Melacak Sejarah Kota Trenggalek dari Aliran Sungai (#2)

Sungai Bagong

Sungai Bagong dikenal masyarakat karena Dam-nya. Bagong merupakan sungai penting sebagai sarana irigasi pertanian di kota Trenggalek. Tubuh sungai ini bagian hulunya dibendung. Di bawah bendungan (dam) tersebut, alirannya menuju selatan dan menyatu ke tubuh Sungai Ngasinan. Sementara aliran yang terbendung mengarah ke timur: mengairi sawah-sawah di dalam kota Trenggalek; mulai dari persawahan bagian utara hingga persawahan di bagian selatan.

Sungai Bagong yang mengarah ke timur aliran airnya dimanfaatkan untuk irigasi persawahan, sementara yang mengarah ke selatan, untuk merealisasi gagasan yang dulu diinisiasi Minak Sopal: mengeringkan rawa-rawa, yang kini menjadi daerah pemukiman bagi perkotaan Trenggalek (seperti Ngantru, Tamanan dan seterusnya).

Orang-orang Tenggalek di masa sekarang, sangat akrab dengan seorang tokoh bersejarah yang diyakini mula-mula mencetuskan ide pembuatan Dam Bagong. Tokoh ini bisa kita katakan sebagai bapak pertanian Trenggalek, dari masa lampau. Tokoh tersebut adalah Minak Sopal.

Minak Sopal konon kabarnya adalah putra seorang utusan dari daerah Mataram, yang kala itu masih menjadi salah satu bagian dari wilayah kerajaan Majapahit, semacam daerah propinsi (vassal) Majapahit. Sebelum Mataram muncul sebagai kerajaan Islam mandiri, yang kelak dikenal sebagai sebuah negara-kerajaan yang didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan. Utusan tersebut bernama Minak Sraba, seorang penyebar agama Islam pertama di Trenggalek. Bisa jadi juga (ini menurut versi satunya) ia adalah tokoh yang punya hubungan dengan Kerajaan Demak (pendatang dari Demak Bintoro).

Singkat cerita, daerah Trenggalek yang sejak lama punya basis pertanian yang kuat, sesekali pernah mengalami kekurangan air (ditimpa kekeringan) pada lahan persawahannya. Karena itu, Minak Sopal, konon punya inisiatif untuk membuat tanggul air, dengan membendung Sungai Bagong. Bendungan itu diharapkan bisa mengairi sawah yang terletak di timur sungai. Proyek Minak Sopal ini sekaligus bertujuan mengatasi persoalan kekeringan dan kesulitan air di sektor pertanian kala itu.

Kebetulan, sawah-sawah di timur Sungai Bagong menurut cerita dari buku Sejarah Trenggalek, adalah persawahan yang hanya mampu mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan) dengan panen sekali setahun. Pada saat musim kemarau, masyarakat tidak bisa mengharapkan kelimpahan air, sebagaimana ketika musim hujan. Baru setelah Minak Sopal membuat tanggul dan membendung Sungai Bagong, sawah-sawah di timur kota ,yang awalnya hanya panen setahun sekali, bisa panen lebih dari satu kali.

Akan tetapi, sebelum membuat bendungan, rupanya sering terjadi kegagalan karena faktor: pertentangan dengan masyarakat setempat yang mayoritas masih beragama Hindu juga Budha. Peristiwa ini di antaranya terekam dalam cerita tutur (folklore): mengenai Minak sopal dan Gajah Putih; juga perselisihan antara Minak Sopal dengan Mbok Rondo Krandon. Pada akhir cerita, Minak Sopal sanggup mengajak kerjasama (bergotong-royong) pimpinan-pimpinan masyarakat dari berbagai latar dan agama ini untuk bersama-sama membuat tanggul di Sungai Bagong. Jadi, Minak Sopal-lah yang menginisiasi pembuatan bendungan (tanggul) kala itu dengan dibantu masyarakat dari berbagai latar, sembari ia menyebarkan Agama Islam di Trenggalek. Teknik penyebaran agama Islam yang dilakukan Minak Sopal, terbilang diam-diam (underground) dan bijaksana.

Dalam narasi cerita folklore tersebut, aktivitas tersebut (menyebarkan agama secara diam-diam) disimbolkan dengan pembuatan terowongan bawah tanah, sebagai semacam tamsil (sanepa) bahwa penyebaran agama Islam mula-mula dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa ada ancaman dan pemaksaan akidah. Cerita Minak Sopal yang beredar di masyarakat adalah ”cerita tutur”—sebagaimana pada umumnya cerita tutur di tempat lain, tatkala mengisahkan peristiwa nyata sering diselimuti sanepa.

