciptakan semacam oksigen buatan. Dan harus digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, supaya kehidupan kita menjadi sehat.

Artikel Baru

Artikel Terkait