Berjarak dengan Trenggalek

Saya sedang mengejawantahkan rasa berjarak dengan kota ini. Meski secara sosial ekonomi saya tak bisa berjauhan, apalagi berpisah. Sebuah dikotomi yang sulit saya jelaskan dengan gamblang.

Tak dipungkiri, saya tak bisa jauh dengan Kota Trenggalek sampai kapan pun. Selain karena tanah kelahiran, kota ini adalah ruang aktivitas-kreativitas, perkara ceker atau mencari sesuap nasi hingga tidur dan mandi. Tetapi perasaan berjarak seperti datang menghampiri. Saat bercengkerama dengan tanah kelahiran, rasanya seolah seperti beradaptasi lagi. Apakah ini efek dari sekian lama saya tak lagi menelusuri sisi kota, jalan, gedung, kuliner hingga manusia-manusianya. Ataukah ada prioritas lain yang lebih saya utamakan?

Padahal kabupaten ini bagi banyak orang sering menawarkan kekaguman dan rasa kerasan. Mereka acap kagum akan keindahan dan alamnya. Kabupaten Trenggalek ini diibaratkan seperti pemandangan pada sebuah kanvas yang luas dengan gugus pegunungan sisi utara dan digradasi biru di sisi selatan, yakni laut, menjadi perpaduan yang paripurna.

Jikalau anak-anak Sekolah Dasar dulu dengan memainkan alat gambar, mendapatkan hasil gambar dua gunung berjajar dan laut membiru di bawah gugusan gunung itu. Kini orang dewasa bisa mengekspresikan pikiran dan imajinya melalui tulisan dan pemikiran serta lahan pertarungan estetis lainnya.

Karena itu, setiap manusia memiliki definisi pribadi masing-masing tentang kelebihan dan kekurangan tentang kota kelahirannya. Kenangan, roman bagi banyak orang, juga bagi orang Trenggalek yang berada di luar, bahwa Trenggalek itu ngangeni. Namun kenyataannya, Trenggalek masih sulit mengentaskan apa yang jadi hajat banyak orang—membuka lapangan pekerjaan untuk warganya, dengan upah kerja (UMR) yang lebih tinggi misalnya.

Tak heran, banyak orang Trenggalek yang mengejar hajat itu di luar kota hingga ke negeri tetangga untuk mengentaskan ekonominya.

Kota memang membawa kenangan bagi orang-orang. Kenangan akan ruang-ruang romantis dan kenangan picis. Kenangan tentang kota atau kabupaten selalu bergelayut di benak seseorang.

Kata-kata tersebut kurang lebih begini: nggalek iku ditunggoni ra sugih-sugih, ditinggal ngangeni? Sejatinya, kata-kata tersebut sulit diterjemahkan masyarakat Trenggalek sendiri. Namun, kata-kata tersebut merupakan pilihan wajar bagi warga Trenggalek. Mengutarakan kata-kata merupakan sebuah ekspresi polos penuh picisan. Meski bukan kepada seseorang yang kita puja. Kota yang didaku sebagai tanah kelahiran menjadi kota yang patut dicumbui—seperti kata Hendi Abdurahman, seorang pegiat komunitas Aleut, Bandung—Cumbuilah Kotamu Meski Hanya Sebentar.

Ya setelah memutuskan menikah, saya merasa sangat jarang bercumbu dengan kota kelahiran, yakni Trenggalek. Bertemu dengan teman-teman nggalek.co pun sangat jarang. Biasanya satu minggu atau dua minggu, saya sambang Mas Trigus sebagai figur penjaga Gawang sebagai anak biologis pertamanya nggalek.co. Sementara dengan Mas Surur, sebagai tukang reparasi dan opyak-opyak kini sekadar say hello via WhatsApp. Sekali-kali sekadar pamer tulisan yang tak jadi, yang saya endapkan di laptop.

Bahkan bermain ke rumah Mas Roin J. Vahrudin, yang nota bene alamat rumahnya depan Pasar Sebo, biasa saya lewati saat berangkat ke Tulungagung, pun saya sampai dibilang lupa dengan lokasi rumah dan alamat tersebut. Jika saya dibilang sombong dan tak mengenal teman-teman nggalek.co, itu tidak benar.