Sanepa-sanepa itu kalau kita baca, banyak menggunakan peristiwa fantasi—atau barangkali memang sengaja dibikin seperti itu—; seperti cerita yang mesti diselipi dengan fabel. Memakai tokoh-tokoh binatang sebagai simbol, semisal gajah putih (simbol agama Hindu) dan juga buaya, sebagaimana umumnya cerita khas Nusantara sendiri. Tentu pembaca atau pendengar cerita, perlu bijak memberi tafsir untuk menangkap makna dan kandungan (intisari cerita) yang bersembunyi di permukaan ceritanya. Terutama, sekali lagi, karena peristiwa nyata tersebut dibungkus dengan lapisan-lapisan sanepa.

Dalam tradisi Jawa, memang banyak kejadian-kejadian atau peristiwa penting yang real terjadi, diabadikan dalam folklore atau juga dalam kakawin. Akan tetapi, jalan ceritanya dibuat sedemikian hati-hati. Kehati-hatian itu tampak dari kecerdikan bentuk luar menyembunyikan isi cerita, sehingga seolah-olah sebuah fiksi dengan dilingkari sanepa-sanepa. Dengan ”bungkus cerita” yang begitu itu, wajar saja bila cerita yang tersebar punya beragam versi.

Penulisan karya itu dulu menggunakan sanepa karena sebuah kerajaan atau orang yang dijadikan tokoh cerita, masih berkuasa atau masih hidup, sehingga para pujangga Jawa kerap menempuh jalan penulisan menggunakan sanepa/ kias. Di sinilah kemudian para pembaca juga pujangga-pujangga berikutnya yang berlainan zaman, mau tak mau harus terampil membuka kunci-kunci sanepa ini guna memahami maksud dari penulisan kisah: menyingkap fakta di balik cerita yang tampak di permukaan.

Pemakaian sanepa dan fabel dalam cerita, memang baik untuk menjaga agar isi cerita tidak lapuk. Bahkan kata Pramoedya, dalam pengantar buku Drama Mangir, berhadapan dengan sanepa adalah berhadapan dengan teka-teki dua muka: historis dan daya imajinasi pujangga. Setiap tafsiran atau uraian padanya bisa saja keliru. Biarpun begitu, tak ada jalan yang dapat ditempuh selain melalui tafsir. Agar ia tak berhenti sebagai dongeng yang gunanya sekadar sebagai hiburan.

Sebelum Minak Sopal membendung sungai di Bagong, lokasi kota Trenggalek dulu adalah rawa-rawa yang tak bisa ditempati. Wajar bila saat itu—sebagaimana kata Mbah Hamid—pemukiman penduduk pertama yang mendiami area di sekitar Trenggalek, berada di lereng-lereng gunung (Wilis) dan perbukitan di sekitar utara kota Trenggalek sekarang. Beberapa daerah yang sekarang ini menjadi desa-desa di wilayah kecamatan kota Trenggalek: Surodakan, Sumbergedong, Ngantru, Tamanan, dulu adalah rawa-rawa. Bahkan hingga masuk ke sebagian wilayah Kecamatan Pogalan.

Salah satu pemukiman awal di kota Trenggalek adalah sekitar Kecamatan Bendungan. Menurut salah satu sumber, komunitas yang bermukim di sekitar situ adalah pendatang dari Majapahit (merupakan pelarian dari Majapahit sesudah runtutan panjang dari Perang Paregreg). Menurut Mbah Hamid, komunitas yang lari ke Trenggalek, melewati Kediri lalu naik ke lereng Gunung Wilis sebelah timur, selanjutnya mereka ke selatan hingga Sendang, dari Sendang mereka terus ke selatan melewati Pagerwojo, lantas mengarah ke barat. Dan turun ke utara hingga tiba di Kecamatan Bendungan. Mereka ini adalah komunitas muslim Majapahit.

Komunitas ini, menurut salah satu versi, dipimpin R. Kuncoro. Ia sering disebut juga Ki Ageng Wilis. Mereka lantas bergeser ke selatan hingga Gunung Sinawang. Nama Raden Kuncoro sendiri jarang digunakan, ia sering menggunakan nama Ki Surohandoko. Prabu Brawijaya V pernah mengangkat Surohandoko menjadi Ki Demang Surohandoko yang bertempat di Kademangan Suradakan. Lalu kedudukannya sebagai Ki Ageng dilimpahkan kepada putranya, Ki Ageng Galek, yang tinggal di lereng gunung sebelah barat Sungai Bagong.

Makam Ki Ageng Galek sendiri sekarang berada di Setono Galek. Sementara padepokannya terletak di sebelah timur Sungai Bagong. Dan pengikutnya dulu tersebar di lereng-lereng bukit, tersebab saat itu, kota Trenggalek masih merupakan rawa-rawa (Hamid Wilis, 2007: hlm. 34 & 41). Demikian.

Artikel Baru

Artikel Terkait