Kurang lebih sekitar sebulan yang lalu, saya berkemah di puncak Ngrancah—salah satu dataran tinggi di Watulimo—dengan kawan-kawan saya. Sebenarnya bukan sekadar berkemah, saat itu saya sedang memenuhi janji pada seseorang dari Majalengka, Jawa Barat sana, untuk mengantarnya ke Ngrancah sekaligus menginap dan menikmati sunrise di pagi harinya.
Yang berkemah di puncak Ngrancah malam itu bukan cuma saya dan Teh Wulan, nama kawan saya dari Majalengka tadi, melainkan juga kawan-kawan lain saya, yang berasal dari Desa Dukuh, juga beberapa pemuda-pemudi dari luar desa, yang saat itu baru saja mengikuti Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) di Desa Dukuh dan Desa Sawahan. Setelah kegiatan SEPOLA ini, panitia memang menghendaki refreshing, dan selebrasinya adalah dengan muncak (naik gunung).
Tak kurang sekitar 20 orang yang berkemah di puncak Ngrancah kemarin. Menikmati malam yang saat itu cuacanya sangat cerah. Ditambah lampu-lampu dari rumah warga Watulimo di bagian bawah sana, semakin menambah khidmat saja rasanya malam itu.
Sekira menjelang tengah malam, Teh Wulan ikut nimbrung dengan saya dan kawan-kawan, yang sedari tadi ngobrol tidak jelas. Saling olok dan cela di antara kami, juga sambil menikmati kopi hitam. Awalnya, kami saling memperkenalkan diri. Setelahnya suasana mulai cair dan hangat, apalagi ditambah dengan guyonan-guyonan dari masing-masing kami.
Semakin malam, saya rasa obrolan kami semakin serius. Sampai pada akhirnya Teh Wulan bertanya apakah kami mencintai Trenggalek. Secara spontan salah satu kawan karib saya yang juga baru saja mengikuti SEPOLA menjawab pertanyaan tersebut. Jawabannya sungguh sangat saya ingat dan begitu berkesan sampai saat ini.
“20 persen…”
“Cuma segitu?” tanya Teh Wulan.
“Iya, 20 persen.”
“Kok cuma segitu?” kejar teh Wulan.
“Lha kan kewajiban saya untuk mencintai orangtua, kemudian ada istri, anak-anak saya, juga kawan-kawan dan orang-orang di sekitar saya. Jadi, ya sekitar 15-20 persen lah…”
Masuk akal, begitulah seketika otak saya menanggapi jawaban kawan saya tadi.
Lama berselang, ketika saya teringat, timbul pertanyaan dalam diri saya, seberapa banyak-kah jumlah warga Trenggalek yang memiliki jawaban yang sama ketika mendapat pertanyaan seperti yang diajukan oleh Teh Wulan. Karena, bisa saja tidak sedikit yang mungkin memiliki jawaban yang sama dengan kawan saya. Tetapi saya masih percaya bahwa tidak sedikit juga yang mencintai Trenggalek dengan kadar lebih dari 50%, bahkan lebih. Saya mengenal beberapa dari mereka.
SEPOLA yang baru saja terlaksanakan di Desa Watulimo, kemudian menyusul di Desa Dukuh dan Sawahan awal tahun ini adalah bukti kerja dari beberapa orang yang mencintai Trenggalek. Karena apa? Begini, SEPOLA adalah kegiatan yang digagas oleh Perkumpulan Inisiatif. Di Jawa Timur, hanya 2 kabupaten yang menjadi project mereka: Trenggalek dan Pacitan.
Di Trenggalek, SEPOLA pertama diadakan di kabupaten: SEPOLA Kabupaten. Setelah itu, seharusnya tidak ada lagi. Namun, karena orang-orang yang mencintai Trenggalek mengetahui bahwa SEPOLA adalah kegiatan yang bagus dan bermanfaat, mereka berusaha untuk menghadirkan kembali SEPOLA, dan hasilnya, terlaksana-lah SEPOLA desa di salah satu desa di Kecamatan Pule dan Kecamatan Dongko. Menyusul kemudian di tiga desa di Kecamatan Watulimo.
Setelah SEPOLA, masih belum lama, berawal dari keresahan mereka yang meyakini bahwa pembangunan di Trenggalek belum sepenuhnya melibatkan masyarakatnya. Mereka kembali menunjukkan kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran dengan menggagas Festival Gagasan Rakyat Trenggalek (FGRT). Sebuah festival yang mengundang seluruh lapisan masyarakat Trenggalek untuk berkontribusi dengan mengirimkan gagasan-gagasan mereka demi “kemajuan Trenggalek”.
Apakah mereka mengadakan festival ini sekadar main-main? Saya rasa tidak. Ketika festival ini di-launching pada tanggal 24 Maret kemarin, mereka juga menandatangani MoU dengan pemerintah Trenggalek yang saat itu diwakili oleh Kepala Bappeda Trenggalek. Dengan MoU tersebut, menjadi semacam jaminan bahwa gagasan-gagasan yang masuk nanti akan dikawal oleh pemerintah Trenggalek untuk direalisasikan. Karena seperti yang jamak diketahui, bahwa banyak ide dan gagasan yang sebenarnya bermutu dan memajukan daerah justru seringkali mandeg ketika masuk dalam birokrasi pemerintahan.
Kawan-kawan, bagi saya, orang-orang yang mencintai Trenggalek ini adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan Trenggalek sebagai prioritas dalam hidup mereka, setidaknya persentase cinta mereka di bawah cinta terhadap orangtua mereka. Trenggalek harus bangga dengan keberadaan mereka. Saya juga sangat bersyukur karena mengenal beberapa dari mereka.
Sekolah Politik Anggaran dan Festival Gagasan Rakyat Trenggalek adalah sedikit saja contoh dari apa-apa yang sudah diberikan oleh mereka yang memiliki cinta lebih dari 20% untuk Trenggalek. Sekarang, berapa persen cintamu untuk Trenggalek?
Salam Lestari!