Apakah Sekolah di Trenggalek Benar-Benar Sudah Ramah Anak?

Ketika sedang ngobrol perihal pola didik anak generasi kini, generasi milenial dan generasi sebelumnya, kebanyakan dari kita akan mengolok-olok anak-anak jaman sekarang sebagai generasi lemah. Diejek sedikit overthingking. Dibully sedikit self diagnose, bahwa dirinya depresi. Tak salah memang, melihat latar belakang pola pendidikan generasi dulu yang oleh generasi sekarang disebut bar-bar. Bagaimana tidak, olok-olok dianggap sebagai kudapan harian di sekolah. Gelut dan gulat seperti latihan rutin tiap minggu. Bisa 2 kali, 3 kali, bahkan ada yang saking hobinya hampir tiap hari “tes fisik”.

Saking supportifnya kondisi saat itu, di lingkungan sekolah pun bocah bisa di-keplak oleh guru karena saking “tak beradabnya” kelakuan anak manusia saat itu. Ketika pulang dan si anak lapor orangtua, bukan dibela tapi justru si anak malah kena “double kill” karena orangtua yakin bahwa ketika anaknya sudah dikeplak guru, berarti kelakuannya memang di bawah standar untuk mendapatkan SKCK.

Belum lagi ketika sorenya ngaji di madrasah atau madin, kalau sampai seorang anak ketahuan berkelakuan tak patut atau bikin onar oleh guru ngajinya, waaah, bisa lebih parah lagi orangtua mengulangi keplakan atau sabetan guru ngajinya. Bisa-bisa sampai “triple kill“. “Savage” bahkan. Karena di mata orangtua, guru ngaji dipandang berkedudukan lebih tinggi dari guru-guru lainnya. Jika guru ngaji saja sudah menilai kelakuan seorang anak melewati batas dan beliau habis kesabarannya, maka sudah cukup validasi bagi orangtua untuk “menghajar” anaknya.

Dengan latar belakang pola asuh, pola pendidikan dan lingkungan seperti tadi, maka wajar jika mereka menganggap generasi kini adalah generasi lembek.

Jika dulu seorang guru benar-benar menjadi seorang guru (digugu lan ditiru), seorang yang sebagian besar fokusnya memang mendidik anak-anak, mengejawantahkan ilmu dan pengetahuan kepada anak-anak, maka di situ pulalah letak kepercayaan dan hormat orangtua kepada seorang guru diberikan. Percaya dengan metode pengajarannya dan menghormati keputusannya.

Saat ini, guru tidak bisa benar-benar menjadi guru dikarenakan sistem memang membuatnya begitu. Seorang guru harus ribet dengan urusan administrasi yang dibebankan kepadanya. Belum lagi hak yang seharusnya diberikan sejak awal justru dibagi dengan kesan rebutan dan diberi nama “tunjangan” semakin memacu para guru untuk lebih memprioritaskannya daripada fokus mengajar. Nah, karena repot ngurusi tetek bengek administrasi, guru akhirnya tidak bisa sepenuhnya fokus mengajar dan memperhatikan anak. Hal itu membuat guru kini juga tak lagi sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dan hormat dari orangtua selayaknya dulu. 

Guru, masih berada di ujung tombak pendidikan, kini sekaligus di ujung tanduk. Ketika mereka dituntut untuk bertanggung jawab akan pendidikan anak-anak, tapi mereka juga diminta untuk “nerima ungkulan” ketika kelakuan anak sudah melewati batas. Mereka sudah tidak memiliki keberanian untuk sekadar mencubit muridnya karena takut dicancel di media sosial dan juga dihukum di peradilan jika orangtua murid lebay. Padahal mereka tidak melihat terlebih dahulu bagaimana kelakuan anak kok sampai guru mencubitnya.

Itu pula yang menyebabkan kasus bullying akan terus terjadi. Jika dulu seseorang atau sekelompok anak membully teman lainnya, guru akan bertindak. Jika kelakuan pelaku bully memang keterlaluan, hukuman yang diterima juga bisa membuat pelaku merasakan apa yang ia lakukan ke korban bully. Jika ketahuan “ngeplak” temannya, guru bisa mencubit, “njewer“, “ngeplak“, “njejer“, hormat menghadap bendera di lapangan sekolah sepanjang pagi, dan atau bermacam hukuman lainnya. Itu semua membuat pelaku bully berpikir berkali-kali jika ingin membully temannya. Atau malah berpikir bagaimana caranya agar kelakuannya tidak ketahuan guru?

