Perempuan Desa (Tak) Perlu Ambil Bagian di Hari Perempuan

Hari perempuan yang dirayakan seluruh perempuan sedunia sering kita peringati dengan nama Hari Perempuan International (International Women’s Day). Hari perempuan ini diperingati setiap tahun, di tanggal 8 Maret. Peringatan itu biasa dirayakan dengan berbagai macam cara. Ada yang turun jalan dengan ber-orasi untuk menyampaikan hak-hak dan berbagai aspirasi. Ada pula yang memperingati dengan memakai pakaian kebaya, dan cara-cara yang lain.

Ketegaran dan ketangguhan perempuan barangkali tergambar dari kisah atau peristiwa yang sering kita jumpai setiap hari di sekeliling kita. Perempuan selalu dekat dengan kita. Pengorbanan seorang perempuan selalu besar: selalu mengutamakan kepentingan keluarga daripada kepentingannya sendiri.

Menjadi perempuan tak harus mengikuti tren dan arus zaman: berpakaian modis, nge-hits dan bergincu merah merona. Menjadi perempuan harus pandai membagi waktu antara keluarga dan pengorbanan meng-upgrade diri. Mengolah keterbatasan menjadi kreativitas yang membanggakan.

Di era millenial, perempuan tidak melulu soal mengorbitkan diri pada urusan M3 (Masak, Macak dan Manak), tetapi juga berkontribusi di dunia keluarga. Namun dewasa ini selain mengurus keluarga, mereka juga berkegiatan secara terampil di bidang politik, kebudayaan, ekonomi, kesehatan, pers, dan kemanusiaan. Bahkan di era kini, masyarakat semakin menerima kemunculan perempuan di tengah publik.

Oleh karena itu, apalah arti sebuah perayaan bila tidak dibarengi dengan arti pengorbanan demi kepentingan bersama. Perempuan selalu melakukan itu. Barangkali, sejak kecil ia dididik bertanggung jawab, menanggung beban, dihadapkan pada pilihan; membantu orangtua dengan mencuci, menyapu, memasak dan lain sebagainya daripada laki-laki pada usia muda. Ketegaran dan kegigihan dibalut dengan kelembutan naluri seorang perempuan selalu kita rasakan, ia ikhlas dalam melayani. Sutan Takdir Alisjabana dalam berbagai novel dan roman-romannya kerap menempatkan tokoh perempuan sebagai sosok yang senantiasa tegar, cerdas, tangkas, dan serba positif; tidak meratap-ratap dan menghiba-hiba penuh sentimentalis (Veven Sp. Wardhani, 2013: 7-8).

Sudah banyak perempuan-perempuan di luar sana “berperang” melawan penindasan. Melawan kesewenang-wenangan demi kesejahteraan bersama. Mereka berkorban untuk kehidupan sosial; memperjuangkan kepentingan bersama. Mereka juga rela dipukul, ditendang asal anak dan cucunya bisa hidup sejahtera. Perempuan-perempuan itu seolah Kartini-Kartini yang mengorbankan waktu, tenaga dan bahkan nyawa demi terpenuhinya kemaslahatan bersama. Dengan kegigihan, ketegaran dan naluri seorang ibu, ia mempertahankan tanah leluhurnya untuk anak cucunya dari cengkeraman orang-orang yang tak manusiawi: yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya.

Mereka adalah perempuan-perempuan dari desa (kampung) yang ingin menatap dunia, namun tak silau akan “peringatan/hari besar” dan segala embel-embel. Mereka hanya tahu tanah dan air bisa nikmati anak dan cucunya. Adanya perayaan Hari Perempuan adalah semacam perayaan atau penanda perjuangan perempuan yang selalu diperingati dan ditandai bahwa perempuan adalah makhluk yang berjiwa besar; yang selalu mengorbankan diri demi kesejahteraan, kebahagiaan dan kenyamanan bagi anak-anak dan suaminya.

Perempuan, sebagaimana laki-laki, diciptakan untuk bergerak, berdiri dan berjalan dan berlari menjalani kerasnya kehidupan. Dunia memang keras untuk dijalani. Perempuan-perempuan itu yang mengerti apa arti sebuah perjuangan dan pengorbanan. Perempuan-perempuan itulah yang telaten mengajari setiap jejak langkah kehidupan. Ia dengan tekun dan sabar mengajari membaca dan mengeja kalimat semesta nan sederhana: ini budi; budi minum susu; ini susu ibu, demikian bunyi puisi cinta Joko Pinurba.