Saya hanya sedang menjalani masa berjarak dan itu hanya sementara. Sebab, bagaimana pun kota kelahiran dan nggalek.co selalu tempat yang pas untuk jadi tempat keluh-kesah, tempat bertukar pikiran dan berpulangnya gagasan. Meski tulisan tak pernah muncul, nggalek.co adalah nyawa perubahan, baik bagi pembaca dan diri saya sendiri.

Sambil menyelesaikan tulisan ini, saya sedang menikmati alunan lagu yang sangat pas dengan suasana hati dan suasana kota ini, yakni “Georgia on My Mind”. Trenggalek sebagai kota kelahiran selalu terus ada di mana pun dan kapan pun. Meski berjarak, saya merasakan getaran dan terikat dengan kota ini. Lagu ini sangat pas menggambarkan perasaan saya kepada kota kelahiran.

Saya memang sudah lama sekali tidak menulis untuk nggalek.co. Apalagi mengajegkan seperti dua figur yang saya kagumi, Mas Surur dan Mas Trigus. Meski saya memiliki jarak dengan Kabupaten Trenggalek (bukan dampak dari virus Covid-19 atau lebih terkenal dengan Virus Korona), lewat tulisan ini semoga saya bisa mendekat lewat ide pikiran dan “buah tangan” kepada Kota Trenggalek.

Lagu tersebut adalah “Georgia on My Mind”. Lagu yang ditulis pada tahun 1930 oleh Hoagy Carmichael dan Stuart Gorrel. Meski pada sumber wikipedia ada ambiguitas pada kata-kata Georgia, namun bagi saya kata-kata “Georgia” itu sangat cocok saya ganti menjadi “Trenggalek” atau “Nggalek”, dan menyanyikan.

Nggalek, Nggalek
The whole day through
Just an old sweet song
Keeps Nggalek on my mind
I said a Nggalek, Nggalek
A song of you
Comes as sweet and clear
As moonlight through the pines

Walaupun sebagian dari kita lahir di desa, tetapi istilah “kota kelahiran” pasti ada dan menggenang dalam pikiran masing-masing kita. Lagu ini oleh siapa pun yang menyanyikan, membuktikan bahwa betapa getasnya perasaan kita pada sesuatu bernama kota—terlebih kota kelahiran. Lantas, apa sih arti kota bagi seorang anak manusia?

Seorang novelis, Ferit Orhan Pamuk, peraih nobel sastra tahun 2016, pernah menulis kenangannya tentang sebuah tempat tinggal, yakni kota Istanbul, Turki. Dalam “Istanbul: Memories and the city”, Pamuk menulis kenangan masa kecil yang liar dan penuh fantasi. Kota dengan dua jantung kenangan: Asia dan Eropa yang terpisah Selat Bosphorus. Ia menuliskan kenangan yang melankolik dengan gaya Eropa, “I belong this city”.

Begitu pun yang dialami oleh penulis lainnya seperti Charles Dicken, yang jatuh cinta kepada kota kelahirannya, London; James Joyce dengan kota Dublin, Jerman; Jorge Louis Bogres dengan Buenos Aires. Penulis besar asal Mesir, Naguib Mahfouz dengan kota Kairo.

Di Harlah nggalek.co yang ke-4. Saya tak bisa banyak berharap masih mampu mengajegkan tulis-menulis dan membaca untuk diri saya sendiri. Karena, mau tidak mau ada prioritas lain yang lebih utama yang kini telah jadi prioritas. Meski begitu, hanya bisa berharap terus menelurkan tulisan, meski acakadul, tak bernyawa, bahkan hanya tulisan remah-remah rengginang ini. Meski merasa berjarak dengan Kota Trenggalek, tetapi bagi masyarakatnya sendiri Trenggalek selalu ada di dalam benaknya, lebih-lebih sebagai kota kelahiran.

Artikel Baru

Artikel Terkait