Menunggu Kepunahan Petani

Geprak, salah satu alat pengusir burung di sawah itu dibuat dari potongan bambu. Ukuran potongan itu sekira setengah depa, kemudian disusun berjajar menyamping sebanyak 4 sampai 5 potong. Bagian atasnya diikatkan pada sebilah kayu seukuran dengan panjang deretan potongan bambu. Bagian bawahnya dibiarkan tanpa pengikat. Susunan bambu tersebut dipaku pada tongkat berukuran 2 meter. Beberapa buah geprak ditancapkan di beberapa petak sawah sebagai alat untuk mengusir kawanan burung pipit, gelatik, serta burung pemakan biji padi lainnya.

Geprak dioperasikan dengan tali yang diikatkan pada tiangnya untuk ditarik-tarik dari gubug atau dari tempat lain yang dipilih untuk mengoperasikannya. Lazimnya memang dioperasikan dari gubug. Saat ditarik-tarik itulah potongan-potongan bambu yang pangkalnya diikatkan pada sebilah kayu tadi terayun-ayun dan pada saat ayunan baliknya membentur bilah kayu penyangga secara serentak timbul bunyi, “prak, prak, prak!” Dari situlah kemudian lahir sebutan: geprak.

Biasanya tarikan itu dibarengi dengan teriakan si penunggu, “Heo,heo, heo.”

Demikianlah, setiap menjelang  musim panen, petani selalu dihadapkan pada masalah klasik meski asyik. Kawanan burung datang menyerbu petak-petak sawah yang dipenuhi padi yang makin menguning.

Padi-padi sebentar lagi menua, dan mereka (kawanan burung) selalu menunggu lengahnya petani untuk kemudian memutuskan terbang menukik menuju petak sawah, bersembunyi sambil mendahului memanen bulir-bulir padi yang paling bernas. Sudah memanen secara ilegal, memilih yang terbaik pula!

Dalam pandangan saya, petani selalu dihadapkan pada banyak masalah, misal masalah air ketika kemarau, masalah susah mendapatkan pupuk yang memiliki siklus kelangkaan. Pendek kata, petani itu selalu dihadapkan pada siklus masalah yang tak jarang datang secara keroyokan.

Cari pupuk susah. Ketika mendapatkannya, ternyata di balik kemampuannya menyuburkan tanaman pupuk itu juga diam-diam mengajak zat kimia buatan yang pada akhirnya justru memperparah kondisi tanah.

Ada lagi masalah yang ditimbulkan oleh berbagai jenis penyakit tanaman, masalah cuaca, dan harga yang buruk di musim panen.

Bukan hanya persoalan dengan alam semata, petani juga sering dirundung masalah oleh sebab benturan dengan para oknum yang kebetulan merencanakan untuk menguasai lahan pertanian guna melegalkan kepentingan oknum tersebut. Dalam beberapa tahun ini, intens terjadi konflik antara petani dengan pengusaha serta penguasa yang jejaknya bisa kita lacak melalui berbagai jenis media seperti yang dialami warga Samin yang gigih menolak semen itu.

Di Trenggalek sendiri, meski sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani namun kebijakan-kebijakan yang mengaturnya belum sampai pada tujuan kesejahteraan petani. Misalnya seperti upaya untuk menghormati para petani, pemerintah daerah lebih memilih untuk membangun taman wisata pertanian dengan label pertanian terpadu. Meski pada kenyataannya petani tidak membutuhkan taman untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya.

Menunggu-Kepunahan-Petani
Geprak dipasang di sawah sebagai alat pengusir burung pemakan padi | Lokasi: Sawah Gemaharjo | Foto Mas Trigus

Proses pengusiran burung pemakan bulir padi yang dilakukan oleh para petani setidaknya menunjukkan bahwa mereka sering tidak memiliki cukup kemauan dan kemampuan untuk berperan sebagai si berdarah dingin. Mereka adalah petani yang lugu dalam sikap di seluruh laku kehidupan. Mereka hanya menghalau burung supaya tidak memakan terlalu banyak bulir padi, bukannya memberantas burung pemakan padi itu hingga tumpes kelor.

Dalam era milenium saat ini bukan tidak mungkin jika generasi milenial menganggap profesi petani sebagai profesi rendahan, bukan profesi prestisius yang linear dengan ilmu serta ijasah yang mereka dapat. Terbukti, para petani yang menyekolahkan tinggi-tinggi anaknya, justru kehilangan kader untuk meneruskan perjuangannya sebagai petani. Ini juga bisa dimasukkan dalam kategori persoalan yang di hadapi petani. Jika pola begini terus berlangsung, lantas siapa yang akan menjadi petani 10 hingga 20 tahun mendatang?

Sejak di sekolah dasar hingga SMA, saya kerap bersinggungan dengan proses-proses bertani, semisal mencangkul petak sawah, menanam sayur-sayuran, mencari rumput untuk kambing, membersihkan ladang dari rumput dan lain sebagainya. Suatu ketika tangan saya ngapal karena sering memegang pacul dan arit. Namun, ketika kemudian memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih lagi, sejak itu pula tumbuh bibit kemalasan untuk membuang keringat melalui kerja-kerja fisik. Mungkin saja, karena sering dicekoki oleh ilmu-ilmu kognitif lantas psikomotornya menjadi tak berdaya.

Menjadi petani membutuhkan keahlian khusus, bukan hanya tentang mengangkat pacul dan mengempaskannya ke tanah. Seorang petani haruslah tahu bagaimana membaca alam melalui ilmu pranata mangsa, atau tahu bagaimana cara mengatasi walang sangit yang kerap mencuri santan-santan padi saat masih muda. Rata-rata keahlian ini didapatkan dari konsistensi pergaulan dengan alam. Mereka mungkin jarang membaca buku pranata mangsa tapi memahami bagaimana alam bekerja.

Pertanyaan pentingnya adalah, jika kawula muda saat ini jarang sekali terjun langsung ke sawah ladang, lantas bagaimana cara mereka untuk mempelajari alam, sedangkan mempelajari alam tidak bisa dilakukan barang sehari dua hari.

Petani adalah bendaharanya Tuhan, peradaban tidak akan berlanjut jika tidak ada yang berprofesi sebagai petani. Untuk saat ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia makan dari bahan baku padi, sedangkan padi ditanam oleh petani. Bahkan sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan produk-produk lainnya. Masyarakat Indonesia makan apa jika tidak ada produk pertanian? Namun hingga kini, petani belum bisa jadi pihak penentu harga produk pertanian mereka.

Pun dengan pemerintah, bukannya melindungi petani supaya lebih aman dan sejahtera, kebanyakan kebijakan yang dibuat malah mejauhkan petani dari ibunya (baca: bumi), pun dengan pupuk yang disubsidi, terlalu banyak bahan kimia yang turut serta berpengaruh pada kesehatan dan pola pikir masyarakat kebanyakan. Jika keadaan demikian terus dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu hari kelak kita mau tak mau kita hanya bisa makan beras plastik!

Artikel Baru

Artikel Terkait