Kita bisa ‘menculik’ sedikit dari semangat dan pengorbanan perempuan-perempuan itu. Mereka berani mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan bahkan nyawanya demi melindungi tumpah darah; dan tanah airnya untuk anak cucunya kelak. Berani tumpah darah demi kelangsungan hidup manusia bernama anak.

Terlepas dari gegap gempita perayaan hari perempuan, banyak sosok perempuan desa yang tak mengetahui dan memahami arti dari perayaan hari perempuan. Namun mereka mengambil bagian peringatan hari perempuan itu, yang rutin dilaksanakan setiap hari. Mengerjakan apa yang menjadi tugasnya. Ia berkorban untuk melayani dan mengurus anak dan suami. Membesarkan anak dari kecil sampai dewasa. Membuatkan sarapan dan menu makanan untuk keluarganya. Menangis saat hatinya sakit. Mendoakan saat hatinya rindu. Perempuan itu adalah sosok yang tak terlalu silau dan tidak berkeinginan mengambil bagian dalam hari peringatan hari perempuan. Namun ia merayakan setiap hari terlepas dari perayaan hari perempuan.

Jauh dari pedesaan, sosok perempuan selalu menarik untuk diikuti. Figur perempuan itu ibarat kalimat yang sukar untuk dirangkai; tak ada kalimat terindah yang mampu melukiskan sosok perempuan satu ini. Karena, semua kebaikan dan ketegaran yang ia lakukan semenjak mengandung sampai tumbuh dewasa adalah diksi-diksi yang puitis nan romantis. Sosok perempuan ini adalah satu suku kata, dalam tiga huruf: IBU. Sosok perempuan (ibu) satu ini jika dipandang selalu meneduhkan, menyejukkan dan menentramkan hati.

Perempuan adalah penjelmaan dari bidadari surga yang tak bersayap. Tuhan mengirimkan malaikat tanpa sayap ini bagi orang-orang lemah, seperti saya. Seorang anak yang hanya bisa menangis merengek-rengek seperti dalam kisah di roman-roman picisan. Kala permintaan tak juga dikabulkan, tahunya hanya meronta-ronta. Tidak berhenti sampai di situ. Saat keinginan tidak juga dituruti bukan lantas diam, namun genteng dan perabotan rumah menjadi sasaran amuk.

Perempuan (baca: ibu) tak mempermasalahkan rengekan ngalem dari seorang anak. Tujuannya lebih mulia, ia memberi pelajaran atas kerasnya hidup. Ia hanya ingin menampik dan mengentaskan gelapnya dunia melalui pendidikan. Setiap lakon hidup yang dijalaninya, hanya demi yang terbaik untuk masa depan anaknya.

Puisi yang ditulis oleh Joko Pinurbo, berjudul “Dunia Ibu”, yang dikutip oleh Bandung Mawardi dalam buku Sastra Bergelimang Makna (2015: 158), mengisahkan “ibu yang merajut luka” dan “ibu yang menyulam cinta”. Biografi ibu semakin menyentuh dalam puisi “Ibu yang Tabah.” Joko Pinurba menulis dalam rasa haru dan hormat pada sosok ibu: Setiap subuh ibu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas dan menghidangkannya/ kepada anak-anaknya sebelum berangkat/ sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata,/ menyimpannya dalam botol dan meminumnya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.

Puisi di atas mengingatkan saya pada aktivitas perempuan desa yang ketika musim ikan datang selalu mendobrak waktu istirahatnya untuk mencari rezeki. Ketika musim ikan lagi mental (baca: muncul/ada), setiap pagi, ibu harus bangun pagi. Bahkan terkadang harus bangun dini hari (jam satu), hanya untuk mencari nafkah dengan mbakul ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pantai Prigi, Watulimo. Ia baru pulang dari TPI jam 9 siang.

Bayangkan berapa jam ia berselimut bau amis dan tamparan angin laut di wajah senjanya. Jelas pekerjaan yang sungguh mulia, yang dikerjakan sosok perempuan seperti ibu. Ketabahan dan rasa syukur atas nikmat, meski ya kurang tidur dan badan capek tak karuan. Perempuan, bernama ibu, itu ketika sampai di rumah telah menunaikan tanggung jawabnya dengan baik dan ikhlas. Memasak, umbah-umbah (nyuci baju) yang menggunung, dan juga kerap menghadapi sekelumit dinamika keluarga. Perempuan memang manusia istimewa. My mom is wonder woman. Perempuan seperti ibuku itu, tak perlu ambil bagian dalam peringatan hari perempuan. Sebab, ia sudah merayakan “keperempuanan”-nya setiap hari, meski tanpa selebrasi.

Artikel Baru

Artikel Terkait