Sekarang, guru mentok hanya mengingatkan pelaku bully, tidak berani untuk bertindak. Memanggil orangtua pelaku pun juga belum tentu berani karena tidak semua orangtua percaya anaknya berkelakuan seperti yang dilaporkan guru. Malah nanti marah-marah tidak percaya dengan guru dan menuduh guru mencemarkan nama baik. Banyak contoh kan di berbagai media sosial? Belum lagi dianggap tidak becus mendidik anak kalau anaknya memang berkelakuan seperti laporan guru. Di media sosial, selalu guru yang disalahkan ketika menghukum anak.

Itulah mengapa pembully atau perundung akan kembali mengulangi perbuatannya karena tidak memiliki kontrol atas kelakuannya. Merasa bebas untuk melakukan apa yang diinginkannya. Guru tak berani bersikap tegas, orangtua pelaku lebay membela, dan lingkungan toxic media sosial.

Pihak sekolah harus cerdas menengahi situasi terkini atas fenomena ini. Memang, hukuman fisik tidak selalu 100 persen berhasil dalam mendidik anak, tapi peringatan saja juga tidak menjamin 100 persen mengubah sikap dan perilaku anak-anak. Harus ada efek jera yang membuat perilaku kasar pelaku bully berhenti.

Harus ada kesepakatan/kontrak antara pihak sekolah dengan orangtua tentang peraturan-peraturan yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak terutama perkara bullying di sekolah. Hukumannya apa? Saya ada usulan tapi tidak yakin sekolah-sekolah di Trenggalek berani melakukannya; Pelaku bullying tidak naik kelas, atau dikeluarkan dari sekolah. Nah, saya yakin tidak ada sekolah yang setuju bahkan berani melaksanakan usulan saya ini.

Di era media sosial sekarang, social punishment justru lebih ampuh memberikan efek jera kepada siapa pun. Dalam hal ini, pelaku bullying, pihak sekolah, dan orangtua pelaku juga akan terkena efek dari viralnya berita tersebut. Ketika ada kasus bullying di suatu sekolah, beritanya pasti akan cepat tersebar. Hanya dengan sedikit kode di beritanya, dengan masyarakat kita yang kepo, mereka akan kasak-kusuk dengan sendirinya, mencari tahu sekolah mana, siapa gurunya, siapa pelakunya, siapa korbannya, siapa orangtuanya.

Bagi sekolah, ini menyeramkan karena jika nama baik sekolah tercoreng, peluang jumlah pendaftar siswa baru tahun depan akan menurun. Jika jumlah siswa rendah, anggaran dana yang didapatkan juga rendah. Ini juga menjadi jawaban dari pertanyaan kenapa sekolah-sekolah tidak setuju dan tidak berani dengan usulan saya tadi.

Pelaku bully akan dikecam oleh banyak orang karena perilakunya, terteror oleh omongan masyarakat. Begitu juga orangtuanya karena “anak polah bapa kepradah”. Tidak peduli ia masyarakat biasa atau pejabat di desa atau kelurahan, kaya atau miskin, anak tukang ngarit atau pengusaha, semua kena bacot cocote tonggo. Apalagi jika mereka aktif di media sosial, bisa lebih parah.

Jika dulu generasi milenial bercerita kepada orangtua tentang kesehariannya di sekolah dianggap sesuatu yang tidak biasa, maka manusia-manusia yang kini jadi orangtua harus menghilangkan anggapan tersebut untuk anak-anaknya. Mari terbuka dengan anak-anak kita. Sering ngobrol dengan mereka di sela-sela ketika mereka bermain game di gadgetnya, bukan malah asyik sendiri ngeslot, atau ketika saat makan atau kapan pun ketika ada waktu. 

Anak yang kita hadapi setiap hari di rumah, belum tentu sama dengan anak kita di sekolah. Maka dari situlah kita harus sering ngobrol dengan mereka. Di rumah terlihat baik, tapi ketika ada laporan bahwa ia sering memukuli teman sekelasnya di sekolah, jangan sampai kita mengingkarinya, tanpa introspeksi diri. Bisa jadi selama di rumah ia tertekan, tidak percaya diri, minder, terlalu dibatasi sehingga melampiaskannya di sekolah kepada teman-temannya dengan cara yang tidak tepat. Begitu juga sebaliknya, bisa saja seorang anak ketika di rumah ia tenang dan tidak banyak tingkah, justru memendam rasa sakit fisik maupun psikis karena menjadi korban bullying dari teman-teman sekelasnya yang pada akhirnya membuat orangtua geram dan kecewa.

Dengan begitu berseliwerannya penghargaan ramah anak di Trenggalek, apakah sekolah-sekolah di Trenggalek sudah benar-benar ramah anak?

#SalamLestari!

Artikel Baru

Artikel Terkait