Seekor harimau tergolek lemas dengan napas turun-naik. Dari arah berlawanan seekor kerbau berdiri dengan napas yang sama. Baru saja harimau bertarung lawan kerbau. Beberapa menit selanjutnya hewan buas itu bangkit kembali—dengan cakar tajam menerjang kerbau. Kerbau balas menyeruduk dan menanduk. Pada ronde kedua ini kedua hewan berkelahi lebih seru.
Sementara di sekeliling mereka, ratusan manusia bersorak ramai membentuk formasi persegi empat berlapis. Sebagian besar memegangi lembing. Di dalam lingkaran, kedua hewan masih beradu kekuatan. Kendati harimau telah melukai kerbau, hewan itu belum mampu membuatnya roboh. Sampai kemudian harimau kehabisan tenaga dan berjalan menyingkir.
Kerbau ditarik keluar. Harimau sendirian dalam lingkaran massa yang terus bersorak. Tak berselang lama, harimau bangkit menerjang barikade manusia: yang sebagian besar prajurit keraton. Harimau terluka oleh tusukan, ia berjalan sempoyongan menjauh. Sebagaimana percobaan di awal, lagi-lagi hewan tersebut dihujani tusukan.
Dalam keadaan terluka, harimau berputar menuju arah lain untuk mencari celah. Sekali lagi ia menerjang dengan kekuatan terakhir yang semakin melemah. Tapi ia justru tersungkur oleh banyak luka dan darah. Tubuhnya jebol di sana-sini, koyak oleh tusukan lembing-lembing tajam. Hewan itu pun akhirnya mati.
Slide peristiwa di atas saya bayangkan pernah berlangsung di pusat-pusat kota di Jawa, dalam pertunjukan rampog(an) macan. Ini nama pertunjukan rayahan menombak macan yang biasa digelar, entah di alun-alun atau di lapangan terbuka pada umumnya. Sebuah perayaan yang marak dilakukan di sekitar abad 17 hingga awal abad 20.
Mula-mula macan-macan itu dipancing keluar dengan gemuruh sorak penonton. Bila harimau tak kunjung keluar kandang, ia dipaksa dengan nyala mercon besar. Namun, kata salah satu sumber, saat harimau ngambek, hewan ini juga disudut besi panas atau senjata agar keluar kandang dan segera mengamuk di alun-alun. Sementara banteng atau kerbau, yang akan menjadi lawannya, diperciki daun pohon kemaduh yang rasanya terkenal menyakitkan.
Saat ini dalam tradisi kesenian rakyat di Jawa, khususnya di Jawa Timur, masih terdapat kisah rampogan, tapi jenis rampogan lain, yakni rampogan celeng. Kisah ini sekadar menjadi latar dalam kesenian jaranan, seperti pada jaranan Turonggo Yakso di Trenggalek. Dalam Turonggo Yakso terkandung episode perburuan celeng. Dikisahkan bahwa Dadung Awuk, prototipe lain dari penunggang jaran/ksatria dalam Turonggo Yakso (selain Kisah Panji) juga berperan menghalau (me-rampog) celeng yang sering menyerang lahan-lahan pertanian di desa-desa di Jawa. Tidak heran kalau seni jaranan kerap juga dinamai rampogan celeng.
Celeng di situ adalah simbol hama berikut segala makhluk pengrusak di lahan-lahan persawahan petani. Celeng sebagai entitas hama ini dalam seni jaranan disimbolkan menggunakan celengan; dan entitas hama yang tak kelihatan disimbolkan menggunakan barongan. Sementara dalam pagelaran rampogan macan, macan adalah penanda orang Belanda yang gesit tapi cepat loyo, adapun kerbau sendiri adalah prototipe orang Jawa yang lambat namun ulet, liat tapi tak gampang takhluk.
Penggunaan simbol ini misalnya bisa ditangkap dalam penggalan peristiwa yang pernah dituturkan Peter Carey berikut: saat Belanda kepepet menghadapi serangan Inggris di Jawa masa Daendels. Pasukan marsekal yang berjumlah 18.000, mayoritas berasal dari Jawa ini, banyak yang melarikan diri. Bahaya menghadang pasukan Belanda di tengah kondisi keuangan pemerintah yang sulit. Pada Mei 1808, Gubernur Jendral Guntur—panggilan Daendels—memberitahu para raja Jawa (Surakarta-Yogyakarta) bahwa ia akan tiba di Semarang dengan sepasukan tentara cukup besar dan meminta utusan keraton menemuinya di awal hingga pertengahan Juni. Daendels mengancam akan datang sendiri ke Yogya dengan pasukan berkuda disertai artileri medan, mengingat Sultan telah menunjukkan gelagat “kurang setia” terhadap pemerintahan bangsa Eropa (Carey, 2016: 206-208).
Berita ini membuat penduduk Yogya oreg (gempar). Sultan Yogya pun bergegas mempersiapkan pasukan, melatihnya hingga memanggil pasukan wajib. Dalam gambaran Diponegoro muda, yang sependapat dengan keraton Yogya, Gubernur Jendral seyogyanya tinggal di Batavia dan tidak melibatkan diri dalam urusan rumah tangga Jawa tengah. Persiapan militer di Yogya boleh jadi jawaban atas kedatangan Daendels di Jawa, tapi dengan maksud membantu Belanda jika Jawa jadi diserbu Inggris (Carey, 2016: 208).
