Kata “pembangunan” identik dengan presiden kedua Indonesia; Soeharto. Gelar sebagai Bapak Pembangunan disematkan kepada beliau, seperti yang terlihat di film “Habibie dan Ainun”. Seorang Habibie yang masih berada di Jerman dipanggil pulang untuk membangun Indonesia di bidang kedirgantaraan. Meski Habibie kaget mendapat panggilan, karena di masa pemerintahan sebelumnya, beliau pernah mengirim surat menawarkan diri untuk berperan serta membangun Indonesia, namun ditolak oleh pemerintah.
Dari adegan di film tersebut, setidaknya memberi tahu kita bahwa pada masa itu, pembangunan di segala bidang sedang gencar dilaksanakan.
Pada masa Orde Baru, dari sejarah yang didapat lewat cerita orang-orang yang hidup di jamannya, juga dari buku-buku dan internet, saya ketahui bagaimana Indonesia pada saat itu memang tumbuh dengan pembangunan yang didengungkan oleh Presiden Soeharto. Di kota-kota besar, gedung-gedung tinggi bukan lagi pemandangan langka. Jalan-jalan beraspal tak hanya ada di kota namun juga merambah ke desa. Listrik semakin luas mencakup wilayah Indonesia, juga pembangunan di bidang lainnya. Bagaimana Presiden Soeharto begitu ambisius membangun Indonesia terlihat dari program-program yang digagas juga kabinet-kabinet yang dibentuk selama berkuasa. Meski, pada akhirnya, kita semua tahu darimana dana pembangunan tersebut berasal dan apa akibatnya bagi bangsa ini.
Ketika revolusi, apakah pembangunan berhenti? Tidak. Dengan demokrasi dan HAM yang begitu keras disuarakan, muncul berbagai ide dan pemikiran tentang konsep pembangunan negara bahkan hingga sistem otonomi daerah. Sistem otonomi daerah adalah sistem di mana suatu daerah memiliki hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya tanpa bertentangan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Bagaimana dengan pariwisata? Tentu tak jalan di tempat. Pemerintah sangat sadar akan potensi yang dimiliki negeri ini di bidang pariwisata. Iklim tropis, garis pantai terpanjang ketiga di dunia, negara kepulauan terbesar, warisan budaya, sejarah dan keberagaman etnis, keragaman bahasa serta masih banyak yang lainnya merupakan komponen penting pariwisata Indonesia. Di tahun 2008 pemerintah menggagas program “Tahun Kunjungan Indonesia”, berlanjut di tahun 2009 dan 2010. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara ke Indonesia. Dan, program ini sukses. Hingga di tahun 2011 pemerintah mengubah tagline dari yang semula “Tahun Kunjungan Indonesia” menjadi “Wonderful Indonesia”.
Di daerah, masing-masing kepala daerah mulai gubernur, walikota hingga bupati berlomba memperkenalkan pariwisata daerahnya.
Tumbuhnya pembangunan di Kabupaten Trenggalek banyak terjadi ketika Soetran menjabat sebagai bupati. Kini Trenggalek dengan tagline barunya: “Trenggalek Southern Paradise”–meskipun terkesan keminggris dan sempat menuai komentar mengenai pemilihan tagline tersebut, karena banyak juga yang lebih memilih tetap menggunakan “Berteman Hati”—mencoba lebih giat dalam memperkenalkan pariwisata yang dimiliki. Tak perlu saya tulis apa saja pariwisata yang berada di Trenggalek. Kini tinggal ketik di search engine dengan kata kunci “Trenggalek” sudah pasti akan muncul banyak referensi lokasi wisata di Trenggalek.
Watulimo, di mana saya tinggal adalah salah satu kecamatan yang memiliki lokasi pariwisata unggulan di Trenggalek. Apalagi kalau bukan Pantai Prigi dan Pantai Karanggongso, ditambah dengan lokasi wisata lainnya, seperti Pantai Damas, Ekowisata Mangrove dan Gua Lowo menjadikan Watulimo semacam satu paket wisata dalam satu alur lokasi. Belum lagi dengan banyak dibukanya lokasi wisata baru di Watulimo, yang nantinya semakin menambah panjang daftar tujuan liburan bagi wisatawan yang ingin berkunjung.
Mengenai lokasi wisata baru, mungkin kita semua akan memaklumi jika sarana dan prasarana maupun infrastruktur yang ada, masih minim dan belum layak. Tetapi bagaimana jika itu terjadi di lokasi wisata sekelas Pantai Pasir Putih, di Karanggongso? Dengan semakin gencarnya publikasi yang dilakukan, tentu semakin besar pula jumlah pengunjung yang datang ke Pantai Pasir Putih. Warga Watulimo pun kini sudah semakin terbiasa melihat bus pariwisata melewati jalan raya di depan rumahnya yang dulu hanya bisa mereka lihat ketika hari libur.
Salah satu efek dari semakin padatnya pengunjung dan jumlah kendaraan menuju Pantai Pasir Putih adalah semakin tidak baiknya–jika tidak bisa dikatakan rusak—jalan menuju ke sana. Selain sempit, jalan setelah pos retribusi tersebut semakin bergelombang. Ditambah tak adanya sistem drainase yang baik, meski sederhana, di kanan kiri jalan, semakin membuat jalan tersebut mudah terkelupas dan rusak akibat genangan air ketika hujan.
Alangkah mudah arus lalu lintas jika jalur menuju lokasi wisata Pantai Pasir Putih dibuat sistem dua jalur. Ada jalur masuk dan ada jalur keluar. Tak mudah memang, tapi jika proyek pembuatan jalan di Durenan saja mampu, mestinya di lokasi pariwisata—yang kita tahu sebagai sumber pendapatan daerah—juga bisa dilaksanakan. Dengan jalur yang ada sekarang ini, ketika kemarin saya duduk di atas hamparan pasir putih sempat ikut berdoa, semoga wisatawan yang pernah berlibur ke Pantai Pasir Putih tidak kapok untuk datang lagi ke Trenggalek.
Salam Lestari!