Parade besar pasukan kerajaan Jawa Tengah ini, saat itu, sebagaimana dicatat Carey, menjadi satu di antara pamer kekuatan militer Kesultanan terakhir sebelum beberapa tahun sesudahnya diobrak-abrik Inggris, Juni 1812. Ya, awal runtuhnya tatanan Jawa, tulis Carey, justru ditandai dengan parade, sekurang-kurangnya, separo pasukan berkuda Yogya dengan hiasan luar biasa semarak—satu peristiwa yang layak diabadikan dalam foto-foto coklat tua juru foto istana terkenal, Kassian Cephas (1844-1912). Parade ini disaksikan langsung oleh Residen sahabat Sultan, Pieter Engelhard, di tengah massa rakyat yang pro dan kontra Belanda.
Di akhir bulan Mei, pasukan Mangkunegaran dari keraton Solo yang pro Daendels, dengan Mangkunegoro II sebagai pemimpinnya, oleh Marsekal Guntur dinaikkan pangkatnya: mendapat Bintang Jasa Kerajaan Belanda. Sejak saat itu, pasukan Prangwedono yang terdiri dari 1.150 prajurit itu diresmikan menjadi legiun yang meniru legiun Batavia. Bertugas memperkuat garis-garis pertahanan Klaten dan Yogya apabila Inggris tiba.
Pemandangan ini sempat menggoncang dan mengobarkan kemarahan pihak keraton Yogya. Babad Keraton Yogya melukiskan, bahwa Sultan merasa ibarat seekor banteng yang sengaja dirangsang untuk berang dengan ranting berbulu duri pohon kemaduh. Peribahasa ini tentu saja mengandung makna pertarungan macan lawan banteng di keraton (rampogan macan).
Namun sang banteng dipicu menyerang musuh bebuyutannya dengan racikan daun kemaduh yang gatal, dengan rasa sakitnya yang minta ampun: berupa pergerakan pasukan Mangkunegaran. Pertarungan dua hewan ini, tulis Carey, mengandung perlambang bagi masyarakat Jawa: macan disamakan dengan Belanda dan banteng dengan kemampuan bertarung orang Jawa sendiri yang ulet.
Dalam suatu kesempatan yang lain, Residen Belanda, Van Braam bersama istri, ketika singgah di Yogya sehabis dari Surakarta, keraton menghormati sang tamu dengan suguhan rampogan di alun-alun selatan. Sebagaimana dicatat Carey dalam Kuasa Ramalan (2016: 233), tontonan ini tidak mengecewakan Van Braam. Namun acara pertarungan macan lawan banteng tersebut punya penyelesaian yang agak berbeda: pada ronde pertama, macan mampu merobek otot kaki banteng. Lalu ia ngambek bertarung. Sementara pada ronde kedua, ketika macan baru saja dimasukkan, hewan yang digunakan sebagai perlambang orang Eropa ini langsung melompat kabur dari gelanggang. Lantas dibunuh di belakang panggung kehormatan, di mana Sultan duduk bersama tamu Belandanya.
Carey dengan mengutip Ricklefs dalam Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792, menulis, bagi orang Jawa pertarungan tersebut mempunyai makna yang jauh: mereka melambangkan orang-orang Eropa dengan macan gesit dan telengas, sementara mereka sendiri digambarkan dengan banteng yang perkasa. Meski macan garang dengan kebuasannya, hewan itu hanya dikarunia sedikit daya tahan dan nyaris selalu kalah melawan hewan yang lebih lamban, lebih hati-hati juga lebih tabah, yang tak lain adalah sang banteng/kerbau (Carey, 2016: 236).
Uraian dari peristiwa unik ini adalah: kedua ronde telah memperlihatkan “macan” Belanda dalam keadaan kurang menggembirakan: pada ronde pertama, meski sanggup membuat otot kaki banteng robek, sang macam tidak jadi membunuhnya. Pada ronde kedua, sang macan langsung melompat keluar gelanggang. Tidak-kah ini berarti masyarakat Jawa dapat mengharapkan semacam perkembangan (pertanda) luar biasa terkait pertarungan melawan Belanda dalam kenyataan?
Sewaktu kunjungan Van Braam ini, serbuan Inggris masih tiga tahun lagi. Kalangan keraton Yogya masih ingat pertarungan macan-banteng pada Oktober 1808 di alun-alun selatan itu. Lalu menebak-nebak bahwa peristiwa tersebut meramalkan suatu masa ketika Belanda yang pernah perkasa dengan perserikatan dagang Hindia Timur-nya yang sudah bubar, akan dibuat sama sekali mati langkah, sejauh menyangkut pemerintahan mereka di Jawa, oleh musuh Eropa yang baru dan lebih perkasa: yakni Inggris.
Dalam rampogan macan, catat Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (2005: 27), ada banyak jenis harimau yang dipertarungkan lagi dipertaruhkan. Ada harimau belang (macam lorek), harimau akar (macan tutul), juga harimau kumbang. Binatang-binatang simbol orang-orang Eropa ini telah diburu dan dipojokkan secara sistematis hingga sepanjang paro kedua abad 19. Boleh dikata hewan-hewan ini mulai musnah secara ritual dalam pagelaran-pagelaran besar rampogan macan, yang kerap dihadiri oleh banyak penduduk dan pejabat keraton.
Akhirnya, sebagaimana upacara mestia, sekitar tahun 1905, rampogan macan pun dilarang oleh pemerintah kolonial. Dan menurut data, harimau Jawa yang benama lain panthera tigris sondaica ini diyatakan punah sejak tahun 1980-an. Apakah Kalian pernah melihat harimau Jawa ini berkeliaran di hutan Trenggalek?